Kasih Sayang

0
54

“Ingin benar hati saya berkenalan dengan seorang anak “gadis modern’’, gadis yang berani, yang sanggup tegak sendiri, gadis yang saya sukai dengan hati jantung saya, anak gadis yang melalui jalan hidupnya dengan langkah yang tangkas, dengan riang suka hati, tetap gembira dan asyik, yang berdaya upaya bukan hanya untuk keselamatan bahagia dirinya sendiri saja, melainkan juga untuk masyarakat yang luas besar itu, yang ikhtiarnya pun akan membawakan bahagia kepada banyak sesamanya manusia”[1]

Bagi saya, luapan harapan seorang Kartini pada zamannya yang diungkapkannya melalui surat kepada Stella Zehandellar pada 25 Mei 1899 di balik tembok tebal yang mengurungnya karna harus dipingit juga adalah luapan harapan saya dan harapan banyak perempuan pada masa ini. Mungkin di antara para pembaca merasa luapan harapan saya ini berlebihan, namun sejatinya tidak berlebihan, melainkan harapan itu belum sepenuhnya mewujudnyata pada saat ini di tengah bangsa yang betapa pun banyak masalah namun tetap kita cintai, yaitu Indonesia

Ada banyak  perempuan masih jauh dari kesempatan mendapatkan pendidikan, ketrampilan, bahkan hak untuk mengambil keputusan atas kehidupannya. Atau sekalipun ada sebagian perempuan yang mendapatkan pengetahuan, ketrampilan yang baik, namun tak sepenuhnya merdeka dari segala tuntutan “menjadi wanita yang sesungguhnya, yang tahu kodrat!” Entah apa yang dimaksud dengan menjadi wanita sesungguhnya dan yang tahu kodratnya? Apakah wajib memasak, menghias diri, dan melahirkan? Sungguh itu bukan kodrat melainkan kosntruksi sosial budaya yang dibangun sejak sangat lama. Artinya peran perempuan tidak bergeser dari ruang domestik ke ruang publik, namun perannya bahkan bertambah. Berbeda dengan peran laki-laki yang lambat bertambah perannya di ruang domestik.

RELATED ARTICLE  Mencari dan Menjadi Sahabat bagi Bumi

Pembedaan peran yang diskriminatif tersebut terjadi tidak begitu saja melainkan ada konsep kekuasaan patriarkhi yang merangsek masuk dalam nilai budaya, sosial bahkan agama dan diterima begitu saja, apa adanya sehingga dirasakan seolah tidak ada masalah. Sekalipun perempuan diberi akses di ruang publik maka tugas – tugasnya juga tak jauh dari kerja domestik, contoh kerja mengurus konsumsi ( lingkup rukun tetangga, rukun warga – dengan kegiatan PKK, juga kegiatan gereja). Bahkan perayaan Kartini juga masih sebagian kalangan merayakannya dengan pawai kebaya lengkap dengan atributnya (bukan berarti saya meremehkan kebaya dan atributnya), pengarahan kursus singkat kepribadian wanita mulai dari cara berjalan, berpakaian, bicara yang santun, yang khas wanita Indonesia – sungguh kegiatan yang tidak mencerdaskan, namun tidak mencari tahu apa substansi pergulatan, pemikiran yang bernama Kartini dan kaitannya dengan cita – cita kesetaraan yang masih perlu kita perjuangkan di bangsa yang sekalipun banyak masalah namun yang kita cintai ini yaitu Indonesia.

Mengenai pemikiran Kartini yang ia tuangkan dalam suratnya sarat dengan isi yang mencerahkan dan menggugah kita juga pada zaman ini. Kartini (demikian ia ingin disapa, tidak perlu dengan label Raden Ajeng) memiliki cita – cita agar relasi satu dengan yang lain (tua, muda, kaya, miskin, berpangkat atau tidak) berdasarkan kesetaraan, ia mendobrak pola relasi yang menyekat manusia dengan sesamanya :

“sesungguhnyalah adat sopan santun kami orang Jawa amat sukar. Adikku harus merangkak, bila hendak lalu di mukaku. Kalau ada adikku duduk di kursi, apabila aku lalu, haruslah dengan segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tiada kelihatan lagi. Tiada boleh adik – adikku berkamu dan berengkau kepadaku, hanya dengan bahasa Kromo (bahasa Jawa tingkat tinggi) boleh dia menegurku; tiap – tiap kalimat yang disebutnya, haruslah dihabisinya dengan sembah. Seram bulu, bila kita ada di dalam lingkungan keluarga Bumiputra yang berbangsa. Bercakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya harus perlahan – lahan, sehingga orang didekatinya saja yang dapat mendengar. Seorang gadis  harus  perlahan – lahan jalannya, langkahnya pendek – pendek, gerakannya lambat seperti siput layaknya. Bila agak cepat dicaci orang, disebut kuda liar. Kepada kakakku laki – laki maupun perempuan ku turuti semua adat itu dengan tertibnya, tetapi mulai dari aku ke bawah, kami langgar seluruhnyasegala adat itu” (18 Agustus 1899) [2]

Prinsip persaudaraan, kesetaraan yang diyakini oleh Kartini juga mengajak kita berjarak pada kecenderungan sebagian (semoga sebagian kecil saja) yang pola relasi cenderung kaku, penuh tingkatan berlapis atas nama status sosial, gender, agama, pendidikan, dan lainnya. Kita mendapati masih ada saja orang Indonesia yang merasa senang, nyaman dengan sekat tembok berlapis yang membatasi dirinya dengan sesamanya. Kasih sayang adalah prinsip yang mendasari relasi kita dengan semua orang, ya kasih sayang!

“sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni  (surat Kartini kepada Ny. Abendanon dari Kartini, 14 Desember 1902)[3]


RELATED ARTICLE  Refleksi Harian 22 Juni 2015

[1] Kumpulan Surat R.A Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang’’ Terjemahan Armijn Pane ( Jakarta : Balai Pustaka, 1987), hlm 37

[2] Ibid. hlm 41

[3]  Melalui http://www.tempo.co/read/news/2013/04/inilah-potongan-surat-surat-Kartini (sumber penulis kutip pada Kamis, 25 April 2013, pukul 17.23 WIB)