Musuh Itu Bernama Kebencian dan Intoleransi

0
131
SINODEGKI.ORG – Disangkal atau tidak, momentum politik sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 bangsa Indonesia mengalami limbung. Kehidupan beragama menjadi sedikit terganggu dengan banyaknya ujaran kebencian antar agama, hingga aksi-aksi berutal yang berujung pada tindakan intoleransi. Kondisi ini makin diperparah dengan gelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI tahun 2017 ini dimana tensi politik yang mendidih membuat isu-isu agama kembali menjadi senjata untuk mengerahkan massa, merebut kuasa.
Diakui atau tidak, politik identitas dengan menonjolkan etnis dan isu agama menjadi satu jalan yang efektif dan berbiaya murah. Bahkan di negara maju sekalipun, politik identitas yang menyeret-nyeret agama masih menjadi momok yang menakutkan, terutama bagi mereka yang menginginkan kehidupan damai berdampingan dalam bingkai perbedaan. Kemenangan Donald Trump yang rasis di AS, wabahnya merebak ke nagara lain di Eropa. Di Belanda pada awal 2017 ini, juga mengalami hal yang sama. Tokoh konservatif, Geert Wilders yang dikenal anti Islam didukung banyak kekuatan kelompok konservatif.
Geert Wilders adalah politisi yang menuai kontroversi lantaran merilis film pendek berjudul Fitna. Film berdurasi 17 menit itu, isinya adalah potret kebencian Wilders pada ajaran Muhammad. Beberapa saat setelah koran Denmark Jyllands-Posten juga membuat kontroversi dengan menerbitkan karikatur yang melecehkan Nabi Muhammad.
Di negeri semaju Belanda, ternyata isu agama masih menjadi dagangan yang cukup efektif untuk memobilisir massa dan dukungan. Kalangan moderat di Belanda sadar, bahwa kehidupan keberagaman harus tetap dijaga, sehingga usaha dan kerja keras untuk melawan politik identitas Geert Wilder harus dihentikan.
Saya sendiri mengikuti beberapa tahap dalam perkembangan peta politik di Belanda melalui seorang karib diskusi di Front Nahdliyin yang sedang menyelesaikan kuliahnya di Leiden. Kawan saya yang memiliki ideologi kiri itu bahkan mengaku heran dengan kondisi Belanda di pemilu 2017, dimana ideologi kepartaian tidak lagi diperhatikan. Orang lebih cenderung dihadapkan pada dua pilihan; jadi bagian dari kelompok toleran atau intoleran. “Alhamdulilah, Wilders kalah, meskipun tipis, ini membuktikan bahwa penyakit intoleran itu berbahaya kalau dibiarkan membesar” kata sahabat saya kala itu sambil melempar tawa.
Beberapa bulan setelah itu, giliran Prancis yang diguncang pertarungan antara kelompok toleran dan intoleran. Marine Le Pen yang menjual isu pribumi dan anti imigran lolos hingga putaran kedua pemilihan melawan Emmanuel Macron yang moderat.
Meski pada akhirnya Marine Le Pen senasib dengan politisi rasis Belanda, Geert Wilder, harus menerima kekalahan di putaran terakhir, namun ada data statistik yang sedikit mencengangkan. Dengan pola politik identitas;-menjual isu pro pribumi dan anti Imigran serta anti muslim di Perancis, Marine meraup dukungan lebih dari 10 juta pemilih, atau sekitar 33 persen dari total “voter” yang ada di negeri asal kata “democracy” tersebut. Ternyata begitu besar manusia yang memilih untuk mempertahankan kebencian dihatinya. Begitu banyak warga negara yang setuju dengan intoleransi.
