Global Warming is a Global Warning

0
460

Banyak orang mudah menyebutkan global warming ketika meresponi cuaca/ musim buruk. Hujan belakangan ini masih mengguyur Jabodetabek. Biasanya musim hujan mestinya pada bulan-bulan berakhiran “ber” (Oktober, November, Desember). Panas terik terasa menyengat kepala, membakar kulit ketika sinar mentari muncul gagah di langit. Banyak label “hijau” juga memasuki wajah kemasan makanan dan minuman. “Kurangi pemakaian kantong plastik” seperti tertera pada kantong belanja yang diberikan cuma-cuma maupun dijual di banyak pertokoan. “Sayangi bumi” sebagaimana tercetak di beberapa bahan pembersih rumah tangga yang mengajak pelanggan isi ulang dengan kemasan yang sama. “Go green” menjadi celetukan umum kala melihat orang bersih-bersih, memadamkan lampu, atau mengenakan kaos hijau. Secara umum seluruh masyarakat dunia cukup tahu bahwa bumi sedang tidak berada dalam kondisi menguntungkan. Dalam beragam ekpresi bahasa dan gaya, kita cenderung mulai berbuat sesuatu.

WORDS AND WORKS ON GLOBAL WARMING

Kata lain yang terkait dengan pemanasan global adalah ekologi, dua kata Yunani. Dalam “The Environment and Christian Faith: An Introduction to Ecotheology”, Robert Barry Leal (St Pauls Publications, 2004: 10) mencatatkan demikian.

Oikos berarti rumah, rumah tangga. Logos bermakna kata atau ilmu. Kamus Macquarie menjabarkan ekologi sebagai cabang ilmu biologi yang mengurusi relasi antara organisme dan lingkungannya. Kata ekologi pertama kali dipakai oleh Ernst Haeckel, seorang biologis Jerman (1866), dan di dalam kosakata Inggris sejak 1873.

Jadi kata ekologi sendiri kira-kira sudah berusia 147 tahun.

Seiring dengan perubahan masa, banyak organisasi atau lembaga swadaya masyarakat nir-laba bermunculan. Mereka turut berperan banyak dalam mempercepat penyebaran informasi dan pengetahuan tentang pemanasan global dan/ atau lingkungan hidup.

The Climate Reality Project berbasis di Nashville, Amerika Serikat di mana penggagasnya Al Gore bermukim. Ia dianugerahkan Nobel pada Juni 2006 atas dedikasinya dalam mempresentasikan pengetahuan serta solusi atas perubahan iklim terhadap dunia. Organisasi internasional ini merekrut ribuan relawan dari berbagai belahan negara, dengan beragam profesi. Bahkan ada Incovenient Youth yang dibentuk oleh sekelompok anak remaja seusai mereka menyaksikan film dokumenter Al Gore, Inconvenient Truth.  Mereka dibekali cuma-cuma tentang beragam temuan ilmiah, dampak membahayakan, solusi terhadap perubahan iklim serta kecakapan mengomunikasikannya. Mereka lalu kembali mempresentasikan secara cuma-cuma kepada komunitas/ kelompok di sekitarnya. TCRP dan IY juga telah memiliki kantor cabang di Indonesia (sejak 2009). Beberapa pembekalan yang biasanya tercakup dalam pelatihan kepemimpinan iklim TCRP kepada para relawan (climate leaders) adalah:

  1. pengetahuan dari sejumlah ilmuwan.
  2. komunikasi termasuk panduan dalam menanggapi para skeptik; kekuatan pesan melalui gambar dengan resolusi yang tinggi dan minim kata keterangan; dan/atau kekuatan cerita pendek melalui kisah personal yang dapat didengar orang banyak.
  3. pendekatan psikologis yakni bagaimana memenangkan argumen dan menguasai diri dalam menghadapi orang banyak.

Pemanasan global mengundang sebuah pertanyaan dan tanggapan yang utuh. Pendekatan dalam mengomunikasikan solusi terhadap perubahan iklim itu dilakukan secara menyeluruh.

