Beranda blog Halaman 90

Asal Kata dan Tujuan Puasa

0

Kata puasa sudah sangat lazim kita kenal sebagai kegiatan atau ibadah tidak makan dan tidak minum. Namun apakah kita tahun arti kata puasa itu sendiri?

Puasa berasal dari dua kata dalam bahasa Sansekerta, yaitu: upa dan wasaUpa, semacam perfiks yang berarti dekat. Wasa berarti Yang Maha Kuasa, seperti umat Hindu di Indonesia menyebut Sang Hyang Widhi Wasa. Jadi upawasa, atau yang kemudian pengucapannya menjadi puasa, tidak lain daripada cara mendekatkan diri dengan Tuhan. Sebagai cara untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, puasa adalah pelatihan mental dan spiritual yang bertujuan mengubah sikap dan kejiwaan manusia. Sikap yang diubah adalah sikap yang buruk, sehingga menjadi baik. Jadi puasa berkaitan dengan sebuah pelatihan sikap spiritual melalui pelatihan badani. Orang yang berpuasa adalah orang yang terus melatih diri menjadi baru di dalam sikap.

Oleh karena itu, hanya berpuasa bukan hanya menahan makan dan minum, tetapi juga mengontrol emosi, kata-kata, tindakan, pikiran, dan perilaku. Orang yang berpuasa adalah orang yang sadar diri dan selalu berada di dalam pengendalian diri. Sikapnya terlatih untuk terkendali dari bersikap sembrono, atau mengambil keputusan secara asal-asalan, atau bertindak ngawur. Orang yang dapat mengendalikan diri dari hawa nafsu makan dan minum adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya.

Bahasa Yunani untuk puasa adalah nestuo, berasal dari dua kata ne dan esteia, artinya tidak makan. Sekalipun tampaknya hanya soal tidak makan, namun Yesus menekankan yang lebih daripada itu. “Apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang menafik” (Mat 6:16). Artinya, puasa hati atau puasa batin, yakni pembaruan seluruh diri itulah yang ditekankan oleh Yesus. “Bapamu melihat yang tersembunyi” (Mat 6:18).

Dengan demikian, puasa – terutama dalam agama Hindu – dipahami sebagai sarana, cara, atau metode untuk mencapai sesuatu. Dalam mencapai sesuatu itu adalah dengan mengendalikan sikap sehingga menjadi baru. Orang yang terkendali sikapnya adalah laksana orang yang berada di dekat Tuhan. Siapa pun tidak akan urakan atau liar jika berada di dekat Sang Maha Agung. Oleh karena itu, sifat puasa adalah sakral, karena dihubungkan dengan niat mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang yang berpuasa adalah orang yang secara tulus menyelaraskan diri dengan sifat Tuhan.

Berdasarkan pengertiannya, puasa tidak bertujuan pada dirinya atau untuk berdiet, melainkan bertujuan untuk membarui sikap iman melalui pelatihan spiritualitas. Orang Kristen yang berpuasa adalah orang yang bersikap takut hanya kepada Tuhan di dalam berperilaku dan bersikap dalam dunia sesehari. Takut dan hormat adalah sikap orang yang berada di dekat Tuhan.

WCC: Mary Tanner menghargai kerjasama antara WCC dengan CEC

0

Pada penutupan Sidang Raya ke-14 Konferensi Gereja-gereja di Eropa (Conference of European Churches/CEC) di Budapes, Hungaria, Dame Mary Tanner memuji ditetapkannya konstitusi baru bagi organisasi yang beranggotakan 120 gereja Anglikan, Katolik lama, Ortodoks dan Protestan ini. Ia menyampaikan harapan bahwa pola kepemimpinan ini dapat menyediakan “struktur-struktur anugerah” bagi gereja-gereja dan juga seluruh dunia.

Tanner, seorang teolog awam dari Gereja Inggris Raya (Church of England), telah melayani sejak tahun 2006 sebagai presiden wilayah Eropa dari Dewan Gereja Sedunia (World Council of Churches/WCC). Sekretaris Umum WCC, Pdt. Dr. Olav Fykse Tveit, menyampaikan sambutannya kepada Sidang Raya CEC pada pembukaan sidang tanggal 3 Juli dan Dr. Tanner menyampaikan komentarnya pada pagi hari penutupan sidang, 8 Juli.

Agenda utama Sidang Raya Budapes adalah amandemen dan pengesahan dasar hukum CEC yang baru didesain ulang.

Tanner mencatat bahwa “struktur merupakan hal yang penting. Apabila kita salah menetapkan struktur, pekerjaan kita terhambat, bahkan menyebabkan perpecahan secara internal. Apabila struktur yang ditetapkan benar, maka dengan penuh kasih dan kepercayaan, mereka menjadi struktur anugerah. Melaluinya, bahkan pada isu-isu paling memecah sekalipun, kita dapat mencapai titik di mana kita bisa berkata — ini merupakan ‘keputusan Roh Kudus dan keputusan kami’ (Kis 15:28).”

Konsekuensi terutama dari sistem baru ini adalah bahwa kesekretariatan CEC akan pindah “sesegera mungkin” dari Jenewa, Swiss ke Brussels, Belgia, bergabung dengan kantor-kantor CEC lainnya. Kesekretariatan ini berada di Jenewa sejak pertama kali CEC didirikan pada tahun 1959.

Tanner mengatakan, “Harapan saya di tahun-tahun ke depan adalah terciptanya sebuah hubungan yang lebih erat antara CEC dengan WCC, bahkan sekalipun CEC tidak lagi berkantor di Jenewa. Kita perlu mendengarkan satu sama lain dengan lebih bersungguh-sungguh dan mendapat masukan-masukan dari pekerjaan yang dilakukan satu sama lain.”

Dengan mengakui bahwa pembaruan konstitusi ini merupakan “sebuah proses yang panjang dan penuh hambatan,” Tanner mengatakan kepada para peserta sidang, “yang berkesan bagi saya selagi Anda semua bergumul untuk memperbarui konstitusi ini adalah betapa seringnya Anda mengingatkan seorang kepada yang lain akan perlunya sikap-sikap yang benar. Anda juga seringkali mengatakan bahwa Anda perlu mendengarkan satu sama lain dengan lebih sungguh-sungguh, untuk membangun kepercayaan, untuk bertindak dengan kemurahan hati dan penuh kasih.”

Teks lengkap pidato Mary Tanner (dalam bahasa Inggris) dapat dibaca di http://www.oikoumene.org/en/resources/documents/wcc-presidents/greetings-from-dr-mary-tanner-at-the-cec-s-14th-assembly

WCC: Mesir memerlukan transformasi damai dan inklusif dalam proses politiknya

0

Sekretaris Umum Dewan Gereja Sedunia (World Council of Churches/WCC), Pdt. Dr Olav Fykse Tveit mendorong transformasi yang penuh damai dan inklusif dalam sistem-sistem politik di Mesir, sekaligus menyampaikan “keprihatinan yang mendalam” atas meningkatnya kekerasan di negara tersebut.

Pandangan-pandangan ini dibagikan dalam surat kepada gereja-gereja anggota WCC di Mesir tertanggal 9 Juli.

Dengan adanya demonstrasi-demonstrasi massal sebelum dan sesudah digulingkannya mantan presiden Mesir Muhammad Mursi, beberapa orang meninggal dunia dan banyak yang mengalami luka-luka dalam minggu-minggu terakhir ini, demikian menurut berita di berbagai media.

Bersama dengan para gereja anggota WCC di Mesir, Tveit mengatakan, “kami berdoa untuk sebuah proses transisi yang damai dan inklusif, di mana semua pihak bekerja bersama-sama untuk menghasilkan sebuah pemerintahan yang akan memimpin negeri ini menuju stabilitas, keadilan, dan kedamaian.”

Ia menambahkan bahwa WCC mendukung penuh usaha-usaha gereja-gereja di Mesir yang bekerjasama dengan saudara-saudara yang beragama Islam, partai-partai politik dan juga lembaga-lembaga sosial masyarakat untuk memfasilitasi terciptanya kedamaian melalui proses rekonsiliasi dan penyembuhan pada tingkat nasional.

“Kami juga yakin bahwa pemimpin-pemimpin politik maupun agama di Mesir menyadari bahwa dalam masa-masa kritis sejarah perubahan dan transformasi dalam sistem-sistem politik, proses-proses inklusif adalah vital bagi kesatuan bangsa,” demikian digarisbawahi oleh Tveit.

Ia juga menyampaikan keyakinannya terhadap rakyat Mesir yang menuntut martabat, kebebasan dan persamaan hak selagi mereka mencari cara-cara damai untuk mencapai tujuan-tujuan bersama ini dengan tetap menghargai perbedaan-perbedaan politis dan religius.

Berikut teks lengkap surat yang dikirimkan oleh Tveit kepada gereja-gereja anggota WCC di Mesir:

Selaku Sekretaris Umum Dewan Gereja Sedunia (World Council of Churches/WCC), saya menyampaikan keprihatian saya yang mendalam terhadap berita-berita yang datang dari Mesir menyampaikan meningkatnya kekerasan hingga tahap berbahaya di berbagai bagian negara, menyebabkan lebih dari lima puluh orang meninggal dan ratusan lainnya terluka. WCC sejak dulu menentang keras penggunaan kekerasan sebagai cara penyelesaian konflik.

