Beranda blog Halaman 91

Silakan Sebut Aku Anjing!

0

12381_450270481714815_887052601_nTulisan imajiner Pdt. Linna Gunawan berikut ini merupakan refleksi dari Markus 7: 24 -30 dan menutup deretan Refleksi Mingguan April 2013 seputar perempuan. Selanjutnya pada bulan Mei 2013 tema Refleksi Mingguan adalah seputar pendidikan. Selamat membaca, merenung dan membagikan!

Aku mendengar Yesus datang ke Tirus, daerah tempat aku tinggal. Seingatku, Dia seorang Yahudi, dan agak aneh kalau Dia berada di wilayah tempat orang-orang Yunani seperti diriku. Setahuku, orang Yahudi menganggap aku dan saudara sebangsaku adalah orang-orang najis (McKenzie 2012). Hampir mustahil ada seorang Yahudi mau datang ke daerahku. Ah… aku berhenti saja memikirkan segala kejanggalan mengenai kedatangan-Nya ke daerah kami. Bagiku, kedatangan-Nya seperti mimpi yang jadi kenyataan!

Aku sudah lama mendengar nama-Nya disebut-sebut oleh banyak orang sebagai Tuhan yang membuat banyak mujizat. Ada begitu banyak orang yang sudah disembuhkan-Nya. Aku juga mendengar Dia mampu mengusir roh jahat yang masuk ke dalam tubuh seseorang. Terus terang aku punya pergumulan yang sama. Suatu kali aku menyaksikan anakku tiba-tiba sakit aneh. Aku tahu sakitnya karena roh jahat ada di dalam tubuhnya. Tidak ada satu orang tabib atau “orang pintar” yang aku datangi sanggup mengeluarkan  roh jahat dari tubuh anakku. Aku sudah sempat frustasi memikirkan kondisi anakku. Saat aku mendengar Dia datang ke Tirus, aku sungguh merasa harapanku kembali muncul. Karena itu mengapa aku bersukacita mendengar kedatangan-Nya. Mimpiku akan terkabul, melihat anakku sembuh kembali.

Dengan semangat aku berlari menuju rumah di mana Yesus tinggal. Dari kejauhan aku melihat wajah Yesus begitu lelah. Dia terlihat seperti sengaja menyembunyikan diri dari banyak orang. Sebenarnya saat langkahku tinggal beberapa ratus meter saja dari depan pintu rumah itu, aku agak ragu untuk meneruskan langkahku menjumpai-Nya. Di kepalaku bermunculan pikiran-pikiran: maukah Yesus menolongku? Bukankah aku memiliki tiga “dosa” dalam pandangan orang Yahudi? Aku seorang perempuan; aku seorang Yunani keturunan Siro-Fenesia; aku memiliki anak perempuan yang dikuasai oleh roh jahat. Sedangkan Yesus, Dia seorang Yahudi, laki-laki, dan rabi (McKenzie 2012). Sebuah perbandingan bumi dan langit! Tapi aku tidak bisa menghentikan langkahku, tidak, tidak mungkin! Wajah anak perempuanku muncul begitu saja dalam pikiranku. Aku harus berjuang baginya. Aku ingin anakku kembali sehat!

Aku tersungkur di depan kaki-Nya. Aku tidak berani untuk berdiri apalagi memeluk tubuh-Nya. Bagiku berada di depan kaki-Nya adalah tempat yang layak buat orang seperti diriku. Aku menangis di depan-Nya, dan dengan suara terbata aku memohon Dia mengusir roh jahat dari tubuh anakku. Aku sungguh-sungguh berharap kepada-Nya. Aku percaya kepada-Nya seperti orang banyak berkata bahwa Dia seorang rabi yang baik hati dan selalu bersedia menolong.

Aku berusaha membuka telingaku lebar-lebar ketika Dia berkata: “Biarlah anak-anak kenyang lebih dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan kepada anak-anak dan melemparkannya kepada anjing” (Markus 7: 27). Tubuhku gemetar. Dia menyebutku anjing! Dia menyamakan aku dengan anjing! Aku dapat merasakan aliran darah turun dari kepalaku menuju ke wajahku. Pasti saat ini mukaku sangat merah padam mendengar Yesus menyamakan aku dengan anjing. Aku tahu apa artinya sebutan anjing bagiku. Memang sebutan ini bukan pertama kali aku dengar. Beberapa kali aku mendengar orang-orang Yahudi menyebut kaumku dengan sebutan anjing sebagai tanda penghinaan. Terus terang aku tidak pernah mengira sebutan itu tertuju pula kepadaku dan diucapkan oleh Yesus yang aku harapkan dapat menolong anakku.

Ingin rasanya aku lari dan pergi dari hadapan-Nya. Tapi bayangan wajah anakku yang sakit dan meraung karena roh jahat muncul di benakku. Tiba-tiba saja aku ingat banyak orang berkata Yesus sebagai rabi yang berbeda dari rabi lainnya. Dia selalu berani untuk hadir bersama orang-orang yang terpinggirkan walaupun masyarakat menganggap mereka hina. Dia tidak sungkan untuk berbicara dengan perempuan Samaria walaupun perempuan itu bukan perempuan baik-baik (Yohanes 4: 1– 42). Dia juga bersedia menyembuhkan hamba seorang perwira Romawi (Lukas 7: 1– 10). Dari ingatan ini, aku merasa Yesus bukan rabi yang rasis sekalipun sebutan “anjing” itu seolah bernada rasis terhadapku (Prior 2009). Mungkinkah Dia sedang menguji imanku, kesungguhanku dalam berharap kepada-Nya untuk kesembuhan anakku? (Lose 2012).