ECUMENICAL MOVEMENT ON GLOBAL VOICES
Upaya di atas tidak luput mengundang peran serta gereja. Pada saat yang sama, gereja pun memiliki alasan kuat untuk turut tidak mengelakkan diri dari membina anggotanya tentang panggilan menata dan memelihara alam sesuai dengan kehendak Allah, dan seturut dengan alkitab sebagai sumber ajaran gereja. The Green Bible terjemahan The New Revised Standard Version (HarperCollins Publisher, 2008) menjadi satu bukti nyata bahwa ada kesadaran dan kesatuan yang sebetulnya menguat di antara gereja dan anggotanya yang hidup di abad ke 21 sebagai rekan Sang Pencipta. Teks-teks yang dicetak dalam tinta hijau menandai demonstrasi akan:

  1. bagaimana Allah dan Yesus berinteraksi, menyayangi dan terlibat karib dengan semua ciptaan;
  2. bagaimana semua elemen ciptaan- tanah, udara, air, tanaman, binatang, manusia itu saling bergantung;
  3. bagaimana alam meresponi Tuhan
  4. betapa kita dipanggil (diingatkan) untuk memelihara dan menyayangi ciptaan.
RELATED ARTICLE  Menghadapi Rayuan Dosa

Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches) sebagai lembaga ekumenis paling luas di dunia dalam Sidang Raya VI dengan tema “Justice, Peace and the Integrity of Creation” (Vancouver, 1983) menekankan bahwa keutuhan ciptaan tidak terpisah dari keadilan dan perdamaian. Gereja-gereja patut menanggulangi masalah lingkungan sebagaimana isu-isu keadilan, seperti hak asasi manusia dan isu perdamaian seperti penggunaan senjata nuklir. Selanjutnya tema Sidang Raya VII (Canberra, Australia, 1991) “Come, Holy Spirit-Renew the Whole Creation” mengukuhkan bahwa Roh Kudus membuka mata gereja untuk melihat ketidakadilan dunia dan memperkokoh gereja untuk menentang dan berjuang melawan penindasan dan perusakan ciptaan. Roh Kudus memanggil gereja untuk bekerjasama menuju sistem sosial yang adil dan lingkungan yang berkelanjutan.

Dewan Gereja Asia (Christian Conference of Asia) turut serta dalam perjuangan hijau ini. Bekerjasama dengan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, misalnya, Justice, International Affairs, Development and Service (Siantar, Sumatera Utara, 2012) menyelenggarakan Konsultasi tentang Ekologi, Ekonomi dan Akuntabilitas. Irvan Hutasoit, seorang pendeta gereja suku menyaksikan bagaimana ia dan beberapa rekan pendeta menemani masyarakat Sipituhuta dan Pandumaan yang bergelut mempertahankan tanah suku mereka dari ancaman perusahaan Toba Pulp Lestari yang telah mendapat ijin resmi dari pemerintah untuk merambah hutan di mana pohon kemenyan bertumbuh. Hutan itu sudah berusia ratusan tahun. Masyarakat adat pun sudah hadir dan menjadikan pohon kemenyan itu sebagai satu mata pencaharian mereka jauh lama sebelum Republik Indonesia merdeka.

Pada saat yang sama, suara keprihatinan menggema di sekitar Haranggaol Danau Toba. Dulu ia berjaya atas produksi bawang merah. Kini kini kelimpungan tidak berdaya merelakan dirinya untuk mendirikan tambak/ keramba ikan mas. Para pengelola keramba dan penduduk sekitarnya merasa tidak mampu untuk keluar dari dilemma ini. Mereka butuh nafkah. Sementara pada saat sama, polusi udara terjadi akibat menguatnya bau endapan pelet ikan yang bertonton dibuang di dalam keramba. Air danau pun tercemar yang mengancam sanitasi penduduk Haranggaol dan danau Toba secara keseluruhan.