Kami bermaksud memastikan dukungan kami kepada masyarakat Mesir terhadap tindakan-tindakan mereka yang secara berkelanjutan mempertahankan kesatuan mereka dalam keberagaman politiknya. Bersama dengan gereja-gereja anggota kami di Mesir, dan juga dalam keluarga besar ekumene, kami berdoa untuk sebuah proses transisi yang damai dan inklusif, di mana semua pihak dapat bekerjasama untuk menciptakan sebuah pemerintahan yang akan memimpin negara ini kepada stabilitas, keadilan dan perdamaian.

Kami mendukung penuh usaha gereja-gereja di Mesir, bekerjasama dengan saudara-saudara yang beragama Islam dan juga organisasi-organisasi serta aktor-aktor politik maupun lembaga sosial masyarakat yang lainnya, untuk memfasilitasi dibangunnya perdamaian melalui suatu proses rekonsiliasi dan penyembuhan pada level nasional. Kami mendorong semua partai-partai politik untuk terlibat dalam proses ini sehingga kesatuan nasional dapat dipertahankan.

Kami yakin bahwa masyarakat Mesir yang sebelumnya juga telah bangkit untuk mempertahankan martabat, kebebasan dan persamaan derajat akan menemukan cara-cara damai untuk mencapai tujuan-tujuan bersama ini, dengan menghargai perbedaan-perbedaan politis maupun religius. Kami juga yakin bahwa para pemimpin agama maupun politik di Mesir menyadari bahwa dalam setiap momen-momen perubahan dan transformasi yang kritis dalam sistem-sistem politik, proses yang inklusif menjadi vital bagi kesatuan bangsa, sementara proses yang eksklusif hanya menyebabkan kekecewaan dan rasa frustasi.

Di dalam Tuhan kita yang sama,

Pdt. Dr. Olav Fykse Tveit
Sekretaris Umum WCC

Apa dan Bagaimana Puasa dalam Tradisi Kristen

2

Orang Kristen berpuasa? Bukankah puasa hanya ada dalam agama Islam, Hindu, dan Kejawen? Tapi, bukanlah orang Katolik juga berpuasa? Bukankah penulis-penulis Alkitab dan Yesus juga menyinggung tentang puasa? Bagaimana berpuasa dalam tradisi Alkitab dan gereja hingga menjadi sebuah pelatihan spiritualitas?

Puasa adalah praktek universal umat manusia ini; juga telah dikenal dalam tradisi Kristen sejak awal. Puasa di dalam kekristenan berakar dari tradisi Yudaisme (dan mempunyai kesejajaran dalam Islam), tetapi tidak sama. Perbedaan puasa dalam agama Kristen adalah praktek ibadah yang dijalankan secara suka rela dan personal. Walaupun ada beberapa Gereja yang menetapkan puasa secara resmi dan ada pula yang tidak menetapkannya secara resmi, tetapi praktek itu dengan segala tata caranya terdapat di dalam sejarah kekristenan, baik di biara maupun di gereja.

Puasa sebagai ibadah suka rela, artinya puasa memang tidak diharuskan atau diwajibkan. Lukas 5:33-35 mengisahkan ketika Yesus menjawab pertanyaan orang-orang Farisi tentang murid-murid-Nya yang tidak diajarkan berpuasa sebagaimana para murid Yohanes Pembaptis. Yesus menjawab: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki disuruh berpuasa sedang mempelai itu bersama mereka? Tetapi akan datang waktunya, apabila mempelai itu diambil dari mereka, pada waktu itulah mereka akan berpuasa.” Jawaban Yesus ini memberi kesan bahwa puasa tidak wajib dilakukan, terutama ketika Ia masih bersama para murid.

Puasa sebagai ibadah personal, artinya puasa dijalankan seorang pribadi, namun tidak serempak. Ibadah komunal, semisal ibadah hari Minggu, dijalankan serempak dalam sebuah jemaat. Puasa sebagai ibadah personal dijalankan di dalam kebersamaan, namun tidak seragam dan serempak, dan juga tidak berjalan sendiri – puasa bukan ibadah individual. Memang ada hari-hari tertentu seseorang berpuasa, yaitu: Jumat Agung, Rabu atau Jumat sepanjang tahun. Namun bagaimana seseorang berpuasa, tidak seragam. Dalam tradisi Kristen membuka keberbagaian bagaimana setiap orang berpuasa. Ada yang mengurangi makan, ada yang tidak memakan yang disukainya, ada yang menahan dari tidak merokok, ada yang tidak melakukan kegiatan kesukaan rutinnya, dsb. Bahkan Santo Benediktus mengajarkan tentang puasa hati, terutama bagi mereka yang lemah fisik. Puasa hati adalah menahan diri dari tutur kata, pikiran, dan perasaan yang sia-sia.

Jadi inti puasa adalah menahan diri dari perbuatan dan sikap yang menentang Tuhan. Seseorang yang berpuasa adalah seseorang rindu berada di dekat Tuhan.

Ilustrasi: ThoughtCo

Mencari dan Menjadi Sahabat bagi Bumi

0

Abu Krakatau dan Tikus di Meja Makan

Kuliah privat perdana tentang beberapa hal mendasar Ekoteologi sudah selesai. Clive Pearson, dekan United Theological College mengunjukkan Ekoteologi begitu penting untuk dikenali dan didalami. Saya lalu ke perpustakaan untuk mencari dan membuat catatan dari beberapa buku rujukan ekoteologi yang tadi dibahas bersamanya. Langit semakin cerah terlihat dari jendela di ruang baca dalam Camden Theological LibraryCentre for Ministry, North Parramatta, New South Wales, Australia. Hari sudah siang. David Reichardt, kawan baik sekaligus pembimbing selama saya melewati cuti sabat di Sydney, menawarkan bekalnya kepada saya. Daripada membuang waktu keluar, lebih baik berbagi menyantap bekal yang ada sembari bercakap-cakap dengan kawan-kawan lain di ruang tunggu yang cukup luas di depan perpustakaan. Ada banyak meja dengan masing-masing sekitar 4-6 kursi. Beberapa orang terlihat mulai duduk dan membuka kotak makanannya. Kami duduk menempati sebuah sofa yang diatur untuk empat orang. Di situ seorang laki-laki dan perempuan terlihat asyik dalam percakapan. Laki-laki itu adalah George Emeleus, seorang ilmuwan yang justru pada usia pensiunnya sedang mengambil program studi teologi doktoral. “I am looking for the Enlightenment,” ucapnya jenaka.

Saya menyantap setengah potong pisang dan setengah potong roti selai keju. Perlahan-lahan kursi di sekitar kami bertambah. Lima orang lain bergabung juga. Semua datang dari lingkungan yang berbeda. Alumni. Mahasiswa tingkat doktoral. Pegawai perpustakaan. Ada warga negara Australia dari rupa-rupa wilayah, Libanon dan Indonesia. Lingkaran percakapan semakin melebar. Rupa-rupa topik tersaji menghiasi jam makan siang kami.

Saya menceritakan tujuan utama berlibur yakni mengekplorasi ekoteologi dan ide demi gereja, gaya hidup, pendidikan yang karib bumi. George menceritakan bahwa anaknya berlatar belakang pendidikan technic engineering dan sedang studi tentang Indonesia dan banyak bekerja di Indonesia. Ada pula kisah perjalanan dinas George dulu selama tugasnya selaku volcanologist di Jayapura, Papua. Kisah tentang meletusnya gunung Krakatau. Abunya tebal beterbangan meluas. Lalu, beberapa dari kami memuji bahwa Dianne sering terlihat membawa dan mengonsumsi makanan kaya nutrisi dari buah dan sayuran segar. David mengisahkan pengalamannya kala menjalani sebuah misi kemanusiaan tentang penyakit kusta. Suatu hari ia membawa banyak tikus dalam kandang di India. Banyak orang India kala itu heran dan memandang jijik. Cerita ini memancing ingatan Ranette juga kala ia mesti melakukan sebuah percobaan. Ranette cenderung selalu bergidik dahulu menyentuh tikus. Akhirnya ia dan seorang kawan berkebangsaan Cina bekerjasama. Ia menyuntik si tikus. Sang kawan memegang badannya.

Perjumpaan pada waktu makan siang bersama itu menjadi satu bukti bahwa sesungguhnya kita semua selalu dapat menemukan hal yang sama. masing-masing kami selalu punya pengalaman yang unik bahkan tidak nyaman dengan gejala alam Dari hal apa yang dirasa jijik, sampai pada kebutuhan untuk bersosialisasi. Apapun warna kulitnya, fasih ataukah tidak dalam berbahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan, ternyata makan menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat terelakkan. Kami sama-sama menyesuaikan waktu agar dapat makan siang bersama. Roti sebagai menu yang mendominasi pilihan bekal di siang hari itu. Udara dingin. Perlu minuman hangat sebagai kawan kala bekerja atau membaca di ruang perpustakaan. Perlahan-lahan kita semua beradaptasi dengan apa yang menjadi alam di tempat kita berada. Oleh sebab itu kita memerlukan alam perlu sebagai daya dukung kegiatan kita.

