Kunjungan Tim GKI ke Sangihe

0
90

Pagi, 21 Juni 2016, warga Tahuna, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, dikejutkan dengan tanah longsor yang terjadi di beberapa lokasi yang berbeda. Peristiwa ini oleh beberapa warga dikatakan sebagai bencana tanah longsor terbesar yang pernah terjadi di kepulauan Sangihe. Tanah longsor menghancurkan ratusan rumah warga dan menewaskan empat orang warga. Jumlah korban jiwa mungkin saja dapat berkali lipat apabila terjadi pada malam hari.

Pagi itu warga sudah beraktivitas sehingga mereka dapat menghindar dari bencana tersebut meskipun mereka harus kehilangan rumah dan harta mereka.
Bencana terjadi pada pukul 06.00 dan 09.00 WITA setelah sebelumnya didahului oleh hujan terus-menerus selama 3 hari. Pdt. William Pea, ketua jemaat GMIST Lohontulumang dimana ada 300 kepala keluarga anggota jemaat menjadi korban, menyebutkan bahwa parahnya keadaan selain hujan, juga disebabkan oleh angin puting beliung ekor dari badai di Filipina. Di jemaat ini ada 56 rumah hancur.

Bencana kali ini menyebabkan 940 orang mengungsi, mereka mengungsi di beberapa gedung gereja yang berbeda. Ada beberapa diantara korban yang berusaha kembali ke rumah mereka untuk mencari surat-surat berharga mereka yang tertimbun longsoran, seperti beberapa keluarga di daerah Plembang.
Jalan utama dari Bandara Naha ke kota Tahuna tertimbun longsoran tanah sehingga jalan tersebut harus diperbaiki. Warga yang datang ke Tahuna menggunakan pesawat terbang harus menempuh jalur alternatif yang sangat rawan longsor, begitu juga sebaliknya. Beberapa jalan utama menuju dan keluar Tahuna pun tertimbun tanah yang terbawa longsor dari bagian atas.
Sebenarnya melalui gereja dan pemerintah daerah setempat, warga Sangihe sudah menyadari bahwa apabila hujan turun lebih dari 2 hari berturut-turut, mereka harus mengungsi ke gereja.

RELATED ARTICLE  Focolare Movement: Persatuan Kristen adalah “Janji Tuhan akan Penyembuhan Dunia yang Rusak”

Kontur tanah di Sangihe yang mudah tergerus air menyebabkan sebagian besar wilayahnya rawan tanah longsor. Bencana ini dapat terjadi kapan saja terutama pada saat curah hujan tinggi.

Kehadiran Gereja Kristen Indonesia di Sangihe

Sebagai bentuk solidaritas persaudaraan, terutama kepada jemaat Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud (GMIST), Sinode GKI mengirimkan tim terdiri dari bapak Irianto Darsono dan Sigit P Wibisono untuk menyerahkan bantuan kepada jemaat GMIST yang tertimpa bencana pada 30 Juni 2016. Bantuan yang diberikan berupa barang dan bahan yang dibutuhkan oleh pengungsi, yaitu: pakaian, pakaian dalam pria & wanita, pakaian dalam anak, selimut, mie instan, sekop, cangkul, peralatan mandi, sabun cuci, susu bayi, vitamin dan obat-obatan.

Perjalanan dimulai tanggal 29 Juni melalui Manado dimana tim GKI membeli seluruh bantuan yang dikirimkan dan pada hari itu juga mengirimkannya melalui kapal ke Sangihe. Tim GKI tiba di Sangihe keesokan harinya tanggal 30 Juni 2016. Kedatangan tim GKI disambut langsung oleh Sekum GMIST, Pdt. D.J. Walandungo. Setelah itu tim GKI menuju kantor Sinode GMIST untuk menyerahkan bantuan.

Kegiatan dilanjutkan dengan kinjungan sekaligus penyerahan bantuan langsung ke beberapa posko pengungsi. Posko pertama yang dikunjungi oleh tim GKI adalah posko jemaat GMIST Imanuel di Tahuna. Ada 200 kepala keluarga yang mengungsi di posko ini. Rumah mereka yang tepat berada di gereja hancur diterjang tanah longsor. Tim GKI disambut oleh ketua jemaat Pdt. Raden Wengen, yang mengajak tim GKI berinteraksi dengan pengungsi. Di posko ini sudah didirikan tenda, dapur umum, dan balai pengobatan.

