Mendidik dengan Hati

0
71

banner-meiBerapa banyak orang yang memiliki kenangan buruk tentang guru yang dulu mengajar di tingkat dasar atau menengah? Adakah yang pernah mendengar kata-kata seperti, ”Dasar, kamu tuh bloon banget sih!” Kata-kata tajam dengan mudah meluncur dari mulut pendidik tanpa perasaan. Atau orang tua kadang kala tanpa disadari berulang-ulang mengumpat anaknya dengan pernyataan, ”Dasar anak tak berguna!” Pernyataan seperti itu menunjukkan bahwa para pendidik, baik itu orang tua atau guru kadang kala tidak memiliki kepekaan dalam mendidik, tidak memakai hati. Sebab siapapun, baik anak maupun orang dewasa pasti tidak mau direndahkan.

Begitu banyak anak di masa kecilnya yang harus terluka oleh karena perkataan atau perlakuan orang dewasa terhadapnya. Padahal luka emosional cenderung menetap dan membuat orang menyimpan perasaan tersinggung atau marah itu hingga  dewasa. Bahkan tak jarang ada yang berusaha menutupi perasaan malu atau tersinggung itu, sehingga ia terluka lebih dalam lagi. Rumah yang seharusnya menjadi tempat hati tertambat, akhirnya menjadi tempat hati yang terluka. Betapa pentingnya mendidik dengan hati, sebab mengajar yang berdampak bukanlah dari kepala ke kepala, tetapi dari hati ke hati.

Hati adalah pusat pertimbangan, sebelum kita menentukan pilihan tindakan tertentu. Bagi orang Ibrani, hati mencakup seluruh pribadi manusia, mencakup pikiran, perasaan dan kehendak seseorang (band. Ul 6:4-6). Hati membuat kita peka akan perasaan pihak lain, sehingga kita mampu berempati dengan keadaan orang lain, tidak mudah menghakimi, atau melecehkan. Hati membuat kita mempertimbangkan perlakuan yang tepat yang dibutuhkan oleh pihak lain. Mengajar dengan kepala sangatlah mudah. Tetapi mengajar dengan hati jauh lebih sulit, meski pasti akan lebih bermanfaat dan berdampak luas. Mendidik dengan hati menjadi penting, karena sesungguhnya itulah mengajar yang mengubah hidup (Dr. Howard G. Hendricks, Teaching to Change Lives, 1987).

RELATED ARTICLE  Refleksi Harian - 20 Juli 2015

Anak atau siswa yang kita didik adalah mahluk yang memiliki hati nurani atau perasaan/emosi. Emosi berperan penting dalam kehidupan, sebab emosilah yang menggerakkan kita untuk bertindak. Kesadaran diri dan pengetahuan tentang emosi memungkinkan kita memulihkan kehidupan, membangun hubungan kasih yang langgeng dan menimbulkan kebahagiaan sejati. Itu berarti para pendidik perlu memiliki kecerdasan emosional  yang akan menolongnya untuk menunjukkan bela rasa, empati, penyesuaian diri dan pengendalian diri.  Orang yang cerdas secara emosi dapat menentukan pilihan-pilihan yang baik dan mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan pribadi dan orang lain. Karena itu para pendidik, orang tua dan guru perlu belajar mencerdaskan emosi mereka agar memiliki kepekaan dalam mendidik dengan tepat.

Bagaimana caranya menjadi cerdas secara emosi? Pertama-tama kita perlu mengembangkan kesadaran emosional aktif, yaitu mengenali sepenuhnya setiap emosi yang kita rasakan setiap hari. Kemudian kita menggunakan emosi bersama dengan daya kesadaran kita untuk menjalani kehidupan ini dengan lebih baik dan pasti lebih bijaksana. Semua pembelajaran dimulai dari perasaan. Orang menerima apa yang mereka rasa harus diterima dan menolak apa yang mereka rasa harus ditolak.

Pertanyaannya bagaimana dengan orang-orang yang Anda ajar atau didik? Apakah mereka bersikap menerima atau menolak? Tugas awal para pendidik adalah membangun relasi dengan orang yang anda didik, dengan memakai hati. Maka lambat laun Anda akan melihat penerimaan dan keterbukaan yang kemudian mendorong perubahan yang signifikan.

Mulailah dengan hati, mendidiklah dengan hati, agar perintah dipandang sebagai pelita, ajaran adalah cahaya yang menuntun pada kehidupan (lih. Amsal 6:23)