 

Mencari Sahabat bagi Bumi

Pemaparan di atas bermaksud sebagai ajakan bahwa kita semua perlu mengenali mengapa kita mau mencari dan menjadi sahabat bagi bumi. Barangkali kita bertanya-tanya, adakah gunanya? Bukankah Allah sudah menetapkan jalan alam, binatang dan jalan manusia? Ketika ada bencana, bukankah itu sebagai gejala bumi yang menua seiring dengan usianya? Untuk apakah berbicara tentang alam? Bukankah tugas kita untuk memperhatikan keselamatan, mengajari anak kita supaya pandai berdoa serta hidup dalam pengharapan?

Harus diakui bahwa kekristenan mula-mula cenderung bertumbuh dalam tradisi dualistis dalam budaya yang mengakar dalam pemikiran dan bahasa. Di satu sisi, kekristenan merendahkan nilai benda (matter). Alam serta dunia tidak bernilai di mata orang-orang Kristen. Misalnya pada era hellenistik, budaya Yunani cukup mendominasi dunia Mediterrania. Dalam pemikiran Plato, dunia adalah semacam bayangan dari dunia yang kekal. Dalam tubuh manusia, ada semacam roh abadi yang terjerat yang mendesak untuk membebaskan diri dari tubuh duniawi dan kembali pada asalnya di surga. Tidak heran ada ungkapan: Nature, the world, has no value, no interest for Christians. The Christian thinks of himself and the salvation of his soul (Ludwig Feuerbach)

Selain itu, dalam menyebut istilah “bumi”, “tanah” dan “debu” kita cenderung memandangnya sebelah mata. Ungkapan “jangan main tanah, nanti kotor!”. Atau ungkapannya dalam bahasa Inggris pun demikian, “Dirt” dan “dirty” menjelaskan sesuatu yang jijik secara fisik, atau merujuk pada sebuah candaan yang tidak berkelas. Saya jadi teringat pada sebuah pengalaman perayaan Hari Bumi tahun 2010 di sebuah kelompok bersama di sekolah berkurikulum nasional plus di Rancamaya, Bogor.

Kala itu, saya mengajak anak-anak memakan buah jeruk. Kulitnya dikumpulkan dan dibagi rata untuk ditanam dalam sebuah pot mini yang kemudian ditutup tanah. Saya ingin mereka belajar memilah samah organik dan membuat kompos dengan cara sederhana, Satu per satu anak bergantian maju untuk menanam kulit jeruknya. Ada yang tidak ragu-ragu memegang tanah. Ada yang sekedar menyentuh perlahan-lahan. Ada pula yang maju tetapi menolak untuk mendekat. Pengalaman ini menyiratkan bahwa tanah cenderung dipandang jorok. Tanah sering identik dengan bau dan becek padahal peladang dan pengelola kebun menggunakan kata “bumi” dan “tanah” sebagai citra kesuburan dan kemakmuran.

Di sisi lain, kekristenan juga mempunyai tradisi yang memuliakan pekerjaan Allah. Betapa manusia dapat menikmati bumi dan kepenuhannya, menghargainya sebagaimana Allah menciptanya. Banyak teks Alkitab mengatakan betapa alam dapat bertepuk tangan. Mereka turut memuliakan Allah. Allah pun langsung berelasi dengan mereka. Allah yang memberi minum segala binatang di padang melalui mata air di dalam lembah-lembah yang Ia cipta (Mzm 104:10-11). Allah yang menciptakan keindahan burung-burung serta menanam dan menumbuhkan pohon-pohon aras di Libanon sebagai sarang mereka (16,17).

Bersahabat bagi bumi bukanlah sebuah hal yang baru bagi gereja. Sedari semula Allah menempatkan segala ciptaan-Nya secara tertata, saling mendukung dan melengkapi. Masing-masing ciptaan memiliki keintiman dengan Allah.

 

‘Tselem’ dan ‘Demut’: Menjadi Sahabat bagi Bumi

Persahabatan terjadi di mana saja. Sahabat diidamkan oleh siapa saja. Di rumah tempat saya menumpang selama tinggal di Sydney, Oscar, si kucing manja hidup baik dengan Scout, si anjing kecil (tetapi badannya besar) yang gagah dan periang sekali. Memang mereka hidup terpisah. Oscar di dalam rumah ataupun kadang berkeliaran di halaman depan dan samping kanan rumah. Scout bermukim di area belakang rumah. Keduanya memang jarang dipertemukan sebab tampaknya gaya canda Scout tidak sebanding dengan berat tubuh Oscar. Namun mereka tidak pernah saling melukai apalagi mematikan.

Scout mulai memahami bahwa tidak selalu ia boleh melompat ke tubuh saya. “No! Sit down!” Ia duduk dengan patuh. Oscar juga mulai tahu bahwa ia boleh tidur di ranjang saya bahkan berputar-putar manja di dekat kaki, lalu berlari mengajak saya keluar kamar dan memberinya makan. Hewan pun memahami arti persahabatan.

Jelas, bumi bersahabat karena Allah-lah Penciptanya. Segala makhluk bersahabat dan takluk kepada Allah. Bayangkan bagaimana jenakanya situasi yang digambar dalam Kejadian 2:19b. Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya. Rupa-rupa binatang purba dibawa ke hadapan manusia padahal bukankah biasanya gambaran binatang purbakala itu seram dan ganas. Namun semua itu berada dalam kendali Allah. Ada kekariban yang begitu istimewa.

Anggapan bahwa manusia itu mahkota ciptaan bukan berarti ia puncak ciptaan seolah-olah ada jenjang dari yang paling jelek sampai kepada yang paling istimewa apalagi karena kita dicipta pada hari terakhir Allah bekerja. Lihat pemakaian kata ‘tselem’ dan ‘demut’, misalnya dalam Kejadian 1:26 dan 5:3. Tselem berarti gambar (image) dan bukan representasi bentuk konkret visual; sebuah penanda karena sesuatu atau seseorang tidak hadir. Demutberarti kemiripan (likeness) atau keserupaan fisik dan genetik antara ayah dan anak. Jikalau kata ‘tselem’ dipakai dalam arti manusia segambar dan serupa Allah, artinya lebih kuat ketimbang dalam arti ‘anak laki-laki segambar dan serupa ayahnya’.

Namun ketika ‘demut’ dipakai dalam kaitan manusia terhadap Allah, maka pemahaman ‘segambar dan serupa’ itu lebih lemah dibandingkan dalam kaitan anak laki-laki terhadap ayahnya.

Dengan kata lain, manusia diciptakan bukan sebagai makhluk yang istimewa karena rupanya seperti Allah, melainkan karena ia menjadi serupa dengan gambar dan rupa Allah pada saat dirinya memperlakukan bumi dan segala makhluk hidup seperti Allah memperlakukannya. Manusia menjadi mulia kala ia pun melakukan apa yang mulia di mata Allah. Manusia dianugerahkan tanggungjawab untuk ikut menjaga keseimbangan alam di bumi, di antara semua makhluk hidup yang menghuninya. Manusia diberikan kepercayaan untuk menjadi sahabat bagi bumi.

Minggu setelah ikut latihan paduan suara di Randwick Presbyterian Church, saya, Yolanda (seorang kawan sesama penggiat pelatihan kepemimpinan perubahan iklim) dan anaknya berjalan-jalan naik monorail. Kami singgah di pasar ikan (Sydney Fish Market). Banyak burung camar berkeliaran di sana. Ada satu yang terlihat asyik lama berdiri tetapi satu kakinya diangkat. Setelah didekati, rupanya kakinya itu terlilit benang kusut. Tidak ada jalan bagi saya untuk menolongnya. Ternyata sampah terutama yang ringan dan tipis sekalipun dapat mencelakakan ciptaan Tuhan yang lainnya.

 

Menjaga Sampah, Menyukuri Pemberian Allah

Menjadi sahabat bumi tidak mesti membuat kita masuk menjadi bagian dalam organisasi pembela lingkungan. Tidak perlu membuat kita ekstrem mengenakan atribut yang menandai kita penggiat bumi yang sejati. Namun jelas, menjadi sahabat bagi sang burung camar tadi adalah dengan berhenti melakukan secara sengaja atau tidak sengaja hal-hal dapat menjadi batu sandungan bagi yang lain. Janganlah kita menjadi benang jeratan bagi binatang. Pastikan bahwa sekecil apapun sampah, harus ditaruh benar dan baik. Sampah ringan mudah terbawa angin, masuk selokan, hanyut ke lautan. Atau, terbang dan membelit makhluk kecil yang tidak berdaya membebaskan dirinya.

Sebuah plastik tergeletak di lantai sanggup membuat seseorang jatuh dan cedera berat. Seonggok rambut di lubang saluran air mampu membuat seseorang kelimpungan, mencari tukang pipa, ataupun jatuh karena genangan air meluap dari bak cucian piring. Sepotong besar daging setiap makan, juga dapat mempercepat penyumbatan saluran darah dalam tubuh kita. Less meat, less heat. Kurangi makan daging, kurangi pemakaian gas untuk kompor. Mengurangi pemakaian gas alam sama dengan menekan laju konsentrasi gas karbondioksida di atmosfer kita. Ingatlah, semua yang baik kita perbuat karena Kristus membawa keselamatan bagi seisi dunia!

