Taktik Garam, bukan Strategi Gincu!

1
52

Hari Kemerdekaan bangsa kita mengingatkan saya pada gagasan Yohanes Leimena. Ia berkata bahwa kita adalah warga negara Kerajaan Allah sekaligus warga negara Republik Indonesia. Kita memiliki dwi-kewarganegaraan. Kita bukan saja warga gereja, tetapi juga warga bangsa, dan bahkan warga dunia. Leimena selalu menekankan agar dua sisi kewargaan ini harus bisa kita hayati. Di dalam kedua kewargaan yang saling mengisi dan sekaligus saling mengeritisi ini, kita bergumul. Terlalu menekankan kewarganegaraan Kerajaan Allah membuat kita terjebak dalam  triumphalisme dan eksklusifisme. Merasa diri paling hebat dan paling benar, lalu merendahkan yang lain dan bahkan menganggap yang berbeda sesat. Sebaliknya, terlalu menekankan diri sebagai warga negara Republik Indonesia membuat kita hanyut tanpa tuntunan nilai spiritual.

Umat Kristen adalah bagian integral dari bangsa Indonesia. Kita bertanggungjawab terhadap bangsa kemajuan bangsa. Singkatnya, gereja harus menjadi garam dan terang dunia. Mohammad Hatta pernah bilang, lebih baik agama mengembangkan taktik garam daripada strategi gincu. Garam terasa tapi tidak kelihatan. Gincu kelihatan tetapi tidak terasa. Yang substantif, bukan sekedar yang simbolis dan ritual. Sikap sebagai garam ini sangat dibutuhkan mengingat bangsa kita menghadapi tantangan multi aspek dan multi dimensi. Tantangan sosial masyarakat inilah yang akan saya uraikan di bawah ini.

 

Tantangan dan Persoalan Indonesia

Ada banyak masalah atau tantangan yang kita hadapi di Indonesia. Kita bisa mengembangkannya ke segala arah. Kali ini, saya hanya menguraikan lima  persoalan yang bagi saya sangat penting.

Pertama, masalah pusat dan daerah. Munculnya aspirasi untuk memerdekakan diri dari Negara Republik Indonesia. Aspirasi ini bisa muncul karena adanya penggumpalan identitas etnik atau agama, tetapi juga bisa muncul karena adanya ketidakadilan sosial-ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat di daerah, terutama di Papua. Penggumpalan identitas atas nama agama dan etnik bisa memunculkan konflik horisontal dan diskriminasi sosial yang terutama ditandai dengan makin maraknya perda-perda diskriminatif yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Perda dan peraturan Menteri yang diskriminatif  ini menimbulkan perilaku  intoleran sebagian umat terhadap gereja, kelompok Ahmadiyah dan Syiah. Ketidakadilan sosial dan ekonomi yang dirasakan penduduk di daerah menciptakan jurang sosial ekonomi yang memicu tuntutan untuk memerdekakan diri. Persoalan ini seharusnya disikapi dengan pendekatan keadilan, bukan dengan pendekatan keamanan. Dialog harus diutamakan daripada bedil.

RELATED ARTICLE  Refleksi Harian 14 Maret 2015

Kedua, kita harus membuat demokrasi kita berjalan bukan saja secara prosedural, tetapi terutama secara subtansial dimana kesetaraan setiap warga negara dihormati. Kini, sistem dan budaya politik kita belum berjalan dengan baik. Warga gereja sebagai warga bangsa harus didorong untuk berpartisipasi secara aktif guna memperbaiki proses demokratisasi yang sedang kita bangun. Kita harus ingat bahwa demokrasi bukan sesuatu yang ‘given’. Demokrasi selalu berada dalam proses. Bisa gagal, bisa juga sukses! Kita harus menjaga proses ini dengan segala potensi yang kita miliki. Gereja bisa memainkan peranan yang signifikan terutama dengan mempersiapkan kader-kader yang demokratis dan dengan ikut aktif melibatkan diri dan memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan demokrasi kita.

Ketiga, tantangan kemiskinan: 119 juta orang miskin mesti sangat memiriskan hati kita. Kita ingat ucapan Yesus ketika Ia berkata: “Ketika aku lapar…ketika aku haus…ketika aku tidak berpakaian…”. Kamu… Ngapain? Gereja harus mulai menyatakan cintanya dengan aksi nyata, terutama kepada mereka yang miskin.

Keempat, ancaman korupsi yang menggerogoti kehidupan bangsa. Kwik Kian Gie mengatakan bahwa setiap tahun yang dikorupsi di Indonesia berjumlah 444 trilyun rupiah. Korupsi adalah penyakit spiritual yang membuat bangsa ini bagaikan membangun rumah di atas pasir. Rapuh dan mudah hancur!

Kelima, penghancuran lingkungan hidup melalui pembabatan hutan dan polusi (udara, darat dan air) yang sudah melewati ambang batas. Sesungguhnya ketamakan kitalah yang membuat kita menghancurkan bumi ini. Ketamakan kita jugalah yang akan mempercepat kiamat bagi diri kita sendiri. Gereja tidak boleh diam. Gereja harus mulai berbicara dan beraksi memberikan kontribusi yang positif terhadap kelima pesoalan bangsa yang menggerogoti kemanusiaan kita.

RELATED ARTICLE  Refleksi Harian - 16 Feb 2015

 

Misi Gereja

Misi gereja harus berubah di tengah situasi yang terus berubah. Kita pernah memasuki the sending century yaitu saat dimana gereja mengirim para misionarisnya ke berbagai belahan dunia untuk mengabarkan Injil keselamatan. Pada saat itu pendekatan gereja adalah subyek-obyek. Kita memberi, orang lain menerima. Kita berkata-kata orang lain mendengar. Kita juga penah memasuki the sharing century yaitu saat dimana gereja-gereja Barat mulai membagi peran dengan gereja-gereja baru di Asia, Afrika dan Amerika Latin untuk mengabarkan Injil Kristus ke seluruh penjuru bumi. Pada saat itu pendekatan kita terhadap ‘yang lain’ sudah lebih ‘soft,’ meski tentu saja kita masih mengidap spirit triumphalisme.

 

The Partnership Century

Sekarang, kita memasuki the partnership century, yaitu saat dimana kita harus menjalin partnership dengan siapa pun, apa pun latar belakang gereja, agama dan etniknya. Kita berada dalam situasi dimana kita menghadapi persoalan dan tantangan yang sama. Oleh karena itu, sudah saatnya umat berbagai agama dan etnik untuk membangun dialog kata dan dialog kerja melalui kerjasama positif dalam segala aspek kehidupan guna membangun kebaikan bagi semua. Nah, partisipasi kita sebagai orang Kristen adalah bukan untuk kepentingan kita, tetapi harus menjadi berkat bagi semua. Kita menjunjung tinggi dan mengusahakan keadilan, kebaikan, bagi semua, menjunjung tinggi martabat manusia, solidaritas, toleransi, menolong yang miskin, dan sebagainya. Tetapi itu semua akan kita kerjakan bukan dalam kesendirian, tetapi dalam kerjasama, dalam partnership. Itulah sebabnya, the partnership century menantang kita untuk keluar dari tembok-tembok gereja kita dan mulai membangun kerjasama dengan siapa pun. Saya yakin, kohesi sosial yang erat inilah yang bisa mempertahankan kesatuan sekaligus solidaritas bangsa kita, bangsa Indonesia.

RELATED ARTICLE  Refleksi Harian 23 April 2015