Pemuda GKI Jadilah garam dan Terang Dunia Bukan Garam dan Terang Gereja

0
133
Pdt. Em. Kuntadi Sumadikarya

SINODEGKI.ORG – Saya terinspirasi oleh Jorgen Randers, penulis buku “2052, A Global Forecast for the Next Forty Years”. Buku tersebut adalah Peringatan 40 Tahun munculnya the Limits of Growth. The Limits of Growth terbit dari Club of Rome, berisikan peringatan dan pemikiran simulasi komputer mengenai adanya batas daya dukung bumi (tanah. Laut dan udara) menanggung problematika perkembangan global kependudukan, makanan, ekonomi, ekologi, industrialisasi, polusi dst.

Salah satu topik “2052” yang berkaitan dengan judul kita di atas adalah soal pemuda. Tentu saja ini bukan tentang pemuda GKI, melainkan pemuda global. Namun demikian dengan globalisasi yang berdampak ke lokal, pemuda GKI dapat merasakan sendiri apakah catatan-catatan global tersebut relevan atau tidak untuk dipertimbangkan, direfleksikan, dijalankan demi menghasilkan sesuatu yang bermakna untuk kehidupan bersama segala ciptaan.

Tulisan ini tidak mengasumsikan pemuda menjadi “garam dan terang gereja”, yang (biasanya) diharapkan sesering mungkin, sebanyak mungkin, selama mungkin berada dalam gedung gereja; melainkan sesuai amanat Kristus, menjadi garam dan terang dunia berbasis spiritualitas Kristianinya. Tulisan ini juga tidak menyalahkan atau mengeluhkan siapa-siapa, seperti biasa dilakukan orang. Blaming game seperti itu bukanlah mainan saya.

Enam butir dari Sarah Severn di bawah ini adalah hasil penelitian global dari pelbagai negara dan menunjukkan kesamaan pola dari pemuda yang disebut kaum “Millennials”.

1 Lebih terkoneksi
Pemuda China yang memakai 34 jam sepekan untuk komunikasi real-time, jejaring dan peralatan media adalah sebuah contoh saja tentang millenials yang terkoneksi. Ini nyaris tiga kali lipat dari rata-rata profil 12 negara lain dalam laporan tersebut. Persentase Millenials yang menggunakan ponsel terus meningkat cepat di seluruh dunia termasuk Indonesia.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia melaporkan dari risetmya, pengguna kategori 20-24 tahun ditemukan 22,3 juta jiwa yang setara 82 persen dari total penduduk di kelompok itu. Sedangkan kelompok 25-29 tahun, terdapat 24 juta pengguna internet atau setara 80 persen total jumlah jiwa di kelompok itu. Kedua kelompok usia itu mengalahkan kelompok usia lainnya yakni kategori usia 30-34 tahun 72 persen dan 35-39 tahun 63 persen. Angka-angka tersebut sekaligus mewakili kenaikan nominal penetrasi nominal pengguna internet dalam populasi Indonesia, sehingga data per Oktober 2016 mencapai sekitar 132,7 juta pengguna. Baik kontes American Idol maupun Indonesian Idol adalah semacam unjuk kekuatan bagaimana pemuda terkoneksi secara jejaring.
Ada lagi yang saya banggakan dan mungkin dapat menjadi contoh perintisan di GKI. Kelas katekisasi GKI perumahan Citra Satu Jakarta Barat, setahu saya sudah meninggalkan katekisasi konvensional. Pendeta (dan penatua) tidak lagi melulu berceramah kepada kelas serta berharap kelas mengingat semua amanat pengajaran seumur hidup mereka. Kelas katekisasi model baru ini, memberikan topik pengajaran yang harus dibuatkan paper singkat oleh setiap peserta. Untuk dapat membuat paper “teologis” macam itu mereka meng-googling internet, memilih, membaca dan merumuskan kembali dalam bahasa mereka dalam sebuah paper yang dipresentasikan dalam kelas. Ada pencarian info indoor dan outdoor. Dalam diskusi dengan kelas, pendeta dan penatua membahas paper tersebut. Meluruskan, menegaskan tanpa mengecilkan hati kelas, sebaliknya mengapresiasi mereka. Ini menurut saya sangat mendewasakan pikiran, intelektualitas dan spiritualitas peserta. Mereka dapat dipastikan akan menjadi generasi katekisan yang lebih matang ketimbang kelas-kelas konvensional. Mereka terkoneksi dengan sumber-sumber yang kaya, ketimbang banking concept dari generasi terdahulu.
2 Menuntut Transparansi
Penggunaan teknologi digital menunjukkan bahwa Millenials dipersiapkan untuk berbagi banyak hal tentang diri mereka dan mengharapkan transparansi setara dari bisnis dan pemerintahan. Mereka kurang percaya kepada bisnis dan lembaga publik ketimbang generasi-generasi sebelumnya. Zaman internet dan Wikileaks memberi generasi ini peluang untuk melihat tembus ke balik jubah mewah empire dan mereka tidak terlalu suka dengan apa yang terlihat itu. Di tengah prospek lemah lowongan kerja, maka pemuda yang semakin intelektual dan terkoneksi secara global, akan semakin aktif secara politis karena keniscayaan.