Selamat mencari dan menjadi sahabat bagi bumi.

 

Bahan Bacaan

  • Conradie, Ernst. Christianity and Ecological Theology: Resources for Further Research. (Study Guides in Religion and Theology/ Publications of the University of the Western Cape). SUN PReSS, 2006.
  • Leal, Robert Barry. The Environment and Christian Faith: An Introduction to Ecotheology. Strathfield, NSW: St Pauls Publications, 2004.

Global Warming is a Global Warning

0

Banyak orang mudah menyebutkan global warming ketika meresponi cuaca/ musim buruk. Hujan belakangan ini masih mengguyur Jabodetabek. Biasanya musim hujan mestinya pada bulan-bulan berakhiran “ber” (Oktober, November, Desember). Panas terik terasa menyengat kepala, membakar kulit ketika sinar mentari muncul gagah di langit. Banyak label “hijau” juga memasuki wajah kemasan makanan dan minuman. “Kurangi pemakaian kantong plastik” seperti tertera pada kantong belanja yang diberikan cuma-cuma maupun dijual di banyak pertokoan. “Sayangi bumi” sebagaimana tercetak di beberapa bahan pembersih rumah tangga yang mengajak pelanggan isi ulang dengan kemasan yang sama. “Go green” menjadi celetukan umum kala melihat orang bersih-bersih, memadamkan lampu, atau mengenakan kaos hijau. Secara umum seluruh masyarakat dunia cukup tahu bahwa bumi sedang tidak berada dalam kondisi menguntungkan. Dalam beragam ekpresi bahasa dan gaya, kita cenderung mulai berbuat sesuatu.

WORDS AND WORKS ON GLOBAL WARMING

Kata lain yang terkait dengan pemanasan global adalah ekologi, dua kata Yunani. Dalam “The Environment and Christian Faith: An Introduction to Ecotheology”, Robert Barry Leal (St Pauls Publications, 2004: 10) mencatatkan demikian.

Oikos berarti rumah, rumah tangga. Logos bermakna kata atau ilmu. Kamus Macquarie menjabarkan ekologi sebagai cabang ilmu biologi yang mengurusi relasi antara organisme dan lingkungannya. Kata ekologi pertama kali dipakai oleh Ernst Haeckel, seorang biologis Jerman (1866), dan di dalam kosakata Inggris sejak 1873.

Jadi kata ekologi sendiri kira-kira sudah berusia 147 tahun.

Seiring dengan perubahan masa, banyak organisasi atau lembaga swadaya masyarakat nir-laba bermunculan. Mereka turut berperan banyak dalam mempercepat penyebaran informasi dan pengetahuan tentang pemanasan global dan/ atau lingkungan hidup.

The Climate Reality Project berbasis di Nashville, Amerika Serikat di mana penggagasnya Al Gore bermukim. Ia dianugerahkan Nobel pada Juni 2006 atas dedikasinya dalam mempresentasikan pengetahuan serta solusi atas perubahan iklim terhadap dunia. Organisasi internasional ini merekrut ribuan relawan dari berbagai belahan negara, dengan beragam profesi. Bahkan ada Incovenient Youth yang dibentuk oleh sekelompok anak remaja seusai mereka menyaksikan film dokumenter Al Gore, Inconvenient Truth.  Mereka dibekali cuma-cuma tentang beragam temuan ilmiah, dampak membahayakan, solusi terhadap perubahan iklim serta kecakapan mengomunikasikannya. Mereka lalu kembali mempresentasikan secara cuma-cuma kepada komunitas/ kelompok di sekitarnya. TCRP dan IY juga telah memiliki kantor cabang di Indonesia (sejak 2009). Beberapa pembekalan yang biasanya tercakup dalam pelatihan kepemimpinan iklim TCRP kepada para relawan (climate leaders) adalah:

  1. pengetahuan dari sejumlah ilmuwan.
  2. komunikasi termasuk panduan dalam menanggapi para skeptik; kekuatan pesan melalui gambar dengan resolusi yang tinggi dan minim kata keterangan; dan/atau kekuatan cerita pendek melalui kisah personal yang dapat didengar orang banyak.
  3. pendekatan psikologis yakni bagaimana memenangkan argumen dan menguasai diri dalam menghadapi orang banyak.

Pemanasan global mengundang sebuah pertanyaan dan tanggapan yang utuh. Pendekatan dalam mengomunikasikan solusi terhadap perubahan iklim itu dilakukan secara menyeluruh.

ECUMENICAL MOVEMENT ON GLOBAL VOICES
Upaya di atas tidak luput mengundang peran serta gereja. Pada saat yang sama, gereja pun memiliki alasan kuat untuk turut tidak mengelakkan diri dari membina anggotanya tentang panggilan menata dan memelihara alam sesuai dengan kehendak Allah, dan seturut dengan alkitab sebagai sumber ajaran gereja. The Green Bible terjemahan The New Revised Standard Version (HarperCollins Publisher, 2008) menjadi satu bukti nyata bahwa ada kesadaran dan kesatuan yang sebetulnya menguat di antara gereja dan anggotanya yang hidup di abad ke 21 sebagai rekan Sang Pencipta. Teks-teks yang dicetak dalam tinta hijau menandai demonstrasi akan:

  1. bagaimana Allah dan Yesus berinteraksi, menyayangi dan terlibat karib dengan semua ciptaan;
  2. bagaimana semua elemen ciptaan- tanah, udara, air, tanaman, binatang, manusia itu saling bergantung;
  3. bagaimana alam meresponi Tuhan
  4. betapa kita dipanggil (diingatkan) untuk memelihara dan menyayangi ciptaan.

Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches) sebagai lembaga ekumenis paling luas di dunia dalam Sidang Raya VI dengan tema “Justice, Peace and the Integrity of Creation” (Vancouver, 1983) menekankan bahwa keutuhan ciptaan tidak terpisah dari keadilan dan perdamaian. Gereja-gereja patut menanggulangi masalah lingkungan sebagaimana isu-isu keadilan, seperti hak asasi manusia dan isu perdamaian seperti penggunaan senjata nuklir. Selanjutnya tema Sidang Raya VII (Canberra, Australia, 1991) “Come, Holy Spirit-Renew the Whole Creation” mengukuhkan bahwa Roh Kudus membuka mata gereja untuk melihat ketidakadilan dunia dan memperkokoh gereja untuk menentang dan berjuang melawan penindasan dan perusakan ciptaan. Roh Kudus memanggil gereja untuk bekerjasama menuju sistem sosial yang adil dan lingkungan yang berkelanjutan.

Dewan Gereja Asia (Christian Conference of Asia) turut serta dalam perjuangan hijau ini. Bekerjasama dengan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, misalnya, Justice, International Affairs, Development and Service (Siantar, Sumatera Utara, 2012) menyelenggarakan Konsultasi tentang Ekologi, Ekonomi dan Akuntabilitas. Irvan Hutasoit, seorang pendeta gereja suku menyaksikan bagaimana ia dan beberapa rekan pendeta menemani masyarakat Sipituhuta dan Pandumaan yang bergelut mempertahankan tanah suku mereka dari ancaman perusahaan Toba Pulp Lestari yang telah mendapat ijin resmi dari pemerintah untuk merambah hutan di mana pohon kemenyan bertumbuh. Hutan itu sudah berusia ratusan tahun. Masyarakat adat pun sudah hadir dan menjadikan pohon kemenyan itu sebagai satu mata pencaharian mereka jauh lama sebelum Republik Indonesia merdeka.

Pada saat yang sama, suara keprihatinan menggema di sekitar Haranggaol Danau Toba. Dulu ia berjaya atas produksi bawang merah. Kini kini kelimpungan tidak berdaya merelakan dirinya untuk mendirikan tambak/ keramba ikan mas. Para pengelola keramba dan penduduk sekitarnya merasa tidak mampu untuk keluar dari dilemma ini. Mereka butuh nafkah. Sementara pada saat sama, polusi udara terjadi akibat menguatnya bau endapan pelet ikan yang bertonton dibuang di dalam keramba. Air danau pun tercemar yang mengancam sanitasi penduduk Haranggaol dan danau Toba secara keseluruhan.

Di hari yang berbeda Yuko Endo, seorang pegiat bantuan bencana dalam Touhoku Help membagikan beberapa hal serius yang dialami masyarakat di Fukushima.