Terus terang aku tidak pernah tahu apa jawabannya, tetapi aku merasa tidak salah aku berharap dan memohon kepada Yesus. Aku tahu kasih-Nya tidak pernah berat sebelah kepada semua orang. Aku, seorang perempuan dari bangsa Yunani yang memiliki seorang anak yang dirasuk roh jahat, pasti tetap dikasihi-Nya. Dia pasti mendengar permohonanku. Dia pasti memperhatikan nasibku dan nasib anakku. Aura kasih-Nya begitu kuat walaupun Dia menggunakan kata “anjing” untuk menyebutku.

Entah dari mana asalnya keberanian itu muncul, aku menjawab perkataan-Nya: “Benar,Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak” (Markus 7: 28). Aku ingin Yesus mendengar bahwa aku, yang dianggap hina ini, tetap layak mendapat kasih-Nya. Aku, yang disebut “anjing,” tetap berhak memperoleh kemurahan Allah. Aku dan anakku tetap ingin menerima mujizat-Nya.

Aku tidak tahu bagaimana wajah Yesus saat aku merespon ucapan-Nya. Aku tidak berani menatap-Nya. Wajahku tetap kutundukkan pada kaki-Nya. Aku bersiap untuk menerima kemarahan-Nya sebab aku tahu jawabanku juga bukan jawaban yang sopan. Tapi aneh, Dia malah berkata bahwa anakku telah sembuh. Setan yang ada dalam diri anakku telah pergi. Semuanya karena perkataanku. Dia menganggap kata-kataku itu yang membuat-Nya mau menyembuhkan anakku. Perkataanku telah menggugah hati-Nya untuk berbelaskasihan terhadap penderitaan anakku.

Aku sungguh tidak menyangka betapa Yesus yang begitu berkuasa, terkenal, dan terhormat mau mengubah keputusan-Nya untuk menolongku dan anakku. Aku pikir disinilah sesungguhnya kemuliaan Yesus menjadi nyata. Dia tidak sungkan untuk berubah. Dia mau mendengar suaraku yang hina ini. Dia mau mengerti siapa diriku sebagai perempuan dari bangsa Yunani sekalipun Dia seorang laki-laki dariketurunan bangsa Yahudi. Dia menganggap aku dan anakku tetap berharga sebagai manusia yang berhak menerima belas kasih Allah (Lose 2012).[i] Sungguh tidak salah aku menganggap diri-Nya lebih dari seorang rabi. Dia adalah Tuhanku.

Ah, aku membayangkan betapa indahnya hidup ini apabila murid-murid Yesus yang sering berjalan bersama-Nya juga punya kebesaran hati seperti diri-Nya. Aku dan kaum perempuan tidak akan lagi terus menerus dianggap sebagai warga kelas bawah karena mereka pasti berlaku seperti Yesus yang menerima kami sebagai manusia. Aku dan saudara sebangsaku pasti akan diperlakukan layaknya saudara walaupun mereka berbeda suku bangsa dengan kami keturunan Yunani. Anakku pasti mereka perlakukan dengan kasih tanpa harus menghakimi keluargaku sebagai pendosa (Gregg 2012).

Aku sungguh-sungguh rela para murid Yesus atau orang banyak menyebutku anjing asalkan sebutan itu membawa perubahan dalam diri mereka dalam memperlakukan orang-orang yang mereka anggap hina sebagai manusia. Silakan sebut aku anjing asalkan mereka berani terbuka terhadap perbedaan dan tidak lagi berlaku semena-mena terhadap kaumku. Sebutan anjing, bagiku, bukan lagi sebuah bentuk penghinaan. Tetapi sebutan anjing menjadi panggilan perubahan paradigma bagi semua orang untuk memperlakukan sesamanya sebagai manusia ciptaan Tuhan yang berharga. Aku rela orang mengenalku sebagai perempuan Siro-Fenisia tanpa nama, dan memanggilku dengan sebutan anjing.

Bibliografi
Gregg, Carl. The Hardest Question. September 02, 2012.http://thq.wearesparkhouse.org/featured/ordinary23bgospel/ (accessed April 23, 2013).

Lose, David. Working Preacher. September 02, 2012.http://www.workingpreacher.org/craft.aspx?post=1625 (accessed April 23, 2013).

McKenzie, Alyce M. Jesus Is In the House. September 2, 2012.http://www.patheos.com/Progressive-Christian/Jesus-House-Alyce-McKenzie-09-03-2012(accessed April 22, 2013).

Prior, Andrew. One Man Web. September 09, 2009. http://onemansweb.org/theology/the-beginning—mark-1-1-15/dog-under-the-table—mark-7-24-37.html (accessed April 23, 2013).

[i] David Lose menyebutkan tindakan Yesus ini sebagai bentuk hospitalitas. Hospitalitas bukan hanya berarti memperlakukan orang asing dengan sopan dan baik; tetapi hospitalitas berarti kesediaan untuk terbuka terhadap karunia dan perspektif orang lain yang berbeda dengan kita. Ini yang dilakukan oleh Yesus terhadap perempuan Siro-Fenisia.

