Potret Anak Indonesia

0
125

SINODEGKI.ORG – Lina Tjindra, Sahabat Anak, Kondisi anak-anak Indonesia secara umum masih ada di “zona kuning” seperti akses kesehatan dan akses pendidikan.

Ada juga yang ada di “zona merah” dalam hal perlindungan – mengingat kasus-kasus seperti kekerasan dan atau pelecehan seksual, perundungan, termasuk pernikahan usia anak.

Di satu sisi, perkembangan positifnya adalah kian banyak kota/area yang berkomitmen memenuhi syarat/ketentuan Kota Layak Anak (KLA). Tahun 2015, tercatat sudah 294 kota/kabupaten yang menjalankan kebijakan KLA. Bahkan di tahun 2016, Indonesia terpilih menjadi percontohan KLA di kawasan ASEAN.

Program KIP (Kartu Indonesia Pintar) & KIS (Kartu Indonesia Sehat) cukup memberi dampak signifikan dalam penyediaan akses pendidikan dan akses kesehatan bagi anak senusantara.

Namun, sesuai statement di atas, zona merah dalam hal perlindungan menjadi PR besar yang masih harus dikerjakan – tidak hanya oleh Pemerintah, tapi juga aparat kepolisian, penegak hukum, togam (tokoh agama), tomas (tokoh masyarakat), todik (tokoh pendidikan), pekerja sosial, aktivis anak, hingga keluarga sebagai agen terdekat di lingkungan anak.

Memprihatikan bila melihat data terbaru KPAI bahwa 91% anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87,6% di lingkungan sekolah, dan 17,9% di lingkungan masyarakat. Dua lingkungan terdekat anak – keluarga dan sekolah – justru menjadi tempat yang paling tidak aman bagi anak.

Permasalahan

Metode/kinerja yang sinergis dan strategis dalam membela anak. Pihak/lembaga pembela anak harusnya saling bersinergi – tidak bekerja sendiri-sendiri. Lembaga-lembaga ini perlu didorong untuk bersinergi agar daya dalam melakukan perubahan/pergerakan dapat lebih besar dan fokus. 

Contoh, beberapa lembaga yang bersatu dalam Gerakan Kaji-ulang UU Perlindungan Anak di tingkatan MK (Mahkamah Konstitusi). Poin tentang Akta Lahir yang awalnya stelsel aktif ada di warga, diubah menjadi ada di pemerintah. Kinerja yang strategis. Perubahan di UU (hukum tertinggi negara) dari lembaga tinggi negara (MK) mampu turun hingga ke bawah. 

Misalnya dulu seorang nelayan harus berperahu 3 hari untuk mencapai Kantor Lurah/Camat untuk mengurusi Akta Lahir bayinya yang baru lahir – karena stelsel aktif ada di warga negara.

Risiko yang harus ditanggung sang nelayan adalah seminggu tidak bekerja (tidak berlayar karena 6hr pulang pergi) dan harus meninggalkan bayi dan istrinya dalam kondisi lemah pasca melahirkan.

Tapi dengan memindahkan stelsel aktif ada di Pemerintah, maka Lurah/Camat/Pejabat terkait, merekalah yang harus mendatangi rumah si nelayan untuk mendata dan membuatkan Akta Lahir.

Dari 10 Hak Anak Indonesia, belum semuanya terpenuhi. Terutama seperti yang disebutkan di bagian akhir poin no. 1 ==> Hak Dilindungi, Hak Pendidikan, Hak mendapatkan Akses Kesehatan, Hak Partisipasi, dan Hak Identitas (Akta Lahir).

Peran Stakeholder

RELATED ARTICLE  Asing dan Aseng

Jalan masih panjang – bagi stakeholder dalam memperjuangkan Hak-hak Anak. Isunya masih sama seperti poin no. 2, yakni sinergi dan strategi program. Tantangan bagi para pemangku kepentingan (stake holders) – yang tidak hanya pemerintah saja, tapi juga perusahaan, dan media, serta togam, todik, tomas di lingkungan terdekat anak. Untuk saling bersinergi dengan program strategis.

Peran Gereja

Gereja masuk dalam klasifikasi togam (tokoh/lembaga agama), berperan sebagai fasilitator dalam memberikan sosialisasi dan edukasi Hak Anak. Kemampuan gereja sebagai institusi keagamaan yang mendapatkan TRUST besar dari jemaatnya, sangat signifikan dalam memberikan arahan agar setiap personil (orang tua, guru, pendeta, guru sekolah minggu, tetangga, tante om, dsb) bisa menjadi PELAKU AKTIF dalam melindungi anak atau memenuhi hak-hak anak.

Misalnya: Himbauan untuk awas, peduli, bahkan hingga perlu melaporkan bila melihat/mendengar/berasumsi ada anak di sekitar lingkungannya (rumah atau kantor atau komunitas) yang tidak terpenuhi hak-haknya. Mulai dari hal-hal yang sangat terlihat (tangible) seperti tidak sekolah / tidak mendapatkan makanan sehat / tidak mendapatkan akses kesehatan / terabaikan / dipukul / dan lain sebagainya – hingga hal-hal yang tak terlihat (intangible) seperti mengalami perundungan (bully) / dilecehkan secara fisik atau seksual atau verbal (dimaki, kata-kata kasar).

Gereja juga bisa menjadi agent of change dalam mendengarkan aspirasi anak. Libatkan anak dalam pengambilan keputusan. 

Misalnya: Dalam menentukan program/metode kelas Sekolah Minggu, pernahkah gereja mendengar suara/aspirasi anak. Yang biasa terjadi hanya mendengar pendapat orang dewasa (Majelis, Pendeta, Guru Sekolah Minggu, Pengurus, Aktivis, dll). Tapi jarang sekali bahkan tidak pernah melibatkan anak.