Gereja di Jepang
Meledaknya reaktor pembangkit tenaga nuklir Daiichi Fukushima pada tanggal 11 Maret 2011 akibat gempa dan tsunami memecahkan rekor kecelakaan terburuk nuklir di dunia dalam 25 tahun belakangan. Maka, sejumlah masalah sosial muncul mengenaskan. Beberapa kata goresan kapur di satu papan tulis dituliskan seorang peternak sapi perah dalam bahasa Jepang. Terjemahan bebasnya: “Jika saja pembangkit tenaga nuklir itu tidak pernah ada. Saya tidak tahan hidup lagi”. Ia juga menuliskan permohonan maaf kepada keluarga (istri dan dua anak) serta para sahabatnya. Ia lalu bunuh diri. Situasi bagi petani sepertinya memang tidak menentu. Pemerintah menghentikan pengiriman susu dari wilayah mereka mengingat radiasi yang mencemari lingkungan sekitar. Selain itu banyak kecemasan muncul. Gusar bagaimana dengan masa depan dirinya dan keluarga sebagai orang yang telah terkena radiasi. Meragukan pasangan. Ada yang mau tetap tinggal dan bekerja, ada pula yang memaksakan diri untuk tetap berpindah tempat. Muncul perceraian. Itulah sebabnya gereja di Jepang mulai bersatu. Salah satunya melalui Touhoku HelpSendai Christian Alliance mula-mula (1964) adalah konferensi doa, kemudian seminggu setelah ledakan reaktor namanya menjadi SCA Disaster Relief Network (Touhoku Help). Tiga proyek utama yang hendak dikerjakan adalah:

  1. Mendirikan Banyak Lokasi sebagai Tempat Mengukur Level Radiasi dalam MakananPenekanan bukan sebagai Tempat Protes Anti Nuklir, melainkan lebih sebagai komitmen untuk berbagi dan bersolidaritas dalam ketidakpastian. Memberikan dukungan terhadap mereka yang kuatir akan dampak radioaktif, menemani pergumulannya melalui pemikiran dan doa.

     

  2. Proyek Dukungan Bagi Korban Bencana non-JepangTouhoku Help meyakini betapa Jepang mesti merangkul segala orang termasuk yang datang dari rumpun yang berbeda. Tiada “kami atau mereka”. Seharusnya semua diperlakukan adil.

     

  3. Proyek Kesehatan Mental (Mental Care)Bekerjasama dengan Universitas Touhoku, mereka mencoba memberikan perhatian lebih lanjut secara medis. Kesedihan dan Ketidakpastian mendatangkan insomnia (sulit tidur) dan depresi. Agama itu dipandang sebagai hal pribadi sedangkan pengobatan medis terbuka bagi siapa saja.

     

CCA dalam agenda Faith, Unity and Mission, PGI juga Sekolah Tinggi Teologi Jakarta juga baru menyelesaikan Asian Ecumenical Course (STT-J, 8-21 Mei 2013). AEC merupakan suatu sekolah pendek yang memungkinkan peserta mendalami secara kristis dan teologis masalah politik, sosial, ekonomi, budaya termasuk lingkungan melalui sesi God’s Creation and Ecological Justice serta Field Trip ke lokasi Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang, GKI Kemang Pratama dan komunitas asuhan Yayasan WADAH di suatu tepian Kali Bekasi.

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia sendiri dalam bidang Marturia telah mengangkat isu lingkungan ini menjadi salah satu tema seminar agama-agama, “Agama dan Lingkungan Hidup (19-26 September 1988). Ada pula Konferensi Internasional Pemuda dan Lingkungan yang diadakan oleh Departemen Pemuda dan Remaja PGI (Palangkaraya, 7-9 November 2008). Temanya “Keadilan Iklim dan Keutuhan Ciptaan”. 

Selain itu, Sidang Raya PGI X (Jayapura, 1994) turut menetapkan partisipasi dan pelayanan gereja dalam pembangunan nasional dengan peka terhadap pemeliharaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) PGI no. 84 tahun 2010 menegaskan bahwa setiap orang percaya bertanggung jawab mahluk memelihara keutuhan ciptaan sebagai manifestasi pelaksanaan tugas gereja sebagai hamba Allah dalam memberitakan Injil kepada segala makhluk.

GLOBAL WARNING AS OUR PERSONAL CALLING
Semua indikasi di atas tidak otomatis membuktikan bahwa kita semua sudah cukup baik dalam memahami dan mengatasinya. Tidak cukup hanya mengandalkan para pejabat gerejawi, pemerintah ataupun pegiat lingkungan. Kita masing-masing dapat memulainya dari celah apapun yang kita punya, Berikut beberapa pintu strategis yang dapat kita lewati.

Berita/ kabar yang kita baca, dengar atau tonton; serta unggah atau unduh menjadi pendorong kesadaran dan pergerakan kita. Internet termasuk media sosialnya mulai menjadi candu bagi banyak kalangan. Banyak kita kini cenderung gelisah bila lupa membawa ponsel atau laptop mengingatnya sebagai sarana berselancar di dunia maya. Kendalikanlah semua kesempatan itu untuk mempercakapkan, menajamkan dan menerapkan solusi iklim. Coba latih apa yang Saudara mau perbuat setelah membaca berita ini?

Di kebun binatang Surabaya, Kliwon-seekor jerapah berusia 30 tahun ditemukan mati dengan sekitar 18 kilogram gumpalan plastik di dalam perutnya pada bulan Maret 2012. Bertahun-tahun ia memakan apa yang ia temukan dimana rupanya plastiklah yang kebanyakan dilemparkan oleh para pengunjung kandangnya. Majalah Time pada media online mencatatkan kejadian di kebon binatang ini sebagai “The Disturbing State of Indonesia’s ‘Zoo of Death’”. Ini amat memalukan mengingatnya kaya memelihara sekitar 4000 binatang yang koleksinya paling beragam di wilayah Asia Tenggara (http://newsfeed.time.com/2012/03/15/the-disturbing-state-of-indonesias-zoo-of-death/).

Program Sekolah yang menjadi asupan anak kita (dan anak-anak di sekitar kita) menjadi sarana baik pula. Di taman kanak-kanak Kinderfield Bekasi saya telah tiga kali diajak berpartisipasi.

Kinderfield Bekasi adalah tempat di mana Emilie dulu bersekolah (kelompok bermain dan taman kanak-kanak). Suatu ketika guru secara khusus mengajak saya menjadi storyteller kelas dalam rangka pekan buku di sekolah. Kebetulan ada satu buku cerita tentang proses pengambilan dan pemilahan sampah dalam bahasa Inggris yang sedang dijual pada salah satu meja penerbit buku peserta pameran di sana menjual. Maka buku itu menjadi referensi cerita saya. Anak dan guru sangat antusias menyambut cerita itu.

Pada tahun berikutnya saya pun diajak kembali. Saya membawa buku pengetahuan tentang Global Warming, beberapa boneka binatang dan meminjam sebuah bola dunia milik kelas. Betapa banyak binatang beruang putih kutub kehilangan tempat tinggalnya akibat mencairnya es permukaan. Banyak binatang laut juga mati perlahan-lahan akibat menelan sampah di lautan, keliru mengiranya sebagai sejenis jelly (agar-agar). Ada yang mati karena sampah plastik itu menghambat pencernaannya. Ada yang mati karena plastik tersebut memblokir lambung sehingga binatang tersebut merasa kenyang dan ia mulai berhenti makan. Binatang jenis ikan paus biasanya membuka lebar-lebarnya mulutnya menelan air ketika makan. Pada saat itulah banyak kantong plastik tertelan.

Kini Emilie sudah duduk di kelas 3 sekolah dasar dan bersekolah di sebuah sekolah Penabur. Namun adiknya, Ean bersekolah di Kinderfield Bekasi mengingat jarak yang dekat dan waktu sekolah yang pendek. Sekolah ini cukup mengingat saya sebagai yang senang dan perhatian untuk menyuarakan solusi bagi krisis akibat pemanasan global ini. Oleh sebab itu, pada akhir April 2013 mereka kembali mengundang saya dan suami untuk bercerita pada untuk gabungan siswa KG A (TK Kecil) dalam rangka Pekan Buku. Kami mengisahkan kebesaran Tuhan dan keragaman binatang yang Ia ciptakan.

Beberapa hari kemudian cerita lain disampaikan pula kepada seluruh siswa KG B (TK Besar) dalam rangka menyambut Hari Lingkungan Hidup yang jatuh pada 22 April. Kali itu saya dan suami berkisah tentang pasar lokal dan beberapa kebaikan yang ternyata terjadi pada binatang-binatang apabila kita mengatur sampah dengan baik. Tidak membuangnya apalagi di sembarang tempat. Mengurangi pemakaian kantong plastik dan/atau benda-benda sekali pakai lainnya.

Menu makanan dan minuman sehari-hari menjadi satu saksi perilaku buruk kita selaku manusia. Barangkali kita jarang memikirkan darimana datangnya lauk-lauk yang terhidang. Bagaimana masing-masing bahan pangan itu ditumbuhkan, dipetik/ ditangkap/ dibersihkan dan diangkut? Berapa banyak air yang dihabiskan untuk menumbuhkan dan memasaknya? Seperti apa proses pengelolaannya? Bagaimana mereka yang akan membersihkan meja dan piring denga sisa makanannya?

Beberapa aturan makan kutipan dari buku Michael Pollan berjudul “Food Rules: An Eater’s Manual” (2009) menarik dikaji dan ditindaklanjuti.

  1. Hindari makanan yang iklannya tayang di televisi. Suatu produk makanan yang iklannya muncul di televisi adalah makanan yang semu dan cenderung diproduksi untuk mendulang keuntungan besar. Mungkin itu hasil olahan, sudah diberi penguat rasa, pewarna atau pengawet.
  2. Shop the peripheries of the supermarket and stay out of the middle.

Berbelanjalah di lorong tepi dalam supermarket, dan hindari lorong tengah agar kita tidak membeli berlebihan makanan olahan dan/atau kemasan.