Kasih Sayang

0

“Ingin benar hati saya berkenalan dengan seorang anak “gadis modern’’, gadis yang berani, yang sanggup tegak sendiri, gadis yang saya sukai dengan hati jantung saya, anak gadis yang melalui jalan hidupnya dengan langkah yang tangkas, dengan riang suka hati, tetap gembira dan asyik, yang berdaya upaya bukan hanya untuk keselamatan bahagia dirinya sendiri saja, melainkan juga untuk masyarakat yang luas besar itu, yang ikhtiarnya pun akan membawakan bahagia kepada banyak sesamanya manusia”[1]

Bagi saya, luapan harapan seorang Kartini pada zamannya yang diungkapkannya melalui surat kepada Stella Zehandellar pada 25 Mei 1899 di balik tembok tebal yang mengurungnya karna harus dipingit juga adalah luapan harapan saya dan harapan banyak perempuan pada masa ini. Mungkin di antara para pembaca merasa luapan harapan saya ini berlebihan, namun sejatinya tidak berlebihan, melainkan harapan itu belum sepenuhnya mewujudnyata pada saat ini di tengah bangsa yang betapa pun banyak masalah namun tetap kita cintai, yaitu Indonesia

Ada banyak  perempuan masih jauh dari kesempatan mendapatkan pendidikan, ketrampilan, bahkan hak untuk mengambil keputusan atas kehidupannya. Atau sekalipun ada sebagian perempuan yang mendapatkan pengetahuan, ketrampilan yang baik, namun tak sepenuhnya merdeka dari segala tuntutan “menjadi wanita yang sesungguhnya, yang tahu kodrat!” Entah apa yang dimaksud dengan menjadi wanita sesungguhnya dan yang tahu kodratnya? Apakah wajib memasak, menghias diri, dan melahirkan? Sungguh itu bukan kodrat melainkan kosntruksi sosial budaya yang dibangun sejak sangat lama. Artinya peran perempuan tidak bergeser dari ruang domestik ke ruang publik, namun perannya bahkan bertambah. Berbeda dengan peran laki-laki yang lambat bertambah perannya di ruang domestik.

Pembedaan peran yang diskriminatif tersebut terjadi tidak begitu saja melainkan ada konsep kekuasaan patriarkhi yang merangsek masuk dalam nilai budaya, sosial bahkan agama dan diterima begitu saja, apa adanya sehingga dirasakan seolah tidak ada masalah. Sekalipun perempuan diberi akses di ruang publik maka tugas – tugasnya juga tak jauh dari kerja domestik, contoh kerja mengurus konsumsi ( lingkup rukun tetangga, rukun warga – dengan kegiatan PKK, juga kegiatan gereja). Bahkan perayaan Kartini juga masih sebagian kalangan merayakannya dengan pawai kebaya lengkap dengan atributnya (bukan berarti saya meremehkan kebaya dan atributnya), pengarahan kursus singkat kepribadian wanita mulai dari cara berjalan, berpakaian, bicara yang santun, yang khas wanita Indonesia – sungguh kegiatan yang tidak mencerdaskan, namun tidak mencari tahu apa substansi pergulatan, pemikiran yang bernama Kartini dan kaitannya dengan cita – cita kesetaraan yang masih perlu kita perjuangkan di bangsa yang sekalipun banyak masalah namun yang kita cintai ini yaitu Indonesia.

Mengenai pemikiran Kartini yang ia tuangkan dalam suratnya sarat dengan isi yang mencerahkan dan menggugah kita juga pada zaman ini. Kartini (demikian ia ingin disapa, tidak perlu dengan label Raden Ajeng) memiliki cita – cita agar relasi satu dengan yang lain (tua, muda, kaya, miskin, berpangkat atau tidak) berdasarkan kesetaraan, ia mendobrak pola relasi yang menyekat manusia dengan sesamanya :

“sesungguhnyalah adat sopan santun kami orang Jawa amat sukar. Adikku harus merangkak, bila hendak lalu di mukaku. Kalau ada adikku duduk di kursi, apabila aku lalu, haruslah dengan segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tiada kelihatan lagi. Tiada boleh adik – adikku berkamu dan berengkau kepadaku, hanya dengan bahasa Kromo (bahasa Jawa tingkat tinggi) boleh dia menegurku; tiap – tiap kalimat yang disebutnya, haruslah dihabisinya dengan sembah. Seram bulu, bila kita ada di dalam lingkungan keluarga Bumiputra yang berbangsa. Bercakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya harus perlahan – lahan, sehingga orang didekatinya saja yang dapat mendengar. Seorang gadis  harus  perlahan – lahan jalannya, langkahnya pendek – pendek, gerakannya lambat seperti siput layaknya. Bila agak cepat dicaci orang, disebut kuda liar. Kepada kakakku laki – laki maupun perempuan ku turuti semua adat itu dengan tertibnya, tetapi mulai dari aku ke bawah, kami langgar seluruhnyasegala adat itu” (18 Agustus 1899) [2]

Prinsip persaudaraan, kesetaraan yang diyakini oleh Kartini juga mengajak kita berjarak pada kecenderungan sebagian (semoga sebagian kecil saja) yang pola relasi cenderung kaku, penuh tingkatan berlapis atas nama status sosial, gender, agama, pendidikan, dan lainnya. Kita mendapati masih ada saja orang Indonesia yang merasa senang, nyaman dengan sekat tembok berlapis yang membatasi dirinya dengan sesamanya. Kasih sayang adalah prinsip yang mendasari relasi kita dengan semua orang, ya kasih sayang!

“sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni  (surat Kartini kepada Ny. Abendanon dari Kartini, 14 Desember 1902)[3]



[1] Kumpulan Surat R.A Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang’’ Terjemahan Armijn Pane ( Jakarta : Balai Pustaka, 1987), hlm 37

[2] Ibid. hlm 41

[3]  Melalui http://www.tempo.co/read/news/2013/04/inilah-potongan-surat-surat-Kartini (sumber penulis kutip pada Kamis, 25 April 2013, pukul 17.23 WIB)

Merawat Alam Dengan Semangat Spiritualitas Ekofeminis

0

Semakin marak disuarakan agar manusia hidup semakin selaras dengan lingkungan hidupnya melalui Komunitas Peduli lingkungan, Pemerintah (walau kurang mendapat porsi yang penting), maupun melalui pengajaran Gereja (khotbah, katekisasi, sekolah minggu – walau masih belum mendapat posisi penting dalam Gereja), namun kurang menyadari bahwa isu lingkungan hidup berkaitan dengan isu perempuan.

Pola laku manusia yang menindas alam sejajar dengan pola laku dalam masyarakat yang menindas perempuan.  Jadi ada keterkaitan antara isu feminis dan ekologis. Ekofeminisme lahir dari gerakan ekologi yang membela kehidupan alam berpadu dengan gerakan feminis yang membela kehidupan perempuan yang mengalami diskriminasi dalam budaya dan struktur sosial yang di dalamnya ada ketidakadilan gender dan ras yang dihubungkan pada ideologi eksploitasi dan degradasi lingkungan [1].

Ada beberapa faktor yang mendasar yang menurut saya sangat memengaruhi krisis ekologi dan dampaknya terhadap eksistensi perempuan dalam kesatuannya dengan alam:

  1. Pandangan dualisme manusia dan alam. Dalam pandangan ini, laki-laki dianggap sebagai manusia yang sempurna, sehingga perempuan tidak mendapat tempat dalam porsi manusia, karenanya perempuan lebih di-identikkan dengan alam. Konsekuensinya perempuan dan alam dapat dikuasainya [2].
  2. Konstruksi pemikiran hierarki patriarkhal yang sudah mapan dalam tradisi Kekristenan yang berat sebelah, yang memberikan kepada manusia penguasaan atas alam. Pandangan seperti ini merujuk pada kitab Kejadian 1-3, yang menggambarkan sebuah justifikasi Allah memberikan amanat kepada manusia (merujuk pada Adam) untuk menguasai dan menaklukkan bumi [3].

Dari kenyataan tersebut, kalangan ekofeminis melihat bahwa ada semacam struktur hierarki patriarkhal yang sangat kuat, di mana sifat maskulin diidentifikasi lebih rasional sedangkan alam tidak rasional, hanya pasif, karena fungsinya yang hanya menghasilkan. Fungsi hanya menghasilkan ini diidentifikasi sama dengan perempuan yang sifatnya pasif. Sifat pasif dilekatkan kepada perempuan dengan sistem reproduksi-nya yang melahirkan, mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, menyediakan kehidupan pangan yang tergantung pada alam.
Alam tidak hanya dipandang sebagai fungsi alat(menghasilkan), tetapi pemberi kehidupan. Prinsip tersebut adalah prinsip feminin, sama seperti Ibu yang mengandung benih kehidupan, dan melahirka nkehidupan. Jadi tidaklah berlebihan kalau alam disimbolkan sebagai Ibu. Pemahaman seperti ini bukan saja lahir dari sebuah proses identifikasi semata, melainkan ada sebuah semangat yang dibangun untuk mewakili eksistensi perempuan dengan alam. Semangat yang dibangun itu tidak lain adalah spiritualitas yang lebih holistik yang melekat pada alam yang mewakili totalitas hidup perempuan. Menurut Starhawk sebagaimana dikutip oleh Rosemarie Putnam Tong, Spiritualitas yang dimaksud adalah spiritualitas yang Earth Based (berbasis bumi) [4]:

  1. Spiritualitas yang immanence. Allah (Goddess: juga memaknai Allah sebagai Ibu); Allah yang hadir dalam dunia, dalam manusia dan dalam karya ciptaan-Nya. Kekuasaan-Nya bukan kekuasaan yang mendominasi.
  2. Spiritualitas Interconnection. Saling keterhubungan antara seluruh keberadaan kita sebagai manusia di mana tubuh dan jiwa menyatu yang di dalamnya ada kesetiaan, cinta, bela-rasa, intelektualitas, itu juga merupakan bagian dari alam. Kita dengan alam sejatinya saling terhubung satu dengan yang lain, tidak terpisah. Kita adalah bagian dari alam ini.
  3. Spiritualitas Compassionate. Sikap hidup yang berbela rasa, mencintai, dan merawat. Dengan sikap hidup demikian kita ikut serta dalam proses merajut bersama sebuah kehidupan yang baru.