RELATED ARTICLE  PERPPU No 2 Tahun 2017: menghancurkan atau merawat demokrasi?

Apakah yang disebut empire? Empire adalah kekuatan ekonomi global (termasuk nasional dan lokal) yang berkolaborasi dengan kekuatan politik, militer, pemerintahan, sosial, teknologi, media, budaya dan agama. Apa yang mereka lihat di balik jubah empire? Keserakahan, ketidakadilan, ketidakmanusiawian. D balik jubah itu ada kekuatan yang menghisap, kekuasaan yang menindas, niat yang membinasakan. Namun di luar jubah empire sangat indah, menarik dan mencitrakan kebalikan dari semua yang di dalamnya. Sebagian terbesar pemuda berharap dengan kecerdasan mereka masuk ke dalam jejaring empire. Di sana ada penghasilan yang bagus dan karir yang dapat merayap atau meloncat ke atas. Ini sebuah niat yang bagus sepanjang tak hanyut ke dalam jubah empire itu dan mencerna keserakahan, ketidakadilan, ketidakmanusiawian. Bagus manakala dari dalam jubah itu pemuda dengan satu dan lain cara terus menerus menginginkan transparansi, bagus luar dan dalam. Bagus karena dalam posisi di dalam jubah empire, pemuda dapat melakukan apa saya jargonkan di Sidang Raya DGD Busan sebagai “putting Justice at the heart of empire”. Artinya adalah mencari alternatif kreatif untuk membuat syahwat kekuatan empire berpihak kepada keadilan, kemanusiawian dan kehidupan, dengan mengingat bahwa seluruh kehidupan segala ciptaan adalah satu rumah tangga Allah.

3 Lebih mendukung Agenda Liberal dan Progresif
Pemuda di Amerika Serikat merupakan contoh saja tentang pemuda yang lebih progresif secara politis. Millenials AS berada di balik sukses Obama di tahun 2008. Pemberontakan di Mesir dan gerakan-gerakan lain di Timur Tengah pada 2011 juga diwakili oleh gerakan-gerakan pemuda yang terpelajar yang memilih untuk mengubah rezim represif yang tidak memenuhi kebutuhan mereka. Mereka mengorganisasi diri melalui teknologi dan media sosial.
Pemuda di Indonesia tidak ketinggalan dari rekan-rekannya di AS dan seantero penjuru dunia. Demi sukses Jokowi menuju istana dan demi Ahok ke DKI 1, para pemuda termasuk kelompok “Teman Ahok” mengorganisiri diri dalam memasuki politik demi perubahan dari sistem politik dan pemerintahan yang korup. Peran mereka melalui media sosial bahkan melebihi peran media mainstream.

RELATED ARTICLE  Asing dan Aseng

4 Lebih Fleksibel
Ini adalah generasi ini yang sebagian terbesar tak berharap berkarir panjang dalam arti tradisional. Tingkat pengangguran tinggi dan tingkat pendidikan yang baik berarti mereka akan menciptakan penghidupan mereka karena keniscayaan. Kunci tantangan bagi mereka adalah menemukan makna dan harapan dalam hidup mereka melalui percaya diri, koneksi satu dengan lainnya, dan kaitan dengan sistem yang dapat mendukung ketimbang mengeksploitasi mereka.