Di hari yang berbeda Yuko Endo, seorang pegiat bantuan bencana dalam Touhoku Help membagikan beberapa hal serius yang dialami masyarakat di Fukushima.

Gereja di Jepang
Meledaknya reaktor pembangkit tenaga nuklir Daiichi Fukushima pada tanggal 11 Maret 2011 akibat gempa dan tsunami memecahkan rekor kecelakaan terburuk nuklir di dunia dalam 25 tahun belakangan. Maka, sejumlah masalah sosial muncul mengenaskan. Beberapa kata goresan kapur di satu papan tulis dituliskan seorang peternak sapi perah dalam bahasa Jepang. Terjemahan bebasnya: “Jika saja pembangkit tenaga nuklir itu tidak pernah ada. Saya tidak tahan hidup lagi”. Ia juga menuliskan permohonan maaf kepada keluarga (istri dan dua anak) serta para sahabatnya. Ia lalu bunuh diri. Situasi bagi petani sepertinya memang tidak menentu. Pemerintah menghentikan pengiriman susu dari wilayah mereka mengingat radiasi yang mencemari lingkungan sekitar. Selain itu banyak kecemasan muncul. Gusar bagaimana dengan masa depan dirinya dan keluarga sebagai orang yang telah terkena radiasi. Meragukan pasangan. Ada yang mau tetap tinggal dan bekerja, ada pula yang memaksakan diri untuk tetap berpindah tempat. Muncul perceraian. Itulah sebabnya gereja di Jepang mulai bersatu. Salah satunya melalui Touhoku HelpSendai Christian Alliance mula-mula (1964) adalah konferensi doa, kemudian seminggu setelah ledakan reaktor namanya menjadi SCA Disaster Relief Network (Touhoku Help). Tiga proyek utama yang hendak dikerjakan adalah:

  1. Mendirikan Banyak Lokasi sebagai Tempat Mengukur Level Radiasi dalam MakananPenekanan bukan sebagai Tempat Protes Anti Nuklir, melainkan lebih sebagai komitmen untuk berbagi dan bersolidaritas dalam ketidakpastian. Memberikan dukungan terhadap mereka yang kuatir akan dampak radioaktif, menemani pergumulannya melalui pemikiran dan doa.

     

  2. Proyek Dukungan Bagi Korban Bencana non-JepangTouhoku Help meyakini betapa Jepang mesti merangkul segala orang termasuk yang datang dari rumpun yang berbeda. Tiada “kami atau mereka”. Seharusnya semua diperlakukan adil.

     

  3. Proyek Kesehatan Mental (Mental Care)Bekerjasama dengan Universitas Touhoku, mereka mencoba memberikan perhatian lebih lanjut secara medis. Kesedihan dan Ketidakpastian mendatangkan insomnia (sulit tidur) dan depresi. Agama itu dipandang sebagai hal pribadi sedangkan pengobatan medis terbuka bagi siapa saja.

     

CCA dalam agenda Faith, Unity and Mission, PGI juga Sekolah Tinggi Teologi Jakarta juga baru menyelesaikan Asian Ecumenical Course (STT-J, 8-21 Mei 2013). AEC merupakan suatu sekolah pendek yang memungkinkan peserta mendalami secara kristis dan teologis masalah politik, sosial, ekonomi, budaya termasuk lingkungan melalui sesi God’s Creation and Ecological Justice serta Field Trip ke lokasi Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang, GKI Kemang Pratama dan komunitas asuhan Yayasan WADAH di suatu tepian Kali Bekasi.

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia sendiri dalam bidang Marturia telah mengangkat isu lingkungan ini menjadi salah satu tema seminar agama-agama, “Agama dan Lingkungan Hidup (19-26 September 1988). Ada pula Konferensi Internasional Pemuda dan Lingkungan yang diadakan oleh Departemen Pemuda dan Remaja PGI (Palangkaraya, 7-9 November 2008). Temanya “Keadilan Iklim dan Keutuhan Ciptaan”. 