Spiritualitas Ekofeminis dapat menjadi landasan gerakan lingkungan hidup berbasis perempuan, namun tidak terjebak pada mengembalikan perempuan pada anggapan kodrat “ya kalau demikian tugas menjaga, merawat adalah tugas perempuan saja” yang melemahkan perempuan. Yang seharusnya mendapat perhatian adalah cara berpikir Ekofeminis dimana Spiritualitas Ekofeminis menjadi semangat untuk mengajak kita melihat adanya pola relasi yang menindas dalam wacana lingkungan hidup yang berdampa kpada ketidakadilan dalam relasi dalam masyarakat.

Spiritualitas Ekofeminis menjadi semangat dasar kita sebagai manusia untuk berjuang merawat alam ini demi keberlangsungan bumi berdasarkan kesadaran feminis. Dengan demikian maka keberlanjutan bumi, ketersediaan energi, terciptanya relasi yang setara dalam masyarakat menjadi niscaya.

[1] Rosemary Radford Ruether, Gaia and God, hlm. 2. Lihat juga Noel Sturgeon, Ecofeminist Natures: Race, Gender, Feminist Theory and Political Action, (London: Routledge 1997), hlm. 23.
[2] Anne Primavesi, From Apocalypse to Genesis: Ecology, Theology and Christianity, (Minneapolis: Fortress Press, 1991), hlm. 48.
[3] Rosemary Radfort Ruether,  Sexism and God – Thought, (London: SCMPress, 1983), hlm. 65.
[4] Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought :  A More Comprehensive Introduction, (Colorado: Westview Press, 1998), hlm. 262.

Allah yang Tak Bersuara dan Allah yang Bersuara

0

12381_450270481714815_887052601_nNamanya Livia Pavita Soelistio. Usianya 20 tahun. Dia mahasiswa Universitas Bina Nusantara. Di angkot, dia mengalami peristiwa yang tak seorang pun ingin mengalaminya. Sekelompok pria memperkosanya dengan sadis (Asril 2011). Begitu keras dia berteriak malam itu, tetapi tak ada orang yang mendengar termasuk para pemerkosanya. Berulang kali dia memohon belas kasihan, namun hati nurani para pelaku sudah dingin dan beku. Akhirnya Livia membisu. Dia tidak lagi bersuara. Dia tidak bisa lagi berteriak kecuali membiarkan dirinya terbuang ke selokan di daerah Cisauk, Tangerang. Livia tidak bisa lagi membela dirinya. Livia tak punya kesempatan untuk bersuara. Dia hanya diam. Dia tak lagi bersuara.

Kisah Livia bukan yang pertama dan terakhir di Indonesia maupun dunia. Beberapa hari terakhir media massa kita menyuguhkan juga kisah perkosaan massal terhadap seorang gadis berinisial ESR yang dilakukan oleh sekelompok pria. Saya menduga kisah itu hanya sebagian kecil dari begitu banyak kisah perkosaan massal yang terjadi pada diri perempuan. Mengapa hanya sedikit yang diberitakan? Mengapa begitu kecilnya jumlah kasus perkosaan diperkarakan?

Saya ingat tragedi Mei 1998. Begitu banyaknya korban perkosaan massal atas diri para perempuan etnis China. Namun kisah itu larut begitu saja. Bahkan pemerintah awalnya mengatakan tidak ada korban yang melaporkan kekerasan seksual atas diri mereka. Jadi berita itu hanyalah berita omong kosong. Masalahnya adalah minimnya laporan kekerasan seksual atas perempuan terjadi karena para korbandan keluarga tidak bersuara. Mereka tak bersuara bukan karena mereka tidak mau bersuara, melainkan mereka tidak mampu bersuara. Penderitaan, rasa malu, kehilangan harga diri, putus asa menjadi bagian dari hidup mereka. Dalam tulisannya yang berjudul “Clara,” Seno Gumira Ajidarma melukiskan beban penderitaan sang korban(Ajidarma 2007):

Dia bercerita dengan bahasa yang tidak mungkin dimengerti. Bukan karena bahasa Indonesianya kurang bagus, karena bahasa itu sangat dikuasainya, tapi karena apa yang dialami dan dirasakannya seolah-olah tidak terkalimatkan. Wajahnya yang cantik sarat dengan luka batin yang tak terbayangkan. Aku hampir-hampir terharu bahkan sebelum dia bercerita. Tidak pernah bisa kubayangkan bahwa manusia bisa mengalami beban penderitaan seberat itu justru karena dia lahir sebagai manusia. Ceritanya terpatah-patah. Kalimatnya tidak nyambung.

Kebisuan para korban dan keluarga bukan hanya disebabkan karena beban penderitaan, tetapi masyarakat kita pun kadang ikut mempersalahkan mereka. Ungkapan-ungkapan seperti “si korban terlalu genit; dandan berlebihan; memakai pakaian yang seksi dan seronok” memperlihatkan proses pembungkaman terhadap kebenaran. Bukannya membela dan berjuang melawan kekerasan, masyarakat datang menjadi hakim bagi para korban dan pembela bagi para pelaku. Tidak heran lingkaran kekerasan sulit diputuskan dalam kehidupan kita.

