The Responsible Self!

0
284
Pdt. Albertus Patty

SINODEGKI.ORG – Dalam tulisan tentang “Friksi Teologis & Pemetaannya,” saya telah memetakan adanya tiga paradigma berteologi dalam merespon pandemi Covid-19 yaitu: Kharismatik, Sekuler, dan kelompok moderat. Perbedaan paradigma ini telah menciptakan semacam friksi di kalangan beberapa pimpinan gereja. Saya tidak akan mengulang lagi isi tulisan tersebut karena ia sudah beredar cukup luas. Beberapa pimpinan Sinode gereja meminta ijin untuk memforward tulisan itu kepada para Pendeta sinode gereja mereka masing-masing. Ada juga pimpinan gereja yang meminta ijin menjadikan tulisan di atas sebagai bahan diskusi internal gereja mereka. Beberapa pendeta merespon tulisan itu dengan tulisan-tulisan yang bermutu baik di media sosial maupun di media online. Bahkan tulisan ini pun menjadi bahan diskusi online yang cukup hangat dan konstruktif.

Saya bisa merasakan adanya kebutuhan intelektual untuk menelisik ketiga paradigma berteologi itu sambil berupaya memahami identitas kelompoknya, dan menemukan cara baru yang lebih kreatif dalam merespon pandemi Covid-19. Menariknya, beberapa anggota jemaat mengakui bahwa tulisan itu telah membuka tabir tentang adanya perbedaan paradigma berteologis antara Pendetanya dengan anggotanya sendiri. Oleh karena itu, sesungguhnya terjadi ‘friksi’ bukan saja antar pimpinan denominasi gereja, tetapi juga di internal jemaat yaitu antara pimpinan gereja dengan anggotanya sendiri. Menurut hemat saya ini sesuatu yang baik karena gereja hanya bisa berubah dan bertumbuh bila mampu melakukan semacam self-critics. Nampaknya pandemi Covid-19 ini menjadi kesempatan yang sangat bagus bagi pimpinan gereja untuk memahami kondisi sosial yang ada, dan menilai kembali relevansi respon teologisnya dalam situasi krisis yang dihadapi bangsa dan umat manusia seperti saaat ini.

Ada aspek menarik! Dari hasil pemetaan respon teologis umat Islam terhadap pandemi Covid-19 ternyata menunjukkan adanya kesamaan paradigma dengan kelompok Kristen. Meski tentu saja dengan penamaan yang berbeda. Kesamaan respon teologis ini memberi peluang untuk dimulainya percakapan dan kerjasama yang lebih serius dan intens dalam merespon persoalan besar yang mengancam kehidupan kita bersama. Ada banyak hal yang bisa dikerjakan bersama. Misalnya, membantu masyarakat yang secara ekonomi menderita akibat terimbas pandemi, menolong mereka yang kehilangan kesempatan kerja, membantu banyak keluarga yang pasti mengalami frustrasi akibat terlalu lama karantina di rumah, dan sebagainya.

RELATED ARTICLE  Pdt. Danny Purnama Diteguhkan Sebagai Pendeta Jemaat GKI Gading Serpong

Meskipun demikian, tulisan ini hendak mengingatkan bahwa ada tiga hal penting yang perlu dilakukan oleh agama-agama. Pertama, agama-agama harus mempersiapkan diri terhadap perubahan besar dalam ritual dan peribadahan. Nampaknya, ibadah online akan tetap menjadi kebutuhan di masa depan.

Kedua, efek pandemi covid-19 ini merupakan pukulan ekonomi dahsyat bagi banyak orang. Puluhan juta orang kehilangan mata pencahariannya. Mereka frustrasi berat! Agama-agama harus meresponnya dengan segera memperkuat solidaritas dan persaudaraan. Sikap apatis harus berubah menjadi compassion. Narsistik berubah menjadi altruistik. Fokus pada diri sendiri harus berubah menjadi fokus pada sesama.

Ketiga, agama-agama harus mempersiapkan umat agar merespon secara bertanggungjawab berbagai perubahan yang datangnya mendadak dan sangat cepat. Misalnya, kehadiran revolusi industri 4.0 dan pandemi Covid-19 yang sangat mengejutkan. Banyak yang tidak siap! Umat harus merespon secara positif dan kreatif setiap momen perubahan. Mereka harus mampu mengidentifikasi apa yang sedang terjadi dan menentukan respon yang bertanggungjawab. Richard Niebuhr menyebut the responsible self terhadap orang dengan kemampuan merespon setiap momen perubahan cepat secara bertanggungjawab. Tantangan mampu diubah menjadi kesempatan. Situasi ‘kutukan’ menjadi berkat bagi bangsa dan dunia. (Pdt. Albertus Patty)