Tidak Ada Gagang Pada Salib

0
188

Kejadian 17:1-7, 15-16; Mazmur 22:23-31, Roma 4:13-25, Markus 8:31-38

“Tidak ada gagang pada salib”. Ini adalah judul buku yang ditulis oleh Kosuke Koyama, seorang Teolog Kristen dari Jepang. Kata-kata itu bukan sindirian, tetapi merupakan penegasan penting bahwa salib itu memang harus dipikul. Salib bukanlah ember, tas koper, atau mug yang memiliki gagang yang akan membantu kita untuk dengan mudah menggenggam dan mengangkatnya. Salib menandakan penderitaan yang harus ditempuh oleh para pengikut Kristus, sebagaimana Kristus sudah mengalami-Nya. Bukan berarti orang Kristen itu cari-cari susah atau pasrah dan mudah menyerah, tetapi orang Kristen itu menyadari bahwa kebaikan dalam hidup itu akan terwujud kalau orang mau memberikan kasih. Di dalam kasih yang tulus dan suci, musti ada penderitaan dan pengorbanan. Orang Kristen yang mau memikul “salib” adalah orang Kristen yang taat dan setia kepada Allah walaupun karena kesetiaan dan kebaikannya itu ia harus mengalami penderitaan.

Mengapa orang Kristen memilih hal yang demikian? Karena Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamatnya telah meneladankannya. Bahkan dengan tegas ajakan Yesus berbunyi demikian: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Mrk 8:34). “Menyangkal diri” berarti bersedia “mati” bagi cara hidup yang lama, yang diikat kuasa dosa, dan mau bangkit dalam hidup yang baru dalam tuntunan Roh Kudus. “Memikul salib” berarti bersedia menerima akibat dari kesetiaan kepada Allah di tengah dunia yang dipenuhi egosentrisme. Ada kesediaan yang tulus untuk mengalami sengsara demi kebaikan yang lain di sini. Sedangkan “mengikut Yesus”, berarti mengenal ajaran-Nya dan memberlakukan ajaran-Nya dengan setia sampai akhir hidup.

Allah akan mendukung orang-orang yang mau ikut serta menjalankan misi-Nya membarui dunia ini. Yesus Kristus sebagai keturunan Abraham menjadi bukti bahwa janji Allah digenapi. Melalui kehadiran-Nya, banyak bangsa mendapatkan berkat keselamatan dari Allah. Yesus menjalankan peran sebagai Mesias, Raja Penyelamat dengan cara memberikan hidupnya. Inipun sudah dinubuatkan jauh-jauh hari oleh para nabi. Namun harus diingat, berbeda dengan raja politis yang acapkali mengeruk keuntungan dari cari kuasa, Yesus memberikan kebaikan dan mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa sebagai hamba, demi kebaikan manusia dan pembaruan dunia. Itulah sebabnya saat Petrus salah seorang murid Yesus yang terbilang vokal dan responsif “menganulir” keputusan Yesus untuk menjalani jalan derita, Yesus memarahi Petrus. Kemarahan Yesus ini beralasan. Sebab Petrus memikirkan apa yang dipikirkan manusia pada umumnya. Jika Yesus menuruti “godaan” Petrus, dunia tidak akan mengalami pembaruan. Dunia tetap akan diikat oleh kuasa dosa yang egosentris itu. Tetapi dengan memberikan kasih, maka dunia terbarui. Orang yang mau mengikuti jalan Yesus, akan memperoleh kembali jati dirinya sebagai ciptaan Allah, di mana gambar dan rupa Allah semakin jelas terlihat dalam dirinya. Sungguh sebuah “penemuan diri kembali” yang akan membawa sukacita dan damai.

RELATED ARTICLE  Refleksi Harian 7 April 2015

Kadang orang dapat lupa makna salib. Acapkali salib hanya menjadi perhiasan dan ornamen dalam kehidupan agama belaka. Belum lagi jika orang salah duga tentang karya Kristus dan mengabaikan jalan derita Yesus dengan hanya menyimak dan menerima apa-apa yang menyenangkan dari Yesus tetapi lupa untuk mengikuti jalan derita Yesus. Akhirnya, kehidupan beragama dan kehidupan spiritual hanya tertuju kepada diri sendiri dan kehilangan kasih dalam berbagi serta berjuang untuk menyatakan apa yang benar dan adil dalam kehidupan ini.

Memasuki minggu pra paska kedua, kita semua diajak untuk menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus setiap hari. Ada pepatah asing yang mengatakan “No pain, No gain” artinya: jika tidak ada upaya yang sungguh-sungguh sampai titik puncak derita, maka tidak akan ada hasil yang diraih. Sebagai orang yang sudah diselamatkan karena iman kepada kasih karunia Allah melalui Kristus, biarlah kita tetap menunjukkan kesetiaan kita kepada Kristus dan Firman-Nya, walau harus menghadapi derita sengsara sekalipun. Sebab dengan menghilangkan cara hidup yang lama, kita akan memperoleh hidup yang baru dalam Kristus. Hidup yang akan memberikan kedamaian bersama-sama dengan kebangkitan-Nya, pada saat-Nya.