Dalam Alkitab tercatat pula peristiwa kejam, perkosaan massal, terhadap seorang perempuan tanpa nama. Hakim-hakim 19: 1 – 30 menjadi kisah keji dan sadis. Seorang gundik dari seorang Lewi diperkosa beramai-ramai oleh sekelompok orang dari suku Benyamin di Gibea. Kebisuan muncul dalam kisah ini. Sang gundik tidak mampu bersuara karena dirinya akhirnya tidak lagi bernyawa. Dia tidak punya kesempatan untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya. Kalaupun hidup, sebagai perempuan yang hidup dalam dunia patriakhal dan statusnya sebagai gundik, dia tidak berhak untuk bersuara. Dia harus menerima kekerasan yang dialaminya tanpa pembelaan.

Kebisuan juga menjadi milik sang suami. Bahkan kebisuan sang suami, yang berasal dari suku para pemuka agama Yahudi, sebenarnya telah menjadikannya sebagai pelaku kekerasan. Pertama, sang suami yang sengaja menyerahkan si perempuan kepada para penjahat demi menyelamatkan dirinya sendiri (ay. 25). Kedua, sang suami sengaja memutilasi tubuh isterinya agar mendapatkan pembelaan dari saudara sebangsanya (ay. 29). Ketiga, si suami menutupi kebenaran bahwa dirinya terlibat dalam kasus kekerasan terhadap isterinya. Dia hanya melaporkan kejahatan para pemerkosa, sedangkan dia sendiri tidak bercerita bahwa dia menyerahkan isterinya untuk diperkosa (Hakim 20: 5).

Sarah Jobe menafsir teks ini sebagai teks yang tidak mudah untuk dikhotbahkan. Masalahnya teks ini memperlihatkan Allah yang absen dalam peristiwa kejam ini. Allah tidak muncul dalam kasus ini. Tidak seperti biasanya, Allah tidak diceritakan hadir membela si perempuan dan menghukum para pelaku maupun suaminya. Allah seolah membiarkan peristiwa ini terjadi. Allah tak bersuara (Jobe 2010).

Kita harus mengakui bahwa kadang kita dibingungkan dengan berbagai peristiwa pahit yang terjadi di sekitar kita. Pertanyaan “Di mana Allah saat peristiwa itu terjadi?” “Mengapa Allah membiarkan kekejaman ini harus teralami oleh para korban perkosaan massal?” barangkali muncul dalam benak kita bahkan mengganggu iman kita untuk mempercayai Allah yang peduli pada derita manusia.

Choan Seng Song, teolog Taiwan, menggambarkan Allah sebagai Allah yang diam dalam konteks penderitaan seorang misionaris yang teraniaya saat memberitakan Injil ke Jepang. Song memakai kata “Sabui” untuk menjelaskan konsep Allah yang diam dalam konteks Asia. “Sabui” menggambarkan Allah yang menangis dalam penderitaan bersama para korban. Saat Allah diam karena menangis, inilah kekuatan bagi para korban untuk melewati penderitaannya (Song 1991). Allah yang tak bersuara bukan Allah yang absen. Dalam bahasa Song, Allah yang tak bersuara adalah Allah yang ada bersama para korban.

Satu catatan akhir yang menarik dari kisah kekerasan di Gibea dalam Hakim-hakim 19 terletak di ayat 30. Ketika orang-orang Israel melihat tulang-tulang si perempuan yang dipotong dan dikirim kepada seluruh daerah orang Israel, ada komentar yang sangat penting. Pada bagian akhir komentar tercatat: “Perhatikanlah itu, pertimbangkanlah, lalu berbicaralah!” Kalimat-kalimat ini begitu menggugah. Peristiwa kekerasan di Gibea tidak begitu saja hilang karena kebisuan para pelaku maupun sang suami. Penduduk Israel bersuara dan bertindak sebagai bentuk kepedulian terhadap korban. Peristiwa ini melukai pula nurani penduduk Israel sebagai saudara sebangsa si korban.

Mutiara Andalas dalam tulisannya yang berjudul “Clara: Aku Bukan Asu” menggambarkan Allah yang hadir dalam diri korban adalah Allah yang kehidupan yang bersuara. Allah yang bersuara ini mengajak kita untuk hadir dalam jejaring perjumpaan dengan para korban kekerasan dan bersuara untuk membela mereka (Andalas 2008):

Allah menjumpai Clara, representasi pribadi dan komunitas yang mengalami ancaman kematian dini, sebagai Allah kehidupan. Ia mengundang kita untuk menyediakan tempat peristirahatan sementara bagi warga Indonesia etnis Cina yang hidup dalam ketakutan pasca-tragedi. Allah juga memanggil kita untuk mengunjungi para korban perkosaan massal dan membela kasus mereka demi keadilan. Ia mengundang kita untuk menamai illah-illah anti-kehidupan di Indonesia yang menyerang kehidupan pribadi atau komunitas yang tak bersalah. Kita harus menolak illah diskriminasi rasial yang menggagahi kemanusiaan warga Indonesia etnis Cina dalam tragedi Mei 1998.

Dari berbagai peristiwa kekerasan terhadap perempuan yang kita jumpai sehari-hari, apa yang sesungguhnya ingin kita katakan tentang Allah? Refleksi ini dengan jelas mau menggambarkan Allah tidak absen dalam derita para perempuan, korban kekerasan. Saat Allah tak bersuara, Dia hadir bersama dengan para korban dan keluarga yang menangis di tengah penderitaannya. Allah juga menangis. Allah sedang menyusuti air mata mereka.