Selain itu, Sidang Raya PGI X (Jayapura, 1994) turut menetapkan partisipasi dan pelayanan gereja dalam pembangunan nasional dengan peka terhadap pemeliharaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) PGI no. 84 tahun 2010 menegaskan bahwa setiap orang percaya bertanggung jawab mahluk memelihara keutuhan ciptaan sebagai manifestasi pelaksanaan tugas gereja sebagai hamba Allah dalam memberitakan Injil kepada segala makhluk.

GLOBAL WARNING AS OUR PERSONAL CALLING
Semua indikasi di atas tidak otomatis membuktikan bahwa kita semua sudah cukup baik dalam memahami dan mengatasinya. Tidak cukup hanya mengandalkan para pejabat gerejawi, pemerintah ataupun pegiat lingkungan. Kita masing-masing dapat memulainya dari celah apapun yang kita punya, Berikut beberapa pintu strategis yang dapat kita lewati.

Berita/ kabar yang kita baca, dengar atau tonton; serta unggah atau unduh menjadi pendorong kesadaran dan pergerakan kita. Internet termasuk media sosialnya mulai menjadi candu bagi banyak kalangan. Banyak kita kini cenderung gelisah bila lupa membawa ponsel atau laptop mengingatnya sebagai sarana berselancar di dunia maya. Kendalikanlah semua kesempatan itu untuk mempercakapkan, menajamkan dan menerapkan solusi iklim. Coba latih apa yang Saudara mau perbuat setelah membaca berita ini?

Di kebun binatang Surabaya, Kliwon-seekor jerapah berusia 30 tahun ditemukan mati dengan sekitar 18 kilogram gumpalan plastik di dalam perutnya pada bulan Maret 2012. Bertahun-tahun ia memakan apa yang ia temukan dimana rupanya plastiklah yang kebanyakan dilemparkan oleh para pengunjung kandangnya. Majalah Time pada media online mencatatkan kejadian di kebon binatang ini sebagai “The Disturbing State of Indonesia’s ‘Zoo of Death’”. Ini amat memalukan mengingatnya kaya memelihara sekitar 4000 binatang yang koleksinya paling beragam di wilayah Asia Tenggara (http://newsfeed.time.com/2012/03/15/the-disturbing-state-of-indonesias-zoo-of-death/).

Program Sekolah yang menjadi asupan anak kita (dan anak-anak di sekitar kita) menjadi sarana baik pula. Di taman kanak-kanak Kinderfield Bekasi saya telah tiga kali diajak berpartisipasi.

Kinderfield Bekasi adalah tempat di mana Emilie dulu bersekolah (kelompok bermain dan taman kanak-kanak). Suatu ketika guru secara khusus mengajak saya menjadi storyteller kelas dalam rangka pekan buku di sekolah. Kebetulan ada satu buku cerita tentang proses pengambilan dan pemilahan sampah dalam bahasa Inggris yang sedang dijual pada salah satu meja penerbit buku peserta pameran di sana menjual. Maka buku itu menjadi referensi cerita saya. Anak dan guru sangat antusias menyambut cerita itu.

Pada tahun berikutnya saya pun diajak kembali. Saya membawa buku pengetahuan tentang Global Warming, beberapa boneka binatang dan meminjam sebuah bola dunia milik kelas. Betapa banyak binatang beruang putih kutub kehilangan tempat tinggalnya akibat mencairnya es permukaan. Banyak binatang laut juga mati perlahan-lahan akibat menelan sampah di lautan, keliru mengiranya sebagai sejenis jelly (agar-agar). Ada yang mati karena sampah plastik itu menghambat pencernaannya. Ada yang mati karena plastik tersebut memblokir lambung sehingga binatang tersebut merasa kenyang dan ia mulai berhenti makan. Binatang jenis ikan paus biasanya membuka lebar-lebarnya mulutnya menelan air ketika makan. Pada saat itulah banyak kantong plastik tertelan.