Memahami fleksibilitas tersebut akan bagus manakala dalam TRP 2017, bahkan pra TRP 2017, diselenggarakan adu gagasan mencari alternatif program kreatif dan atraktif dari kebaktian pemuda selama ini. Para penggagas terbaik tentu berhak atas hadiah yang pantas. Jika dilakukan pada pra TRP maka TRP dapat menjalankan dinamika kelompok mematangkan, mensosialisasikan dan menyepakati bersama gagasan-gagasan yang muncul. Niscaya muncul perubahan pola program pemuda jemaat serta tujuan relevan, yang menguntungkan pemaknaan diri pemuda sendiri dan bersama.

5 Terorientasi Komunitas
Millenials bertumbuh dewasa dalam dunia yang ditentukan oleh terorisme, kekacauan ekonomi dan runtuhnya lingkungan. Konektivitas memungkinkan mereka menyaksikan setiap bencana alam besar mulai dari tsunami sampai gempa bumi dan setiap contoh ketidakstabilan geopolitik. Stabilitas mereka sendiri berasal dari keluarga, sahabat-sahabat dan komunitas digital. Mereka lebih berorientasi tim dan kolaboratif dari pada generasi-generasi lain dan tampaknya lebih berbelarasa. Generasi ini kini muncul sebagai generasi yang lebih terlibat dalam usia yang jauh lebih muda.

Jarak antara wilayah Sinwil Jatim, Jateng dan Jabar cukup jauh untuk berkomunitas. Namun demikian TRP GKI 2017 dapat menciptakan sebuah web, blog, vlog, group twitter, facebook group dll, bahkan sebuah ajang cari jodoh! Ini memungkinkan para pemuda GKI berkomunitas satu dengan lainnya, tanpa memandang jarak fisik. Tentu saja gagasan ini mesti dibarengi dengan arsitektur pembangunan komunitas digital pemuda GKI yang konseptual kreatif, realistis, kritis dan relevan.

RELATED ARTICLE  Sahabat Bagi Semua! Mungkinkah?

6 Lebih Spiritual
Menuju tahun 2052 temuan-temuan baru dalam bidang fisika kuantum, kesadaran manusia dan sains noetic (aktivitas mental) akan menjadi arus utama. Patricia Auberne dalam Megatrends 2010 menunjuk kepada bangkitnya spiritualitas dalam bisnis sebagai kunci kecenderungan bagi dasawarsa berikutnya. Kita hidup dalam masa karut marut dan pencarian makna dalam kehidupan, kondisi itu menjadi pendorong yang kuat. Sementara Millenials makin kurang minat terlibat dalam agama resmi, konteks fisik di mana mereka berkembang (konektivitas tingkat tinggi dan kolaborasi) dan dampak dari riset sistem nilai (seperti misalnya dari Spiral Dynamics) mengindikasikan bahwa spesies manusia akan terus mengembangkan kapasitas demi menggarap tingkat kerumitan lebih besar dan realitas-realitas alternatif.

Saya sudah sering mengkritisi bagaimana mengerdilnya teologi dalam jemaat. Misalnya Yesus menjadi Juruselamat Kristiani, yang jelas-jelas tidak alkitabiah, karena Yesus itu adalah Juruselamat Dunia! Saya juga sudah sering mengkritisi pengklisean ungkapan-ungkapan rohani Kristiani. Misalnya “Doa besar kuasanya,” “percaya kepada Alkitab,” yang sejatinya mengalihkan orang Kristiani dari Allah kepada sarana dan simbol-simbol. Sesungguhnya yang berkuasa adalah Allah, bukan doa dan percaya kita kepada Allah, bukan Alkitab. Millenials menuntut spiritualitas yang otentik, bukan yang klise. Secara lebih puitis saya ungkapkan pemuda tidak menginginkan “second hand spirituality” tetapi “first hand spirituality”! Jika TRP 2017 hanya menyajikan teologi opa-oma atau teologi om-tante yang sudah usang maka itu merupakan sebuah kegagalan didaktik. Perlu disain yang segar dan otentik untuk melakukan konsientisasi pemuda dalam Pencarian mereka akan “next step spirituality.”

KS: Monday, April 10, 2017

Tantangan Bagi Pemuda