  1. Mengonsumsi makanan yang berdiri pada satu kaki (jamur dan tumbuh-tumbuhan) lebih baik daripada yang dua kaki (unggas), juga lebih baik daripada empat kaki (sapi, babi, dan mamalia lainnya)
  2. Beli piring yang lebih kecil.

Makin hari restoran terlebih yang siap dan cepat saji makin membuai pelanggan dengan porsi yang makin besar. Ada bahaya obesitas dan ketidakseimbangan asupan makanan/ minuman dengan kemampuan sistem pencernaan kita.

Jadi makan dengan porsi secukupnya saja sebagaimana permohonan kita kepada Allah melalui doa yang Yesus ajarkan kepada kita. Gerakan makan lambat saji (slow food), bukan cepat saji, gerakan makanan asli (real food), bukan makanan perisa (food-like) mesti menjadi gaya hidup kekristenan. Gereja belajar berani untuk berbagi makanan sebagaimana Yesus memberi makan roti yang mengenyangkan 5000 orang. Bukan karena meniru jumlah massa, melainkan keberanian berbagi makanan pokok pelambang hidup berkelimpahan di dalam anugerah Allah. Jelas, gerakan ekologis dalam menanggapi pemanasan global dan segala dampaknya bukan semata-mata sebuah tren atau panggilan demi hidup enak, nyaman dan bersih. Namun ini menjadi sebuah gerakan moral Kristen dalam rangka mewujudkan keadilan ekologis bagi seluruh ciptaan.

Penuhilah Bumi dan Taklukkanlah Itu

0

Setiap kali menyebutkan jumlah saudara kandung ayah maupun ibu saya, banyak orang terheran. Ayah bersaudara 16 orang sedangkan ibu, 10 orang. Masing-masing mereka memiliki satu ayah dan satu ibu. Keheranan tersebut mungkin karena jaman sekarang banyak pergeseran terjadi. Dulu mungkin banyak anak bukan lagi banyak rejeki. Anak dipandang menjadi pembawa kehormatan keluarga. Anak laki-laki turut dibanggakan karena ia membawa nama marga. Jadi wajarlah bila pada jaman kakek dan nenek kita kebanyakan keluarga memiliki jumlah anak yang banyak. Mereka belum memahami penuh tentang kesehatan ibu. Penyebaran penduduk pun masih cukup merata, tidak bertumpu banyak di Pulau Jawa khususnya Jakarta atau Bekasi, tempat saya bermukim.

Kini, memiliki satu anak saja dipandang cukup. Banyak hal berpengaruh pada kesehatan reproduksi laki-laki dan perempuan. Satu anak sama dengan ujian kesiapan orangtuanya untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang cukup serta dana kesehatan yang memadai. Satu anak bahkan perlu pendampingan yang bersahabat dan penuh kasih dari lingkungan sekitarnya terutama orangtuanya. Bagaimana pandangan Alkitab sendiri tentang hakekat hidup seorang manusia? Tidakkah ia berhak untuk beranak cucu sebanyak-banyaknya? Bukankah Allah berjanji untuk selalu memenuhi kebutuhannya?

Kala Allah Mencipta

Manakala berbicara tentang keinginan dan kebutuhan, kisah Penciptaan sering menjadi rujukan. Benar bahwa Allah-lah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Allah mencukupkan setiap kebutuhan mereka termasuk manusia. Allah bukan berhala atau dewa asing yang perlu diberi sesajen untuk tertarik dan mendengar jeritan manusia. Allah YHWH adalah Allah yang berdaulat penuh dan memastikan bahwa setiap ciptaan memiliki rantai yang saling menguntungkan. Namun kuasa yang Allah berikan kepada manusia seringkali disalahtafsirkan. Kekristenan pun tidak luput dari kelalaian itu. Lynn White dalam tulisannya yang mula-mula dipublikasikan dalam majalah Science (1967) “The Historical Roots of Our Ecological Crisis” mencermati bahwa apa yang manusia lakukan terhadap ekologi bergantung pada bagaimana manusia berpikir tentang dirinya dalam relasi dengan lingkungannya. Kekristenan pernah menjadi agama yang begitu antroponsetris. Tubuh manusia yang dicipta dari debu dan tanah, bukan semata-mata bagian dari alam belaka, melainkan juga ia diciptakan seturut dengan gambar dan rupa Allah. Pada awal abad ke-2 Tertullianus dan Ireneus menekankan bahwa ketika Allah membentuk Adam, ia mencitrakan Kristus yang berinkarnasi, Adam Kedua. Inilah yang perlahan-lahan saat itu turut memperkuat dasar bagi kekristenan untuk mengeksploitasi alam demi tujuan-tujuan manusia.

Mari kita simak pula Kejadian 1:28.

Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”

Kata “taklukkanlah” (subdue) berasal dari kata Ibrani, kabash. Sesungguhnya ini berlaku manakala pihak yang ditaklukkan itu sudah berada dalam kondisi buruk atau jahat (hostile). Taklukkan apabila bumi  sudah menjadi ancaman. Ini menandai bahwa alam sepatutnya diupayakan sebagai lingkungan yang memberi daya dukung. Namun pemahaman ini justru dimanfaatkan oleh kita (manusia) untuk menyalahgunakan kebaikan dan kesuburan alam pula.

Lalu, kata “berkuasalah” (dominion atau rule) dari kata radah. Suatu kata kerajaan, pemerintahan yang bertahta dari seorang raja. Kata yang sama dipakai pula dalam Mazmur 72:8, “Kiranya ia memerintah dari laut ke laut, dari sungai Efrat sampai ke ujung bumi” serta dalam ayat 12-14. “Sebab ia akan melepaskan orang miskin yang berteriak minta tolong, orang yang tertindas, dan orang yang tidak punya penolong; ia akan sayang kepada orang lemah dan miskin, ia akan menyelamatkan nyawa orang miskin. Ia akan menebus nyawa mereka dari penindasan dan kekerasan, darah mereka mahal di matanya”. Jadi kata radahjelas menunjukkan pola pemerintahan yang adil dari sang raja. Sebagai orang Kristen, Raja yang sempurna hadir di dalam Kristus. Keselamatan yang diberlakukannya adalah meliputi dunia dan seluruh isinya. Teks ini jelas mengajak kita untuk memeriksa kembali pemahaman kita tentang siapa Allah Sang Pencipta.

a. Allah Empunya dunia dan segala isinya
b. Semua ciptaan mesti memuliakan dan menceritakan perbuatan Allah
c. Manusia dicipta serupa dengan citra-Nya namun tetap punya batasan dalam kuasa yang diberikan-Nya
d. Manusia adalah bagian dari bumi sebab ia dititipkan tanggungjawab untuk mengelolanya
e. Manusia dipanggil untuk menaklukkan bumi agar bumi tetap dalam keadaan baik dan menjadi daya dukung pada kegiatan manusia
f. Manusia tidak dibenarkan mengeksploitasi bumi apalagi demi keuntungan dan kenyamanan bagi dirinya sendiri
g. Lingkungan yang sehat, tanah yang makmur, masyarakat yang adil menjadi salah satu penanda kehadiran Allah dan kesungguhan sang manusia untuk taat kepada Sang Pencipta

Manusia: Makhluk, Penakluk yang Takluk

Selaku makhluk ciptaan Tuhan Khalik langit dan bumi, maka ada beberapa langkah yang kiranya dapat dilanjutkan sebagai cara meresponi panggilan mula-mula ini.

  1. Kajilah Alkitab khususnya teks-teks yang berbicara tentang bagaimana alam berelasi dengan Allah.
  2. Pelajari dan jemaatkanlah nyanyian atau himne gereja yang syairnya menolong kita untuk memuji Tuhan bersama alam semesta.
  3. Berikanlah edukasi kepada jemaat tentang tanggungjawab dalam kelahiran dan pendidikan anak, bahwa ini bukan semata-mata demi kecerdasan intelektualitas anak melainkan juga kematangan emosi, sikap terhadap alam (green parenting) dan spiritualitas selaku keluarga yang takut akan Tuhan.
  4. Bekerjasamalah dengan sesama lembaga gereja yang turut memperjuangkan tanggungjawah gereja terhadap bumi sebagai tanda bahwa gerakan ini bukan semata-mata urusan kemanusiaan melainkan juga moral sebagai orang beriman.
  5. Bekerjasamalah dengan lembaga/ komunitas lintas iman nir-laba yang mengajak partisipasi masyarakat untuk menjadi bagian solusi krisis lingkungan. Ini pun menjadi satu bukti nyata bahwa upaya memandang kerusakan lingkungan sebagai bagian tanggungjawab gereja menjadi panggilan bersama sebagai sesama manusia apapun latar belakang kita.
  6. Himpun dan jemaatkanlah hasil kerja di atas agar jemaat merayakan ini sebagai suatu bentuk pembebasan dan perjuangan demi keadilan ekologis pada semua usia, lintas gereja, lintas iman, lintas ciptaan.

Kiranya kita selalu mampu menaklukkan keinginan demi terpenuhinya kebutuhan kita dan semua ciptaan Tuhan.