Kini Emilie sudah duduk di kelas 3 sekolah dasar dan bersekolah di sebuah sekolah Penabur. Namun adiknya, Ean bersekolah di Kinderfield Bekasi mengingat jarak yang dekat dan waktu sekolah yang pendek. Sekolah ini cukup mengingat saya sebagai yang senang dan perhatian untuk menyuarakan solusi bagi krisis akibat pemanasan global ini. Oleh sebab itu, pada akhir April 2013 mereka kembali mengundang saya dan suami untuk bercerita pada untuk gabungan siswa KG A (TK Kecil) dalam rangka Pekan Buku. Kami mengisahkan kebesaran Tuhan dan keragaman binatang yang Ia ciptakan.

Beberapa hari kemudian cerita lain disampaikan pula kepada seluruh siswa KG B (TK Besar) dalam rangka menyambut Hari Lingkungan Hidup yang jatuh pada 22 April. Kali itu saya dan suami berkisah tentang pasar lokal dan beberapa kebaikan yang ternyata terjadi pada binatang-binatang apabila kita mengatur sampah dengan baik. Tidak membuangnya apalagi di sembarang tempat. Mengurangi pemakaian kantong plastik dan/atau benda-benda sekali pakai lainnya.

Menu makanan dan minuman sehari-hari menjadi satu saksi perilaku buruk kita selaku manusia. Barangkali kita jarang memikirkan darimana datangnya lauk-lauk yang terhidang. Bagaimana masing-masing bahan pangan itu ditumbuhkan, dipetik/ ditangkap/ dibersihkan dan diangkut? Berapa banyak air yang dihabiskan untuk menumbuhkan dan memasaknya? Seperti apa proses pengelolaannya? Bagaimana mereka yang akan membersihkan meja dan piring denga sisa makanannya?

Beberapa aturan makan kutipan dari buku Michael Pollan berjudul “Food Rules: An Eater’s Manual” (2009) menarik dikaji dan ditindaklanjuti.

  1. Hindari makanan yang iklannya tayang di televisi. Suatu produk makanan yang iklannya muncul di televisi adalah makanan yang semu dan cenderung diproduksi untuk mendulang keuntungan besar. Mungkin itu hasil olahan, sudah diberi penguat rasa, pewarna atau pengawet.
  2. Shop the peripheries of the supermarket and stay out of the middle.

Berbelanjalah di lorong tepi dalam supermarket, dan hindari lorong tengah agar kita tidak membeli berlebihan makanan olahan dan/atau kemasan.

  1. Mengonsumsi makanan yang berdiri pada satu kaki (jamur dan tumbuh-tumbuhan) lebih baik daripada yang dua kaki (unggas), juga lebih baik daripada empat kaki (sapi, babi, dan mamalia lainnya)
  2. Beli piring yang lebih kecil.

Makin hari restoran terlebih yang siap dan cepat saji makin membuai pelanggan dengan porsi yang makin besar. Ada bahaya obesitas dan ketidakseimbangan asupan makanan/ minuman dengan kemampuan sistem pencernaan kita.

Jadi makan dengan porsi secukupnya saja sebagaimana permohonan kita kepada Allah melalui doa yang Yesus ajarkan kepada kita. Gerakan makan lambat saji (slow food), bukan cepat saji, gerakan makanan asli (real food), bukan makanan perisa (food-like) mesti menjadi gaya hidup kekristenan. Gereja belajar berani untuk berbagi makanan sebagaimana Yesus memberi makan roti yang mengenyangkan 5000 orang. Bukan karena meniru jumlah massa, melainkan keberanian berbagi makanan pokok pelambang hidup berkelimpahan di dalam anugerah Allah. Jelas, gerakan ekologis dalam menanggapi pemanasan global dan segala dampaknya bukan semata-mata sebuah tren atau panggilan demi hidup enak, nyaman dan bersih. Namun ini menjadi sebuah gerakan moral Kristen dalam rangka mewujudkan keadilan ekologis bagi seluruh ciptaan.

RELATED ARTICLE  Refleksi Mingguan - 7 Juni 2015