Menjadi Nomor Dua Dengan Bahagia

0
122
Pdt. Didik Tridjatmiko || GKI Bromo, Malang

SINODEGKI.ORG – Bagaimana perasaan anda ketika anda dinomorduakan, disepelekan tidak dianggap yang istimewa atau bagaimana perasaan anda ketika suatu kali anda mengalami sebuah kekalahan?

Saudara, David McClelland pernah melontarkan sebuah ide tentang masyarakat berprestasi. Intinya hidup itu harus menjadi nomor satu dan entah bagaimana virus menjadi nomor satu inilah yang kemudian dengan cepat menyebar merasuk ke seluruh dunia.

Fundamental idenya adalah kehidupan ini hanya layak dinikmati hanya layak dijalani jika menjadi nomor satu. Tentu ada banyak hal positif yang dihasilkan oleh dorongan berprestasi ini namun itu bukan berarti tanpa ongkos negative. Dalam rangka menjadi nomor satu, seringkali orang saling menghancurkan, budaya persaingan, saling mengungguli, saling menyalahkan, kerap menghasilkan bencana kemanusiaan dan bencana sosial.

Budaya saling makan, saling fitnah, baku bunuh terjadi bahkan di kalangan sanak sendiri. Makan apa saja, makan siapa saja, makan tulang kawan bahkan, itu pun dilakukan asal menjadi nomor satu, asal menjadi pemenang. Bagi penganut orang yang hidup menjadi nomor satu ini, kalah adalah aib, menjadi nomor dua adalah neraka.

Inilah kekeliruan zaman, mengapa demikian? Sebab sesungguhnya bukankah dari kecil kita ini sudah belajar bahwa kalah juga indah? Mari kita ingat pengalaman kita ketika kita permainan “hompimpa” atau batu kertas gunting, Apakah kita selalu menang? atau saat kita bermain suit jelek begitu. Bukankah menang dan kalah silih berganti dan bukankah kalah juga indah dalam permainan itu. Bukankah menjadi nomor 2 tidak mengurangi kebahagiaan bermain.

Mari kita lihat bila pecinta nomor 1 berfokus pada menjadi hebat dan menjadi juara, tidak demikian dengan pecinta nomor 2. Pecinta nomor 2 fokus pada menjadi baik dan menyentuh di dalam kehidupan ini. Ingatlah bahwa dunia ini tidak hanya membutuhkan orang-orang hebat dan juara tetapi kehidupan ini membutuhkan orang-orang baik yang bersedia menyentuh.

RELATED ARTICLE  Dendam dan Pengampunan

Sesungguhnya bukankah tidak ada nomor 1 bila tidak ada nomor 2. Tidak ada puncak gunung jika tidak ada batu-batu di bukit dan di dasarnya.Tentang hal ini mari kita belajar dari Firman Tuhan seperti dikatakan dalam kejadian 13: 10 -12. Kisah perpisahan Abraham dan Lot.

Konteks dari kitab kejadian ini adalah perkelahian dan pertengkaran gembala-gembala, gembala Lot dan gembala Abraham. Ketika jumlahnya makin banyak, lahan sempit kemudian mereka berebut lalu mereka bertengkar.

Konflik para gembala, Abraham dan lot ini dilihat oleh Abraham sudah pada taraf membahayakan. Persaingan berebut lahan rumput hijau sudah terinfeksi oleh virus makan tulang kawan. Itulah sebabnya Abraham menawarkan: mari kita berpisah. Sekalipun Abraham lebih tua dan Lot itu sesungguhnya hanya “ngenger” mengikut Abraham tetapi Abraham mengalah. Ia mempersilahkan Lot  menjadi yang nomor satu memilih mana daerah subur yang akan dia pilih dan Abraham rela menjadi nomor 2 dengan Bahagia. Mengalah menjadi baik dan menjadi menyentuh.

Lot, keponakannya yang lebih muda, yang “ngenger” itu lalu kemudian memilih daerah yang paling subur, Lembah Yordan. Abraham mempersilahkan dengan bahagia dan rela. Abraham memilih kearah yang lain. Abraham rela menjadi yang nomor 2, menjadi orang yang baik dan menyentuh daripada menjadi orang pertama dan hebat. Dengan itu Abraham menjadi bukit-bukit dan dasar dari gunung yang menopang puncak gunung itu.

Sejarah dunia dipenuhi orang-orang macam Abraham ini. Ada banyak jika Alkitab punya kisah tentang Abraham demikian juga cerita dari sejarah India. Prahara India dapat dihindarkan karena Mahatma Gandhi dengan rela dan bahagia memberikan kursi Perdana Menteri kepada Nehru. Sebuah keputusan yang menyelamatkan India dan sekaligus membuka ruang bagi India untuk tumbuh tanpa diganggu oleh virus “menjadi nomor satu”.

RELATED ARTICLE  Dikuatkan oleh Iman

Jika India punya Gandhi, Indonesia punya Muhammad Hatta. Muhammad Hatta adalah legenda Indonesia. Sejarah kemerdekaan mencatat kisah yang menceritakan beberapa kali Muhammad Hatta berbeda paham dengan orang nomor satu saat itu. Berbeda dengan Pak Karno, Bung Karno. Namun demi menyelamatkan Indonesia dengan memainkan peran menjadi nomor dua, Hatta mengambil peran itu dengan rela dan Bahagia. Anda lihat, ada banyak hal baik ketika orang sedia menjadi nomor 2, menjadi baik menyentuh dan memberkati.

Apakah jadi nomor dua itu berarti hidup tanpa daya juang dan fatalistik?

Sama sekali bukan. Di nomor berapa pun kita hidup, hidup itu selalu membutuhkan kerja keras. Hidup itu membutuhkan perjuangan dan keuletan, keseriusan memainkan peran yang melekat pada diri kita dan itulah yang dilakukan Abraham, itulah yang dilakukan Gandhi, itulah yang dilakukan oleh Bung Hatta.

Ada orang yang mengatakan bahwa manusia adalah homo ludens, insan yang bermain dan karena itu hidup adalah seni bermain. Indahnya sebuah permainan bukan terletak pada kalau anda selalu menang. Indahnya sebuah permainan justru terletak pada keseriusan setiap orang yang turut bermain untuk bermain dengan perannya dengan yang terbaik yang dia bisa. Bermain dengan bahagia dan rela memainkan peran yang melekat padanya.

Kalau anda main petak umpet waktunya sembunyi, sembunyi dengan serius, waktunya berjaga, berjaga dengan serius. Keseriusan itulah yang membuat permainan itu menjadi indah bukan? Sebaliknya permainan apapun akan menjadi petaka dan membawa luka kalua mereka yang bermain, bermain sekadarnya atau bermain dengan tidak mengambil peran yang harus ia mainkan dengan baik.

Selamat bermain di nomor berapa pun anda sedang berada. Mainkan peran anda dengan yang terbaik. Selamat menjalani hidup dengan Bahagia, kadang kita harus mengalah, menjadi orang yang baik dan menyentuh agar kehidupan terberkati. Selamat berkarya dengan bahagia dengan peran yang melekat pada anda. Ayo kita mainkan saja dengan serius. (Pdt. Didik Tridjatmiko // GKI Bromo, Malang)

RELATED ARTICLE  Karena Kasih Karunia, Bukan Taurat

https://www.youtube.com/watch?v=-TcoKlbJTi0&t=85s