Mengapa Orang tua Memainkan Peran Paling Penting Dalam Pendidikan Anak?

2

[quote style=”boxed” source=”Amsal 22:6″]Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang daripada jalan itu[/quote]

Menjadi orang tua, dalam pemikiran saya adalah sebuah anugerah atau hadiah dari Tuhan. Masih melekat dalam ingatan saya, ketika Brian (anak laki-laki kami yang pertama) lahir pada tanggal 14 Mei 1992 (dengan berat 3,7 kg dan panjang 51 cm), dan ketika Justin (anak laki-laki kami yang kedua) lahir pada tanggal 3 Januari 1997 (berat 3,85 kg dan panjang 51 cm).

Kehadiran Brian dan Justin tentu saja menambah keceriaan di dalam keluarga kami. Namun tugas dan tanggung jawab untuk mendidik dan membesarkan dua anak laki-laki, bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Kami (sebagai ayah dan ibu) memiliki waktu yang terbatas (karena sama-sama bekerja dan aktif dalam pelayanan). Namun kami terus belajar dan berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan mereka, baik emosional, intelektual mau pun spiritual.

Selama lebih dari delapan tahun, kami di rumah tidak memiliki pembantu, atas permintaan Brian dan Justin. Semua pekerjaan di rumah, menjadi “pe-er” kami bersama. Tidak ada jenis pekerjaan laki-laki atau pun perempuan, karena semua pekerjaan di rumah adalah tanggung jawab kami bersama dan kami harus gotong-royong. Begitu pula, permasalahan yang terjadi di rumah atau pun di sekolah dan gereja, menjadi topik diskusi bahkan perdebatan kami yang hangat. Dalam usia 21 tahun, Brian sudah bekerja dan tidak lama lagi akan melanjutkan kuliah. Sedangkan Justin, dalam usia 16 tahun, masih berada di bangku Sekolah Menengah Atas. Kedua-duanya, sejak awal bulan Mei ini – terpaksa tinggal di kost, karena sewa rumah kontrak kami berakhir pada tanggal 9 Mei 2013, dan kami pindah ke Tangerang, yang jauh dari sekolah dan tempat mereka beraktivitas.

Memasuki babak kehidupan yang baru, karena terpisah oleh jarak dan waktu, kami belajar untuk memberi kepercayaan kepada Brian dan Justin untuk lebih mensyukuri “kehidupan bersama keluarga” (menurut istilah mereka), serta memberi ruang dan waktu bagi mereka untuk belajar mandiri, lebih matang dan dewasa karena harus belajar berhemat serta mencukupi kebutuhan sehari-hari di sekolah dan di tempat kost dengan cerdik.

Sebagai ibunya, saya belajar untuk memberi kepercayaan dan tanggung jawab bagi Brian dan Justin untuk bersikap matang dan dewasa. Dari seorang Ibu yang setiap hari bangun pagi-pagi, menyediakan makanan dan memasok kebutuhan mereka (sampai bekal di sekolah dan di kantor setiap hari), menjadi seorang Ibu yang hanya menyediakan makanan dan memasok kebutuhan mereka dua minggu atau sebulan sekali. Satu minggu pertama, ada perasaan “kosong” dan “hampa” ketika kembali ke rumah, setiap sore.

Kalau ditanya, apakah ada rasa cemas dan kuatir “melepaskan” anak-anak untuk kost dan mandiri? Jawabnya adalah, kami sangat cemas dan kuatir karena baru untuk pertama kalinya kami harus “menyapih” Brian dan Justin. Mempunyai dua anak laki-laki, mendidik dan mengajar saya (khususnya) untuk memahami dan menyadari, bahwa memberi waktu dan ruang bagi anak-anak untuk bertumbuh makin dewasa melalui tantangan dan permasalahan kehidupan, merupakan suatu keharusan.

Setiap anak perlu menyadari, bahwa mereka belajar tidak hanya di bangku sekolah tetapi juga di sekolah kehidupan dengan segala bentuk permasalahan yang ada di dalamnya, agar kelak mereka lebih siap, matang dan dewasa dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu memanjakan anak dengan uang dan fasilitas, tidak pernah ada di dalam benak kami. Brian dan Justin bisa menghitung, berapa biaya yang harus diperlukan untuk membayar uang sekolah dan keperluan sekolah, les tambahan dan keperluan mereka setiap tahunnya. Dan mereka juga memahami, acara berlibur keluarga perlu dipersiapkan satu sampai dua tahun di muka, karena harus berhemat dan menabung. Mengurangi “jatah uang jajan keluarga” dan keperluan lainnya, untuk berlibur ke Bali dan tempat lainnya.

Sebagai orang tua, saya dan suami saya bukan malaikat. Kami hanya orang tua sederhana yang punya cita-cita besar bagi masa depan anak-anak kami. Selaras dengan apa yang dikatakan oleh penulis kitab Amsal, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang daripada jalan itu” (Amsa 22:6).

Oleh karena itu ada juga keceriaan di dalam hati, karena jarak dan waktu yang memisahkan, membuat kami “semakin melekat dan merindukan” satu sama lain. Hal ini mengingatkan saya pada seorang ahli antropologi, yang bernama James Prescott. Ia mengatakan, bahwa jika anak-anak dibesarkan dalam kasih sayang, mereka akan tumbuh menjadi seorang dewasa yang lebih sehat, dan lebih bahagia. Sebaliknya anak-anak yang masa kanak-kanaknya penuh dengan penolakan dan kekerasan, kelak akan bertumbuh menjadi anak-anak yang sangat tertekan dan jahat. Kami berdoa, semoga Brian dan Justin terus bertumbuh menjadi seorang dewasa yang sehat dan bahagia karena mereka dibesarkan dalam kasih sayang dan penuh cinta. <3

The Courage to Teach

0

The Courage to Teach” berasal dari kata “Parrhesiazomai,” yang menunjuk pada arti to use freedom in speaking, be free spoken, to speak freely; dan atau to grow confident, have boldness, show assurance, assume a bold bearing. Dalam terjemahan Bahasa Indonesia, “The Courage to Teach” dapat diartikan sebagai mengajar dengan berani, dengan keberanian mengajar, keberaniannya mengajar. Seorang guru yang baik, tidak ditentukan oleh seberapa pandai dan hebatnya dia mengajar di kelas. Pengajaran yang baik selalu datang dari kepribadian dan integritas guru yang baik.

Khru Suwimon Suwanat adalah seorang guru Sekolah Dasar Krong Pinang. Tiga puluh enam tahun lamanya ia telah menjadi guru di sekolah, yang terletak di daerah Ujung Selatan, Thailand meskipun ia menghadapi ancaman kekerasan setiap hari.

Di daerah lainnya di Ujung Selatan, seperti Yala, Pattani dan Narathiwat, guru-guru, siswa dan para orang tua menghadapi ancaman kekerasan dari para pemberontak, yang telah membakar sejumlah sekolah di kawasan itu sejak tahun 2004. Lebih dari seratus lima puluh guru terbunuh dalam aksi kekerasan itu, dan seratus orang lagi menderita cacat permanen. Untuk menjaga keamanan guru dan siswa mereka, sekolah-sekolah setempat mengandalkan personil keamanan untuk menjaga dan melindungi mereka.

“Setiap pagi, para tentara menjemput para guru dan mengantar mereka dalam iringan kendaraan, kemudian mengantar mereka pulang ketika jam pelajaran di sekolah sudah berakhir,” kata Direktur Sekolah Krong Pinang, Pollawat Boonchuy kepada wartawan Surat Kabar Asia.

Bagi Khru Suwimon Suwanat, penjagaan dan perlindungan dari personil keamanan itu telah menjadi rutinitas sehari-hari. Setiap hari dengan pengawalan ketat sepanjang 15 km dari rumah ke sekolah, Suwimon bekerja keras tanpa kenal lelah selama 36 tahun di Sekolah Krong Pinang. Tinggal satu tahun lagi, Suwimon akan memasuki usia pensiun pada usia 60 tahun.

“Ketika saya memutuskan bekerja di tiga provinsi perbatasan di daerah selatan, pada awalnya saya merasa takut. Tetapi ketika saya bertemu dengan para guru kepala, mereka sangat baik kepada saya,” tutur Suwimon.“Saya cinta tempat ini. Sudah seperti rumah saya sendiri. Saya suka sekolah ini dan juga penduduk di daerah ini. Ketika saya pergi ke luar sekolah, saya tidak merasa takut. Tetapi ketika saya berbicara dengan mantan murid-murid saya, mereka memberikan informasi mengenai apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, dan saya menuruti mereka,” kata Suwimon dengan hati-hati.

Di antara mantan murid-murid yang menghargai pengabdiannya, ada Funha Sah-ah, yang berusia 11 tahun. “Ibu Suwimon mengajar orang tua saya, dan sekarang dia mengajar saya. Saya merasa sangat nyaman dengannya, sebab dia sangat berdedikasi dan berkomitmen pada kami. Dia berkata akan bekerja di sekolah ini selama dia mampu, meneruskan pengetahuannya kepada para muridnya dan membantu kami menjadi orang-orang yang baik di masa depan, sampai dia tidak lagi mampu berbuat demikian,” kata Funha Sah-ah kepada wartawan Asia.