Pada saat bersamaan, Allah juga sedang bersuara. Dia menggerakkan kita menjumpai para korban untuk berjuang menyuarakan kebenaran dan keadilan. Inilah panggilan kita sebagai pengikut Kristus. Kita dipanggil bukan sebagai “sang penyaksi”dalam bahasa Elie Wiesel [i]. Tetapi kita dipanggil sebagai pembela dan pejuang kebenaran dan ketidakadilan melawan kekerasan terhadap perempuan. Mari kita bersuara!

[i] Joas Adiprasetya menceritakan kisah dalam buku Elie Wiesel yang berjudul “The Town Beyond The Wall.” Joas menuliskan: “Tokohnovel ini bernama Michael, seorang survivor tragedi Holocaust, yang melakukan perjalanan berbahaya ke kota asalnya di Hungaria. Apa yang hendak dicarinya, setelah pengalaman mengerikan di Holocaust itu? Wiesel menulis, Michael, dengan cara yang aneh, memahami kebrutalan para penyiksa dan penjaga penjara, namun apa yang menghantuinya dan apa yang sungguh-sungguh membuat ingin kembali ke kota asalnya adalah sesuatu yang tak dapat dipahaminya. Ada seorang pria yang tinggal di seberang jalan di depan Sinagogenya. Pria ini mengintip lewat tirai jendelanya, hari demi hari, sementara ribuan orang Yahudi diarak ke dalam gerbong kereta maut. Ia menampilkan wajah tanpa belas kasihan, tanpa rasa senang, tanpa kejutan, dan bahkan kemarahan atau minat. Impassive, dingin, impersonal…. Menjadi orang yang tak acuh, untuk alasan apa pun, berarti menolak keabsahan keberadaan kita, namun juga keindahannya. Berkhianatlah dan engkau tetap seorang manusia, siksalah sesamamu, engkau masih seorang manusia. Kejahatan adalah manusiawi. Kelemahan adalah manusiawi. Ketidakacuhan samasekali tak manusiawi” (Adiprasetya 2007).

BIBLIOGRAFI:

Adiprasetya, Joas. Gereja Kristen Indonesia Pondok Indah. 27 November 2007.http://gkipi.org/tujuh-dosa-yang-mematikan-seven-deadly-sins/ (diakses April 10, 2013).
Ajidarma, Seno Gumira. Dunia Sukab. 14 April 2007.http://duniasukab.com/2007/04/14/clara-atawa-wanita-yang-diperkosa/ (diakses April 10, 2013).
Andalas, Mutiara. Teologi Kemanusiaan Kontemporer Indonesia. 28 Februari 2008.http://theologianatcalvary.blogspot.com/search/label/Teologi%20Kemanusiaan (diakses April 10, 2013).
Asril, Sabrina. Livia Ternyata Diperkosa Bergilir. Disunting oleh Glori K. Wadrianto. PT. Kompas Gramedia. Jakarta, 5 September 2011.
Jobe, Sarah. WorkingPreacher.org. 12July 2010.http://www.workingpreacher.org/texts.aspx?article_id=366 (diakses April 10, 2013).
Song, Choan Seng. Third-Eye Theology. New York: Orbis Book, 1991.

Paska dan Rok Mini

0

Ada dua peristiwa besar di Bulan April. Pertama, umat Kristiani memperingati dan merayakan Paska atau kebangkitan Kristus. Kedua, bangsa kita memperingati dan merayakan Hari Kartini sebagai ingatan kita bagi perjuangan emansipasi kaum perempuan. Tulisan ini adalah buah refleksi dari dua peristiwa tersebut, sekaligus catatan kritis tentang tubuh perempuan dan karya Kristus yang membebaskan manusia.

Setahun yang lalu muncul berita-berita dari media yang melaporkan tentang Dewan Kehormatan DPR yang membuat hukum tentang pelarangan anggota perempuan dewan dan staf perempuan anggota dewan untuk menggunakan rok mini. Alasannya rok mini menjadi penyebab kasus pemerkosaan dan kasus kekerasan di kalangan perempuan. Bagi saya, alasan ini sungguh mengganggu. Alasan tersebut tidak hanya karena berita tentang aturan. Beberapa bulan sebelumnya dua pejabat daerah menanggapi kasus-kasus pemerkosaan terhadap beberapa perempuan di angkutan umum. Dua pejabat tersebut mengatakan di depan umum bahwa perempuan mengenakan rok mini menjadi penyebab perkosaan. Pernyataan ini mengganggu saya karena saya merasa hak asasi saya dan perempuan lain sebagai perempuan telah tertindas.

Pertama, pernyataan tersebut menindas kebebasan perempuan terhadap tubuhnya sendiri. Perempuan tidak bisa memakai pakaian apa yang mereka suka hanya karena pria tergoda gairah seksualnya melihat wanita yang memakai rok mini. Kedua, pernyataan ini menjadikan korban perkosaan “telah jatuh terimpa tangga.” Seolah pelaku pemerkosaan dimaklumi perbuatannya sementara korban disalahkan karena pakaiannya yang menggoda. Mariana Amiruddin, dalam Jurnal Perempuan, menyatakan bahwa laporan yang menyalahkan perempuan yang berpakaian seksi sebagai penyebab pemerkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Dalam masyarakat patriakhat, termasuk Indonesia, sering terjadi penindasan perempuan. Penindasan perempuan secara fisik dan mental bisa dilakukan oleh siapa saja bahkan oleh sistem masyarakat. Ketika penindasan terhadap perempuan terjadi berarti bahwa perempuan tidak menjadi subjek sebaliknya perempuan menjadi obyek untuk orang lain. Oleh karena itu siapa pun yang menganggap perempuan sebagai obyek, baik disadari atau tidak, dapat mendominasi dan memanipulasi perempuan. Saya mengutip Zarden Aris yang menulis tentang pikiran Simone de Beauvoir dalam salah satu media:

