Siapa Mencintai Nyawanya Akan Kehilangan Nyawanya

0
76

 

Yeremia 31:31-34; Mazmur 51:3-14; Ibrani 5:5-10; Yohanes 12:20-33

 

Dari surat Ibrani kita mendapat informasi tentang peranan Imam dalam agama Yahudi:

Pertama, seorang Imam dipilih oleh Allah. Jadi seseorang tidak bisa dari dirinya memilih dirinya sendiri untuk jabatan Imam. Imam-imam Yahudi yang berasal dari keturunan Harun adalah pilihan Allah. Suatu ketentuan dari Allah. Itu jugalah yang terjadi pada Tuhan Yesus Kristus. Rasul Paulus menyatakan, “demikian pula Kristus tidak memuliakan diriNya sendiri dengan menjadi Imam besar, tetapi dimuliakan oleh Dia yang berfirman kepadaNya: “AnakKu Engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini,”…”

Ungkapan “AnakKu” merupakan proklamasi, penetapan Allah Bapa atas diri Tuhan Yesus yang akan menjalankan tugas ke-Imam-an di dunia ini, yaitu sebagai korban penebus dosa, melalui kesengsaraan dan kematianNya di kayu salib. Melalui salib Allah meninggikan Yesus sebagai Imam yang Agung. Jadi bukan Tuhan Yesus yang mengangkat atau menetapkan diriNya sendiri sebagai Imam Agung. Imam Agung Yesus itu senantiasa melakukan apa yang Allah Bapa kehendaki. Ia adalah seseorang yang dipilih oleh Allah untuk menjalankan tugas dari Allah, tidak mengabdi pada dirinya sendiri, melainkan mengabdi pada Allah. Ia tidak bertindak berdasarkan kehendak dan kepentingannya sendiri, melainkan taat dan tunduk pada kehendak dan kepentingan Allah.

Kedua, seorang Imam bertugas mempersembahkan korban karena dosa. Dengan istilah lain, korban penghapus dosa.  Kalau Imam Yahudi biasanya mempersembahkan korban penghapus dosa, baik untuk umat (sebab ia wakil umat yang berdosa), maupun untuk dirinya sendiri, yang juga adalah orang berdosa. Tetapi Imam Agung Yesus bukanlah seperti Imam Yahudi pada umumnya. Ia tidak berdosa. Namun Ia mempersembahkan diriNya sebagai korban penghapus dosa. Tidaklah main-main, yang dikobankan bukanlah seekor anak domba, melainkan diriNya sendiri.

RELATED ARTICLE  Pemimpin: Menundukkan Diri Pada Aturan Komunitas       

Tindakan Tuhan Yesus di atas yang mempersembahkan diriNya sebagai korban penghapus dosa, oleh penginjil Yohanes tindakan tersebut dapat kita formulasikan demikian: “bahwa Ia tidak mencintai nyawaNya, sehingga Ia tidak kehilanganNya.” Artinya Tuhan Yesus yang berempati dengan keadaan manusia: kejatuhan manusia, kelemahan manusia, kesengsaraan manusia akibat dosa manusia, rela menerima hukuman Allah, rela menggantikan manusia. Oleh karena itulah, Allah meninggikanNya. Membangkitkan Ia sebagai yang sulung dari kebangkitan orang-orang mati. Allah Meninggikan Ia, dimana dari sorga Ia memerintah bersama Allah. Bahkan Ia menjadi pokok keselamatan. Sumber keselamatan bagi seluruh umat manusia. Ia tidak kehilangan nyawaNya! Ia bangkit! Ia hidup sebab Ia tidak mencintai (mempertahankan) nyawaNya. Di dalam tekanan pencobaan oleh Iblis saat Ia sangat lapar dan haus, di dalam tekanan penderitaan yang hebat, Ia tidak mengkhianati Allah.

Ada dua orang prajurit ditawan oleh musuh mereka. Oleh musuh kedua prajurit tersebut dipisah ruang interogasinya. Di dalam ruang-ruang terpisah tersebut masing-masing prajurit diminta untuk menyampaikan rahasia pasukannya dan rahasia negaranya. Permintaan dilakukan dibawah tekanan dan ancaman nyawa. Peraturannya adalah siapa yang membuka rahasia pasukan dan rahasia negaranya pada musuh, maka ia akan selamat. Tetapi siapa yang tidak membuka rahasia pasukan dan rahasia negaranya, maka ia akan ditembak mati.

Prajurit pertama, disiksa sedemikian rupa agar ia menyampaikan rahasia yang diinginkan musuh. Namun prajurit tersebut bertahan untuk tidak menyampaikan rahasia pasukan dan negaranya. Semakin ia bertahan, siksaan semakin berat. Tetapi ia sudah bertekad untuk kehilangan nyawa. Ia rela mati bersama rahasia pasukan dan negaranya. Ia tidak menyayangkan nyawanya, sehingga musuh yang tadinya dengan semangat menyiksanya menjadi putus asa, dan berbalik mengaggumi kesetiaan sang prajurit. Akhirnya mereka memberikannya air, makanan dan merawatinya dengan penuh hormat. Berharap bahwa merekapun dapat setia seperti sang prajurit. Berharap agar ia mau bergabung dengan mereka.

RELATED ARTICLE  Bersyukur

Di dalam ruang yang lain, prajurit kedua mengalami hal yang sama. Siksaan bertubi-tubi, tidak tertahankan. Semakin ia bertahan untuk tidak membuka rahasia, semakin meningkat siksaan yang ia terima. Akhirnya ia menyerah dan menyampaikan rahasia pasukan dan negaranya. Ia tidak tahan lagi. Ia ingin tetap hidup. Namun sayang disayang, setelah ia menyampaikan rahasia pasukan dan negaranya, ia langsung ditembak mati di tempat. Bagi musuh ia adalah orang atau prajurit yang sangat berbahaya. Orang yang tidak memiliki kesetiaan. Orang yang mau mencari aman dan rela mengorbankan orang lain: pasukan dan negaranya demi mempertahankan hidupnya, nyawanya, maka mereka menghilangkan nyawanya. Ia mencintai nyawanya dan kehilangan nyawanya.

Dari keteladanan Tuhan Yesus dan prajurit pertama, kita belajar untuk setia kepada Allah dan perintah-perintahNya (kebenaran), sekalipun nyawa taruhannya. Dari prajurit kedua kita belajar bahwa orang yang mencintai diri, mengorbankan orang lain, tidak rela menderita, justru akan kehilangan nyawa. Janganlah kita mengkhianati Tuhan dan kebenaranNya, kita berbuat dosa hanya karena kita ingin selamat, aman, nyaman dan mewah. Selamat tidak mencintai nyawa, sehingga tidak kehilangan nyawa. Selamat meneladani Tuhan Yesus Kristus yang rela mengorbankan nyawanya demi keselamatan umat manusia.