Posko kedua yang dikunjungi oleh tim GKI adalah posko jemaat GMIST Bahtera Hayat di Kolongan. Tim GKI disambut ketua ibu Pdt. Datu Talungan. Ada 43 kepala keluarga yang mengungsi di posko ini dan ada 10 rumah yang hancur dekat posko ini. Setiap hari para sukarelawan harus melayani kebutuhan para pengungsi terutama makanan.

RELATED ARTICLE  Program Berbagi Kasih BPMS GKI

Posko ketiga yang dikunjungi tim GKI adalah posko jemaat GMIST Moria Akengbawi. Ada 300 kepala keluarga yang mengungsi di posko ini. Rumah mereka yang berada di belakang gereja hancur terlibas tanah longsor, hanya gedung gereja yang masih berdiri dengan kokoh. Warga meyakini bahwa bila ada bencana, tempat yang paling aman untuk berlindung adalah gereja. Ini terbukti saat semua rumah yang berada di belakang gereja hancur, gedung gereja tetap berdiri. Tim GKI menemui kesulitan untuk menuju posko ini karena jalan utama penghubung tertimbun tanah yang membawa reruntuhan rumah dan pepohonan. Disinilah tim GKI bertemu dengan aparat TNI dengan peralatan beratnya tengah membuka jalan yang tertutup.

Posko keempat adalah posko jemaat GMIST Lohomtulumang. Kami bertemu dengan ketua jemaat Pdt. William Pea. Ada 300 kepala keluarga yang mengungsi dari 56 rumah yang hancur di lokasi ini. Dari belakang gereja tim GKI dapat melihat puluhan rumah yang hancur dan terbenam tanah serta ratusan pepohonan yang terbawa tanah longsor. Pengungsi di tempat ini membutuhkan air bersih dan tim GKI melihat anggota jemaat sedang menggali sumur air untuk pengungsi. Itulah yang membuat tim GKI untuk juga nanti setelah kunjungan ini, memberikan bantuan sumur air kepada jemaat GMIST yang membutuhkan air bersih.

Terakhir, tim GKI mengunjungi beberapa kepala keluarga yang rumahnya hancur di wilayah Plembang. Keluarga-keluarga ini sedang berusaha menemukan surat-surat dan sisa milik mereka yang mungkin masih dapat ditemukan di bekas lokasi rumah mereka yang tertimbun tanah.
Dalam kunjungan ini tim GKI juga berinteraksi dengan para pengungsi dan memberi mereka semangat untuk menjalani kehidupan mereka paska bencana. Total ada 940 kepala keluarga yang menjadi korban tanah longsor di Sangihe dan mereka berada di pengungsian. Infrastruktur yang rusak membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membersihkan dan memperbaikinya. Kondisi ini tentunya semakin berat karena warga pengungsi harus membangun kembali rumah mereka yang hancur karena bencana.
Hari terakhir kunjungan, 1 Juli 2016, tim GKI berkesempatan bertemu dengan ketua Sinode GMIST, Pdt. W.B. Salindeho. Pdt. Salindeho menambahkan bahwa dirinya dan para pelayan jemaat sudah berusaha mengubah kebiasaan jemaat yang menyimpan uang di rumah untuk menyimpannya di bank sehingga ketika bencana datang mereka tidak kehilangan uang dalam jumlah yang banyak seperti sekarang ini. Namun Pdt. Salindeho juga bersyukur bahwa melalui bencana ini umat semakin disadarkan untuk semakin giat beribadah karena terlihat pertolongan Tuhan dalam bencana kali ini dimana bencana terjadi di pagi hari bukan malam hari.

RELATED ARTICLE  Ibadah Emeritasi Pdt. Adijanto Surjadi

Dalam kesempatan ini Pdt. Salindeho mewakili jemaat dan Sinode GMIST mengucapkan terima kasih kepada Sinode GKI sebagai sinode gereja pertama yang datang dan memberikan bantuan kepada pengungsi di Tahuna dan sekitarnya. Salindeho berharap bahwa antara kedua sinode semakin erat ke depan.

Tim GKI mengakhiri kunjungan ke Tahuna, kemudian melanjutkan perjalanan kembali ke Manado dengan kapal. Perjalanan dengan kapal ditempuh dalam waktu 6 jam. Tim GKI berdoa supaya Tuhan menguatkan saudara-saudara di Tahuna.

Jpeg
Penyerahan bantuan