Compresence Vs Narsistik!

0
252
Pdt. Albertus Patty. Foto: selisip.com

SINODEGKI.ORG – Covid-19 seolah mendekatkan kita dengan kematian. Virus ini memang dahsyat. Jutaan orang terpapar. Ratusan ribu mati sia-sia. Jelas menakutkan! Tidak heran, orang rela mengisolasi diri, menahan diri bepergian, bahkan menahan rindu berpacaran. Alasannya hanya satu: takut mati! Meski ada juga yang nekad menolak isolasi diri. Mereka punya alasan. Masuk akal pula! “ Kami harus menghasilkan uang untuk membeli makanan,” ujar mereka. Bila tidak nekad, matilah! Lagi-lagi alasannya kematian. Celakanya, kematian sedang menghantui kita. Ini ancaman riel masa kini! In the now! Tidak ada cara lain, kita harus menghadapinya. Bersama! Bukan sendiri-sendiri! Kita butuh, apa yang Richard Niebuhr namakan compresence, kehadiran bersama! Dari com= bersama, presence= hadir! Compresence mendorong solidaritas antar sesama. Sifatnya pun egaliter.

Sejarah masa lalu mengingatkan kondisi alami kita sebagai makhluk compresence. Kita bagian dari yang lain. Dimulai dari keluarga. Mereka mengajarkan nilai-nilai moral dan spiritual. Masa lalu memberi kita identitas sebagai bangsa. Kita rajut persatuan. Bersinergi melawan penjajah. Membangun solidaritas yang menghasilkan deklarasi kemerdekaan bangsa. Kita makhluk compresence! Semua saling terkait! Kebutuhan kita, secara personal dan sosial, lahir maupun batin, tergantung pada karya dan jerih payah orang lain. “Kita ada demi orang lain,” kata Albert Einstein. Dia sadar kesuksesannya karena dukungan orang lain. “ Kita berhutang pada banyak orang,” katanya. TB Sumatupang mengamininya! Sebelum wafat ia berkata:” aku orang yang berhutang.” Ada kesadaran bahwa dia tidak akan mampu membayar lunas dan tuntas kebaikan orang lain. Masa lalu mengajarkan bahwa tanpa compresence, tanpa kehadiran bersama, hidup adalah kekosongan. Nothingness! Kesia-siaan! Memisahkan diri dari orang lain adalah hidup tanpa makna! Kita tidak jadi apa-apa! Malah jadi makhluk buas!

RELATED ARTICLE  Staff WCC ikuti Lomba Lari sebagai Ziarah

Hidup bukan hanya masa lalu. Hidup pun menyangkut kekinian. In the now! Kecemasan dan kegembiraan masa lalu memengaruhi cara kita merespon masa kini. Semua tersimpan dalam ingatan kita. Dia menjadi referensi hidup. Relasi baik atau buruk dengan orang lain di masa lampau menentukan cara kita berinteraksi dengan sesama. Kepercayaan dan ketidakpercayaan, cinta maupun benci di masa lalu mewarnai pilihan kita saat merespon masa kini. Saat krisis berat, apalagi ancaman kematian, kita hanya punya dua pilihan: hidup atau mati, hancur atau survive! Ini bukan situasi ideal. Pada satu sisi, ada insting dan emosi mempertahankan diri sendiri. Demi tetap exist! Pada sisi lain, nilai moral dan nilai spiritual yang telah kita terima dulu mendorong kita merajut solidaritas dengan sesama. Bila yang pertama berjuang bagi keselamatan diri sendiri, yang kedua berjuang bagi keselamatan semua. Kedua hasrat ini ada dalam diri kita. Keduanya menempatkan kita dalam situasi in-tension, ketegangan!

Bagi mereka yang mengandalkan insting dan aspek emosional, yang ideal adalah menjaga keberlangsungan hidupnya. Ini ego sentrisme yang narsistik! Segala hukum, peraturan, nilai-nilai moralitas serta spiritualitas tidak penting. Nilai terpenting adalah keselamatan pribadi! Sikap ini mengubah total relasi dengan sesama. Sinergi dan solidaritas yang diagungkan pada masa lalu luntur. Demi self-survival. Keselamatan diri! Orang menjadi apatis, opportunis, dan immoral. Mau contoh? Banyak orang yang secara sosial ekonomi OK, tetapi sikapnya bejat karena mengambil dana bansos haknya kaum miskin. Yang lain? Para politisi dan pejabat mental krupuk memanipulasi data bansos demi keuntungan pribadi. Kebobrokan lain para narsistik ada pada makhluk kikir dan apatis. Mereka ogah berbagi saat yang lain menekan perut yang kelaparan. Mereka kehilangan kemanusiaanya. Mereka binatang yang bergerak berdasarkan insting. Selalu mencari mangsa. Mereka musuh masyarakat!

RELATED ARTICLE  Emeritasi Pdt. Stephen Suleeman

Kita bukan binatang. Kita manusia! Punya rasionalitas untuk mempertimbangkan segala sesuatu. Kita miliki kesadaran yang dibalut nilai moral dan spiritual. Ini memanusiakan kita. Kita bukan ‘reptilian brain’ yang bergerak dalam nafsu memangsa sesama. Kita tidak digerakkan insting, tetapi spirit. Kita manusia spiritual! Ini yang membedakan kita. Meski keselamatan diri penting, kita menjunjung keselamatan bersama. Kita altruistik. Kepentingan bersama adalah prioritas. Kita bukan makhluk narsistik yang mempertuhankan ego. Kita ada bukan demi diri sendiri. Kita demi semua! Inilah kerja kesadaran rasional! Ia mengontrol hasrat sekaligus menstimulate kebaikan. Kita tahu apa yang kita lakukan dan mengapa kita lakukan. Kita sadar apa yang kita perbuat. I know what I am doing! Kita kenal siapa kita. Paham tentang makna hidup. Kesadaran memampukan kita mempertimbangkan segala aspek, lalu mengambil keputusan dalam spirit solidaritas. Kita manusia compresence! Dunia membutuhkan kita. Manusia compresence bukan manusia ideal, tetapi manusia yang manusiawi. Kitalah itu!?!? (Pdt. Albertus Patty)