Pesan Pastoral BPMS GKI Dalam rangka HUT ke-29 GKI

0
124

“BERKARYA MERAWAT KEBHINNEKAAN”

Pesan Pastoral BPMS GKI Dalam Rangka HUT ke-29 GKI

Anggota Jemaat dan Simpatisan GKI yang kami kasihi,

Salam kekeluargaan, solidaritas dan persekutuan di dalam Bapa, Anak dan Roh Kudus.  

Keberadaan Gereja Kristen Indonesia sangat identik dengan bangsa Indonesia. Bangsa kita, Indonesia,  dibangun di atas komitmen kebersamaan yang kuat, di mana berbagai entitas memberi diri untuk saling merangkul dan berkelindan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Demikian juga dengan Gereja Kristen Indonesia, yang telah berhasil melampaui cangkang partikularitas dalam perbedaan sejarah sebagai persekutuan orang TiongHoa keturunan, menjadi Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, dan akhirnya menjadi satu Gereja Kristen Indonesia.  Baik Indonesia maupun GKI menghidupi dua kata yang sangat berharga, yakni kepelbagaian dan kesatuan.

Bagi GKI kebhinnekaan bukan hanya sebagai konteks, melainkan sebagai jiwa. Kebhinnekaan adalah buah kreativitas tanpa batas dari Allah Trinitas yang harus dirawat. Ekspresi merawat kebhinnekaan itu dinyatakan dalam komitmen GKI untuk turut menjaga Indonesia. Indonesia adalah rumah bersama bagi kebhinnekaan. Rumah di mana perbedaan tidak dipandang sebagai halangan, melainkan dirangkul dalam satu tarikan napas setanah air, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan, yakni Indonesia.

Bersamaan dengan tujuh puluh dua tahun usia Republik Indonesia, pada dua puluh sembilan  tahun penyatuan GKI ini Badan Pekerja Majelis Sinode ingin menyampaikan beberapa pesan berikut :

  1. Indonesia adalah ruang kehidupan bagi kita semua. Tanpa ruang kehidupan manusia tak terlahir, tak bisa hidup dan berbudaya, tak ada perjanjian dengan Allah, sebab Allah berkarya lewat tanah sebagai ruang hidup. “Ruang hidup” bukan hanya soal alamat tempat tinggal kita, melainkan asal kehidupan kita. Identitas kita dilekatkan dengan tanah dari mana kita berasal, yaitu Indonesia. Indonesia menunjuk pada realitas yang membentuk kita.  Sebab di balik kata Indonesia termuat dimensi hidup yang begitu kompleks, melampaui posisi geografisnya. Di dalam kata Indonesia ada  karakteristik peradaban, moralitasnya, tanah, sungai, dan kehidupan alamnya dsb.  Tanpa ruang hidup itu, tak ada budaya, tak ada komunitas manusia termasuk gereja. Karena itu kita perlu sungguh-sungguh menghayati ke-Indonesia-an kita. Sebab mereka yang tak menghayati lokalitas dan kehidupan asalinya tak akan pernah mampu menjadi warga negara yang baik.
  2. Sampai saat ini, dengan mengatasnamakan kemajuan zaman dan pembangunan, tanah digusur, lahan-lahan subur pertanian ditebas oleh para pengembang untuk meraup keuntungan dari bisnis property. Hutan-hutan dirambah menjadi industri, desa-desa disulap menjadi real estate,  sehingga kehidupan lokal pun tergusur, penduduknya kemudian terpencar ke berbagai wilayah.  Manusia tercerabut dari tanahnya. Budaya lokal punah,  tembang dan dongeng-dongeng lokal kurang terdengar, tarian lokal jarang terlihat,  bahasa lokal semakin sedikit yang mengerti. Semua tradisi yang sebelumnya lahir dan lestari turut punah  bersama ruang yang terjajah. Lokalitas kita makin tersisih oleh hegemoni budaya popular, kapitalisme, Westernisasi, Arabisasi, dan “isasi-isasi” serta “isme-isme” lain yang biasanya menunggangi jargon kemajuan peradaban dan kemurnian dogma serta sikap keagamaan. Di tengah keadaan tersebut kita perlu menjembatani, bahkan menjangkarkan kembali masyarakat yang semakin tercabut dari lokalitas dan primordialitas ruang hidupnya. Tentu saja  tanpa terjebak dalam lokalisme dan primordialisme (sebab segala sesuatu yang telah menjadi ‘isme’ akan cenderung menihilkan yang lain). 
  3. Manusia tak akan menjadi manusia sejati tanpa Allah, ciptaan lain dan tanah. Manusia akan kehilangan otentisitasnya tanpa ciptaan lain. Hidup bersama dalam harmoni bersama seluruh ciptaan adalah dasar eksistensi manusia yang sejati. Manusia adalah bagian integral dari komunitas semesta. Hidup dalam kebhinnekaan bukan saja butuh kesediaan berdampingan dengan orang lain, melainkan kesanggupan kita mengadvokasi alam semesta yang menjadi Ibu kebhinnekaan. Karena itu dibutuhkan penghayatan iman yang mampu merangkul kebhinnekaan di ruang kehidupan.
  4. Iman bukan saja tentang pengalaman personal manusia dengan Tuhan, namun harus dilihat sebagai kebersamaan dengan Tuhan yang menjadi Raja semesta, yang hadir di Ibu Pertiwi. Penebusan Yesus seharusnya tak hanya dihayati sebagai penebusan atas dosa manusia, namun juga perlu dihayati sebagai penebusan atas ciptaan yang akan mencapai kesempurnaannya dalam langit baru dan bumi baru (Wahyu 21). Kristus tidak hanya bekerja di dalam hati orang-orang percaya, sehingga kita juga ditantang untuk melihat Kristus yang berinkarnasi dan hidup berelasi secara total dengan ekosistem. Kristus hadir dalam seluruh ciptaan. Inkarnasi Allah dalam Kristus merepresentasikan Allah yang berkenan hadir dalam ruang yang terbatas. Itu menandai terwujudnya harapan baru bagi tanah untuk mengalami perdamaian, “rasa aman” dan kecukupan, sebab kehadiran Yesus telah mengubah wajah ruang kehidupan. Gereja adalah tubuh Kristus namun juga sekaligus bagian dari dunia. Sebab itu Gereja dipanggil untuk terlibat dalam misi kosmik Allah, yakni membebaskan semesta sebagai rumah Allah dan mentransformasi seluruh ciptaan menuju langit baru dan bumi baru.
RELATED ARTICLE  PESAN PASTORAL TERKAIT AKSI TEROR TERHADAP GEREJA-GEREJA DI SURABAYA

Dalam semangat penghormatan terhadap kebhinnekaan di ruang kehidupan bersama ini, kami mengajak seluruh anggota jemaat dan simpatisan GKI mensyukuri dan merayakan Hari Ulang Tahun ke-29 GEREJA KRISTEN INDONESIA. Selamat untuk kita semua.

Badan Pekerja Majelis Sinode GEREJA KRISTEN INDOENSIA,

 

Pdt. Budi Cahyono Sugeng                                                                                            Pdt. Arliyanus Larosa

Ketua Umum                                                                                                                          Sekretaris Umum

PESAN PASTORAL HUT KE-29 GKI 2017-oke