Sekolah Krong Pinang memiliki 33 orang guru dan staff untuk mengajar lebih dari 510 orang murid, yang hampir seluruhnya adalah kaum Muslim Melayu. Suwimon mengajar matematika di kelas empat dan bahasa Thailand di kelas dua. Setiap pagi ia bergabung dengan guru-guru lainnya, berkendara di belakang Songthew, sebuah truk terbuka yang dimodifikasi untuk mengangkut penumpang. Tempat penjemputan tidak jauh dari lokasi serangan bom mobil yang terjadi pada tanggal 31 Maret 2012.[1]

Penyedia keamanan bagi para guru adalah para anggota Unit Operasi Khusus 13 dari Angkatan darat Kerajaan Thai yang berpusat di distrik Krong Pinang, sebagai salah satu distrik yang paling berbahaya di Propinsi Yala.Seperti guru-guru yang lainnya, Suwimon pada awalnya memilih Sekolah Krong Pinang, untuk memulai profesinya sebagai guru. Namun, ia tidak seperti orang lain yang menggunakan kedudukan dan senioritas mereka untuk dipindahkan ke sekolah yang lebih dekat dengan rumah mereka, atau yang berada di luar kawasan Ujung Selatan.  Dia memutuskan untuk tetap tinggal. “Saya merasa ini rumah saya,” kata Suwimon.

“Pada tahun 2005, pemerintah menerapkan kebijakan yang memungkinkan para guru sekolah negeri di kawasan itu untuk pindah ke sekolah di provinsi asal mereka. Banyak teman saya yang pindah. Saya dulu juga berpikir untuk pindah. Keputusan itu berat! Tetapi setelah saya lama mengajar di sekolah ini, saya mengajar putra dan putri dari mantan murid-murid saya. Saya menganggap mereka semua keluarga. Mereka adalah putra, putri dan sepupu saya. Saya merasa berada di rumah sendiri,” kata Suwimon.

Tidak semua orang mempunyai keberanian dan komitmen untuk mengajar seperti Khru Suwimon Suwanat. Ditempatkan di sebuah kawasan yang rentan dengan aksi kekerasan dalam bentuk serangan bom, akan membuat orang takut untuk mengajar. Selain medan yang sulit dan berbahaya, juga sama sekali tidak ada jaminan akan keselamatan dalam mengajar. Apa yang membuat Khru Suwiman Suwanat berani mengambil resiko itu? Jawabannya adalah karena cinta kasih. Kalau seorang guru sudah memiliki cinta kasih sejati kepada murid-muridnya, ia akan menemukan tidak hanya model pembelajaran yang paling sesuai dengan kondisi murid-muridnya, tetapi juga daya dan kekuatan untuk menghalau ketakutan-ketakutan yang menghalanginya untuk mengajar.[2]

Ah, kalau saja di tengah carut marutnya dunia pendidikan kita di Indonesia, kita memiliki guru-guru yang mempunyai keberanian dan komitmen seperti Khru Suwimon Suwanat, sehingga sebagai guru atau pendidik kita  “merasa berada di rumah sendiri,” berperilaku lebih santun dan mampu menghadirkan conroh konkret akan nilai-nilai keutamaan dalam hidup. Dengan cara seperti itu, pembelajaran menjadi suatu perziarahan guru dan murid-murid untuk mencari kebenaran dan mencintai apa yang baik. Khalil Gibran berkata, “Besarkan anakmu dengan cinta, maka dia akan belajar mencintai.”[3]

Sebagai guru dan atau pendidik, kita dapat belajar dari Yesus, Sang Guru Sejati. Memiliki kasih, yang memberikan diri kepada orang lain, sehingga semakin besar energy yang dihasilkan dalam menanggapi setiap kebutuhan cinta dari orang lain. Dalam Yohanes 14:21b, Yesus berkata, “… Barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku, dan Aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya.” Menjadi guru – dengan segala inflasi makna – dalam berbagai jargon yang terkait dengan pahlawan tanpa tanda jasa, yang digugu lan ditiru, panutan, dan orang tua kedua, kita dipanggil untuk melakukan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, seperti yang diyakinkan oleh pendiri Apple dan Pixar, Steve Jobs pada saat acara wisuda di Stanford University 2005:

“Your work is going to fill a large part of your life, and the only way to be truly satisfied is to do what you believe is great work. And the only way to do great work is to love what you do. If you haven’t found it yet, keep looking. Don’t settle. As with all matters of the hearts, you’ll know when you find it. And, like any great relationship, it just gets better and better as the years roll on” (Steve Jobs, 1955-2011)

Semoga sukses!

Catatan:

[1] Serangan bom ini menewaskan 11 orang, dan menciderai lebih dari 100 orang
[2] A. Mintara Sufiyanta & Yulia Sri Prihartini, Sang Guru Sang Peziarah (Jakarta: Penerbit Obor, Cet-2, 2011), 142.
[3] Ibid., 152.

Mendidik dengan Hati

0

banner-meiBerapa banyak orang yang memiliki kenangan buruk tentang guru yang dulu mengajar di tingkat dasar atau menengah? Adakah yang pernah mendengar kata-kata seperti, ”Dasar, kamu tuh bloon banget sih!” Kata-kata tajam dengan mudah meluncur dari mulut pendidik tanpa perasaan. Atau orang tua kadang kala tanpa disadari berulang-ulang mengumpat anaknya dengan pernyataan, ”Dasar anak tak berguna!” Pernyataan seperti itu menunjukkan bahwa para pendidik, baik itu orang tua atau guru kadang kala tidak memiliki kepekaan dalam mendidik, tidak memakai hati. Sebab siapapun, baik anak maupun orang dewasa pasti tidak mau direndahkan.

Begitu banyak anak di masa kecilnya yang harus terluka oleh karena perkataan atau perlakuan orang dewasa terhadapnya. Padahal luka emosional cenderung menetap dan membuat orang menyimpan perasaan tersinggung atau marah itu hingga  dewasa. Bahkan tak jarang ada yang berusaha menutupi perasaan malu atau tersinggung itu, sehingga ia terluka lebih dalam lagi. Rumah yang seharusnya menjadi tempat hati tertambat, akhirnya menjadi tempat hati yang terluka. Betapa pentingnya mendidik dengan hati, sebab mengajar yang berdampak bukanlah dari kepala ke kepala, tetapi dari hati ke hati.

Hati adalah pusat pertimbangan, sebelum kita menentukan pilihan tindakan tertentu. Bagi orang Ibrani, hati mencakup seluruh pribadi manusia, mencakup pikiran, perasaan dan kehendak seseorang (band. Ul 6:4-6). Hati membuat kita peka akan perasaan pihak lain, sehingga kita mampu berempati dengan keadaan orang lain, tidak mudah menghakimi, atau melecehkan. Hati membuat kita mempertimbangkan perlakuan yang tepat yang dibutuhkan oleh pihak lain. Mengajar dengan kepala sangatlah mudah. Tetapi mengajar dengan hati jauh lebih sulit, meski pasti akan lebih bermanfaat dan berdampak luas. Mendidik dengan hati menjadi penting, karena sesungguhnya itulah mengajar yang mengubah hidup (Dr. Howard G. Hendricks, Teaching to Change Lives, 1987).

Anak atau siswa yang kita didik adalah mahluk yang memiliki hati nurani atau perasaan/emosi. Emosi berperan penting dalam kehidupan, sebab emosilah yang menggerakkan kita untuk bertindak. Kesadaran diri dan pengetahuan tentang emosi memungkinkan kita memulihkan kehidupan, membangun hubungan kasih yang langgeng dan menimbulkan kebahagiaan sejati. Itu berarti para pendidik perlu memiliki kecerdasan emosional  yang akan menolongnya untuk menunjukkan bela rasa, empati, penyesuaian diri dan pengendalian diri.  Orang yang cerdas secara emosi dapat menentukan pilihan-pilihan yang baik dan mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan pribadi dan orang lain. Karena itu para pendidik, orang tua dan guru perlu belajar mencerdaskan emosi mereka agar memiliki kepekaan dalam mendidik dengan tepat.

Bagaimana caranya menjadi cerdas secara emosi? Pertama-tama kita perlu mengembangkan kesadaran emosional aktif, yaitu mengenali sepenuhnya setiap emosi yang kita rasakan setiap hari. Kemudian kita menggunakan emosi bersama dengan daya kesadaran kita untuk menjalani kehidupan ini dengan lebih baik dan pasti lebih bijaksana. Semua pembelajaran dimulai dari perasaan. Orang menerima apa yang mereka rasa harus diterima dan menolak apa yang mereka rasa harus ditolak.

Pertanyaannya bagaimana dengan orang-orang yang Anda ajar atau didik? Apakah mereka bersikap menerima atau menolak? Tugas awal para pendidik adalah membangun relasi dengan orang yang anda didik, dengan memakai hati. Maka lambat laun Anda akan melihat penerimaan dan keterbukaan yang kemudian mendorong perubahan yang signifikan.

Mulailah dengan hati, mendidiklah dengan hati, agar perintah dipandang sebagai pelita, ajaran adalah cahaya yang menuntun pada kehidupan (lih. Amsal 6:23)

- Advertisement -

Artikel Terkini