Saya sengaja menukil apa yang terjadi di negeri-negeri yang tergolong maju itu untuk menilai apa sebenarnya yang terjadi di Indonesia, terutama pada tahun 2018 mendatang. Momentum politik menjelang Pemilihan Presiden 2018 bisa mendidihkan suasana dalam sesaat. Bukan tidak mungkin pola yang sama akan terjadi di negeri yang kita cintai ini. Pertarungan kelompok toleran dan intoleran yang dipengaruhi kepentingan-kepentingan politis mungkin saja tidak bisa kita hindari lagi. Jika melihat fenomena yang sudah kita lalui bersama di 2014, dan yang terbaru pada Pilkada DKI awal tahun 2017 lalu, isu Sara, pertentangan mayoritas dan minoritas, hingga bumbu-bumbu agama masih dipertontonkan. Lantas bagaimana sikap kita? Jika negara maju dengan kondisi masyarakat yang terdidik saja masih harus berpeluh menghadapi persoalan ini, apalagi Indonesia?
Sementara itu, media sosial sebut saja Facebook, Twitter, yang 6 tahun lalu sangat sejuk, menjadi wadah komunikasi yang sangat menarik, kini berubah wujud menjadi semacam pelontar roket yang hulu ledaknya adalah isu-isu sentimen agama; yang menjijikkan tentunya. Tidak jarang media sosial justru menjadi pemicu pertikaian, aksi kekerasan dan persekusi bahkan dimulai dari hal-hal yang sangat remeh, soal komentar atau status di media sosial. Bangsa Indonesia yang terkenal ramah dan terbuka, mendadak mengidap penyakit penuh curiga dan gampang marah. Gampang tersinggung. Celah-celah hukum digunakan jadi senjata. Pasal ujaran kebencian menjadi andalan untuk saling menyerang satu sama lain. Keberagaman yang terbangun berpuluh tahun dengan ditopang nilai-nilai Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika itu pelan-pelan terdegradasi. Hampir sulit membedakan, humor, sesuatu yang tak serius, dengan komentar yang benar-benar serius.
Memang bahasa tulisan punya keterbatasan. Parade huruf yang tersusun tak akan mampu mewakili apa dan bagaimana kondisi yang sebenarnya. Ada gestur tubuh yang hilang, ada mimik wajah yang tak bisa dilukiskan, ada intonasi yang juga tak semua bisa digambarkan dalam bahasa tulisan. Hal ini juga yang membuat kesimpang-siuran di media sosial. Orang dengan mudah menganggak si A melakukan penghinaan, ujaran kebencian, tanpa melihat maksud dan tujuan si A membuat tulisan tersebut. Tak jarang saya menemui kasus yang demikian. Saya hanya rindu Indonesia yang rukun, sejuk, humoris dan penu cinta kasih. Wujud cinta kasih tak harus memuji, kadang mencubit, kadang sedikit “ngejek” tapi semata-mata sekedar humor bukan untuk menjatuhkan atau merendahkan.
Ada sebuah anekdot. Syahdan dua orang sahabat karib, yakni yang satu seorang pendeta, satunya lagi ustadz. Karena saking asyiknya bekerjasama dalam urusan kebaikan dunia, mereka tidak sempat memahami ritual agama masing-masing. Pada suatu hari keduanya naik pesawat. Ketika di dalam pesawat di atas langit ada petir menyambar, pak pendeta kaget dan berucap :”haleluyah”. Pak ustadz di sebelahnya dengan lugunya “membetulkan” ucapan pak pendeta. Bukan, itu halilintar, bukan haleluyah. Pak pendeta senyum menanggapi sahabatnya.
Ketika pesawat turun, keduanya dijemput bus bandara. Sebelum kaki melangkah naik bus, pak ustadz berujar :”bismilllah”. Pak pendeta dengan lugunya juga “membetulkan” ucapan sahabatnya. Bukan pak ustadz, ini bukan bismillah, namun Bis Bandara. Pak ustadz juga tersenyum. Keduanya tidak sadar dengan kesalahpahaman memahami ritual agama masing-masing, dan mereka tetap bersahabat.
Karena bagi Islam Laakum Dinnukum Waliyadin “Bagiku agamaku dan bagimu agamamu”, dan bagi pak pendeta, hidup adalah melayani sesama dengan cinta kasih. Singkatnya kesalahpahaman itu nggak jadi masalah. Toleransi itu ialah ketika seekor kucing masuk kandang kambing tidak harus memaksakan diri mengembik dan sebaliknya. Pokoknya urusan agama adalah urusan pribadi dengan Tuhannya. Hubungan manusia dengan manusia tetap harus dijaga dengan apik. Apalagi Indonesia itu sangat heterogen.
