Wawancara Khusus BPMS GKI Seputar Tema Kekerasan Terhadap Anak

0
169

Tema kekerasan terhadap anak sepertinya merupakan permasalahan yang selalu hadir dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Sumber dari Komisi Perlindungan Anak menyampaikan bahwa laporan kekerasan terhadap anak meningkat 100 persen dari tahun 2013 ke tahun 2014. Beberapa waktu yang lalu kita menyaksikan melalui berita-berita bagaimana kekerasan terhadap anak malah menjadi kekejaman yang menimbulkan korban jiwa anak-anak. Berikut wawancara BPMS GKI dengan Ibu Ester Christiana Yuwanda, seorang pemerhati dan pendidik seputar tema kekerasan terhadap anak.
BPMS: Menurut pendapat profesional ibu, apa yang dimaksud atau hal-hal apa saja yang bisa dikategorikan kekerasan pada anak? Secara umum kekerasan itu dapat terjadi pada fisik, seksual, dan emosi.
Esther: Dalam pendidikan,kekerasan pada anak mengacu pada empat kategori utama tindakan kekerasan, yaitu: kekerasan fisik, pelecehan emosi, pelecehan seksual, dan pengabaian kebutuhan anak. Intinya, setiap tindakan atau serangkaian tindakan orang-orang di lingkungan anak yang membahayakan atau potensi membahayakan tumbuh kembang anak masuk dalam kategori kekerasan.

BPMS: Melihat kasus yang baru-baru ini terjadi, anak sepertinya menjadi sasaran empuk bagi pelaku kekerasan, sebenarnya apa yang bisa dilakukan agar anak terhindar dari kekerasan? Siapa saja yang berpotensi bisa melakukan kekerasan kepada anak?

Esther: Perbedaan merupakan lingkungan rawan kekerasan. Perbedaan ras, perbedaan kelamin, perbedaan kedudukan, perbedaan posisi dan dalam kekerasan pada anak adalah perbedaan usia, menjadi wilayah rawan tumbuhnya kekerasan. Dalam perbedaan itu individu yang lemah atau minoritas potensial menjadi sasaran kekerasan. Sebaliknya, setiap orang yang memiliki kekuasaan atau mayoritas potensial untuk melakukan kekerasan.

Namun, bukan perbedaannya yang membuat orang melakukan kekerasan atau menjadi korban kekerasan, melainkan kesadaran yang minim akan hak dan kewajibannya sebagai individu lah yang membuat akhirnya seseorang berada pada posisi pelaku atau korban. Jadi,untuk menghindari kekerasan, kesadaran terhadap hak dan kewajibannya juga kesadaran pada tiap kategori kekerasan itu sendiri, menjadi syarat mutlak. Kesadaran ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal, pendekatan individual, komunitas masyarakat, penyebaran informasi, dan lain-lain.

RELATED ARTICLE  Musuh Itu Bernama Kebencian dan Intoleransi

Pendidikan adalah hal yang mutlak ada dalam usaha menghindari terjadinya kekerasan. Melalui pendidikanlah kesadaran tiap orang dikembangkan dan diperbaharui. Ironisnya, pendidikan formal yang seharusnya menjadi harapan bagi pengembangan kesadaran masyarakat terkadang kurang memberikan perhatian pada hal ini. Perlu diakui bahwa ini bukan pekerjaan mudah. Pendidikan yang dimaksud bukanlah sebatas menghafal tentang kategori kekerasan atau menghafal hak dan kewajiban. Tidak semudah itu.
Kekerasan tidak dapat diberantas hanya dengan pengetahuan. Memang semuanya diawali dari pengetahuan lalu berlanjut pada pengembangan kesadaran dan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Pada pengembangan kesadaran ini terintegrasi di didalamnya empat pilar yang dicanangkan PBB melalui UNESCO, ke empat pilar tersebut adalah:
1. Learning to know
2. Learning to do
3. learning to live together
4. Learning to be
Empat pilar ini harus ada dalam pendidikan dalam usaha pemberantasan kekerasan.

BPMS: Akhirnya, banyak pihak menyalahkan pemerintah atau pihak-pihak yang bisa disalahkan, namun secara umum pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap merebaknya tindak kekerasan terhadap anak?

Esther: Berhubung pencegahan kekerasan dapat dilakukan melalui pendidikan, maka pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap merebaknya tindakan kekerasan terhadap anak adalah semua pihak yang kerkaitan dengan pendidikan, termasuk didalamnya Saya dan Anda. Mengapa? Pendidik itu bukan hanya guru saja tapi mulai dari pengambil keputusan, pelaksana, dan pengawal. Paling tidak, kita berada pada posisi pelaksana dan pengawal. Kita semua memiliki andil ketika kekerasan pada anak itu terjadi. Mungkin bukan peran secara langsung. Jika seorang anak mengalami kekerasan oleh orang tuanya, bukankah di sekeliling anak itu ada guru, tetangga, teman, adik/kakak, pedagang keliling, dan mungkin kita termasuk di dalamnya. Ketika kekerasan itu terjadi, dan kita ada di dalam lingkaran hidupnya, kita tak berbuat apa-apa dengan kata lain melakukan pembiaran/pengabaian, maka kita termasuk orang yang melakukan kekerasan juga terhadapnya.

RELATED ARTICLE  Potret Anak Indonesia

(Esther Christiana Yuwanda lahir di Bandung. Ia meraih gelar Sarjana Teknik (S1) di Institut Teknologi Nasional – Bandung, jurusan Teknik Kimia, dan meraih gelar Master Pendidikan (S2) di Universitas Pelita Harapan – Jakarta, jurusan Teknologi Pendidikan. Aktif memberi ceramah tentang pendidikan dan pelatihan Character Building. Bersama suaminya, Pdt. Arliyanus Larosa menyelenggarakan dan membimbing Retreat Pasutri. Ia juga aktif menulis dan menjadi editor di Renungan anak Kiddy yang diterbitkan Yayasan Komunikasi Bersama, dan menulis dua buku cerita anak yang diterbitkan Kalam Hidup. Ibu Ester juga menjadi anggota Tim Kurikulum Suluh Sekolah Minggu terbitan Badan Bina Warga GKI, sekaligus menjadi salah seorang penulis dan editor. Dosen di Universitas Bina Nusantara (Binus) – Jakarta, mengampu mata kuliah Character Building.)