Pemuda Nahdiyin Bantu Pemuda GKI Bundasudhi Batam buat pohon Natal
Dari dasar pemikiran tersebutlah, komunitas Pelangi Batam akhirnya lahir. Sejumlah aktivis dari Front Nahdliyin Batam bersama dengan pendeta-pendeta GKI sepakat untuk membangun satu wadah kecil tempat saling berkomunikasi dan menyebarkan pesan-pesan perdamaian. Seperti pepatah bijak, lebih baik menyalakan lilin meski tak mampu menerangi seluruh ruangan, dibanding harus pasrah dan mengutuk kegelapan. Komunitas pelangi Batam hanya berisi beberapa belas orang yang punya mimpi sama, yakni hidup berdampingan dalam bingkai keberagaman.
Kota Batam adalah miniatur kecil Indonesia. Kota ini ditinggali beragam etnis dari seluruh penjuru tanah air. Kondisi yang sangat heterogen ini tentu harus dijaga dengan tetap mengabarkan pesan-pesan kedamaian. Tidak usah penulis uraikan dalam tulisan ini, berapa banyak konflik yang pernah terjadi di Batam dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Kita lupakan lembaran lama yang usang itu, kita bangun kehidupan Batam yang lebih baik kedepan. Komunitas pelangi Batam menunjukkan komitmen tersebut.
Dalam momentum Natal di penghujung 2017 ini, Komunitas Pelangi Batam bahkan membuat satu agenda bersama, yakni membuat pohon natal dari bahan baku bekas. Pohon Natal unik dari potongan kertas yang sudah tak terpakai itu sebenarnya inisiatif dari aktivis GKI Bundasudi Batam yang ada di komunitas. Hanya saja dalam pengerjaannya, kami lakukan bersama. Mungkin tidak semua penganut Islam setuju dengan aksi yang ditunjukkan kader muda Nahdliyin disini. Bagi sebagian mereka, hal itu masih tabuh. Jangankan membuat pohon Natal, mengucapkan selamat saja difatwai haram. Tapi saya pribadi dan mungkin juga beberapa sahabat aktivis Nahdliyin yang terlibat dalam aksi tersebut memiliki pandangan lain.
Kami menganggap pohon Natal itu sama halnya dengan Ketupat saat lebaran. Pohon Natal dan Ketupat adalah potret akulturasi kebudayaan dalam kehidupan keberagamaan. Ia bukan bagian dari ritual agama. Sehingga ummat Kristen yang membantu membuat ketupat, memakan ketupat, tidak juga secara otomatis kita anggap telah masuk Islam, atau sebaliknya mereka yang muslim telah dianggap masuk Kristen hanya karena membantu pohon Natal. Anda pasti tersenyum tentunya.
Memisahkan antara kebudayaan dengan agama menjadi penting. Untuk itu, pemahaman secara histori perlu dilakukan untuk melihat segala bentuk fenomena yang ada. Mereka yang beragama secara filosofis tidak akan mudah membangun klaim-klaim sepihak. Agama adalah apa yang di dalam hati, bukan tampilan luar yang ektrensik.
Alhamdulillah, tahap pertama pohon Natal itu bisa kami rampungkan bersama. Semoga pohon Natal karya komunitas Pelangi Batam ini bisa menjadi pemicu munculnya pemikiran pelangi di Kota Madani ini. Apalagi tantangan kedepan sangat berat tentunya. Virus intoleransi, wabah-wabah kebencian, akan terus mewarnai kehidupan kita. Masih tetapkan anda memilih diam?
Wallahul Muafiq Ila Ahwamhit Thari
Wassalamu’alaikum WR WB
Nurfahmi Magid
Wakil Sekretaris Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PC NU) Kota Batam

RELATED ARTICLE  Asing dan Aseng

Ilustrasi: Angry