“Perempuan selalu di bawah pria, rendah, bawahan dan terasing. Beauvoir menyebut situasi perempuan itu sendiri sebagai “yang lain.” Gagasan perempuan sebagai “yang lain” timbul karena perempuan tidak pernah mendapatkan kedudukan yang sama dengan pria. Perempuan didefinisikan sebagai “Utero” atau rahim. Di mata budaya patriakat perempuan hanya fungsi sebagai rahim yang melahirkan, tidak lebih dari itu. Definisi ini ditemukan Beauvoir ketika ia bertanya “Siapakah perempuan itu?” Untuk Beauvoir ketika seorang perempuan hanya dipahami dan diartikan sebagai rahim, wanita itu ada objek yang berbeda. “

Paska selalu mengandung berita pembebasan manusia dari penindasan dosa. Allah sendiri melakukan pembebasan untuk manusia melalui kematian dan kebangkitan Kristus. Kebangkitan Kristus juga merupakan kabar baik bagi pembebasan perempuan tertindas. Kebangkitan Kristus pertama kali terlihat oleh perempuan seperti yang dilaporkan oleh keempat Injil. Kita bisa melihat bahwa perempuan memiliki posisi penting dalam kisah Paskah.

Injil Markus menulis Paskah dan cerita wanita dengan sangat menarik. Marie Sabin menafsirkan Markus 16: 1-8 dengan menggunakan bahasa simbol. Dalam ayat 5 tertulis bahwa ketiga perempuan itu “… melihat seorang muda yang memakai jubah putih duduk di sebelah kanan.” Sabin mengatakan bahwa “mengenakan jubah putih dan duduk di sisi kanan” merupakan ciri dari penulis Markus untuk menunjukkan transformasi yang dilakukan Kristus. Cerita-cerita tentang Yesus mengusir roh jahat dan transfigurasi Yesus selalu menggunakan simbol yang sama untuk menunjukkan transformasi.

Sabin menambahkan catatan tentang transformasi dengan mengeksplorasi perasaan ketiga perempuan setelah mendengar berita Paska. Dalam ayat 8 disebutkan, “Lalu mereka keluar dan lari meninggalkan kubur itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapapun juga karena takut.” Sabin menafsirkan perasaan takut, gentar dan dasyat bukanlah perasaan takut biasa atau takut seperti melihat hantu atau takut disakiti. Sebaliknya merasa perasaan itu timbul sebagai akibat dari rasa kagum, takjub melihat transformasi yang Yesus lakukan bagi mereka. Dengan menarik Sadin mengganti kata-kata takut itu dengan rasa takut yang mengandung nilai ilahi atau transenden. Dia menggunakan kata-kata “numerous fear,” “ecstasy” dan “awe” untuk menggambarkan ketiga perasaan tersebut.

Perasaan-perasaan itu, menurut Sabin, menunjukkan bahwa para perempuan menyambut transformasi yang terjadi dalam hidup mereka melalui kebangkitan Kristus. Perasaan-perasaan tersebut adalah tanda hidup baru mereka sebagai murid Kristus pasca kebangkitan. Oleh karena itu penulis Markus melanjutkan kisahnya tentang para perempuan yang memberitakan kebangkitan Kristus kepada murid-murid yang lain dan Petrus.

Hari ini kembali kita merayakan Paskah. Paskah mengingatkan kita akan transformasi yang Yesus lakukan kepada seluruh makhluk. Yesus, menurut Markus, adalah Yesus yang menempatkan para perempuan sebagai subyek, bukan lagi obyek bagi sesamanya. Hal ini menunjukkan Yesus membawa transformasi bagi kaum perempuan maupun kaum lelaki.

Perempuan harus membebaskan dirinya dari perasaan sebagai objek. Beauvoir, seperti yang dikutip Zarden, melihat bahwa “ketika perempuan masih dalam keadaan tertindas maka ia akan tetap dan selalu menjadi objek. Menjadi objek dengan sendirinya menjadi budak dari laki-laki, teralienasi dan tidak akan mampu mentransendensi diri. Satu-satunya cara yang harus dilakukan perempuan adalah dengan membebaskan diri dari penindasan.” Beauvoir mengatakan bahwa perempuan menjadi subjek artinya dia harus menjadi pribadi yang sadar akan eksistensinya sebagai perempuan. Perempuan mengalami transformasi ketika dia menjadi pribadi yang bebas dan menghargai tubuhnya sendiri. Kesadaran inilah yang harus dibangkitkan dalam diri para perempuan. Yesus membangkitkan “kesadaran” tersebut melalui peristiwa Paska.

Yesus yang bangkit, menurut Markus, adalah Yesus yang “male feminist” – laki-laki yang berpihak dan menghargai para perempuan. Paska adalah transformasi bagi kaum pria untuk menjadi “male feminist,” panggilan untuk berpihak pada kaum perempuan yang tertindas, panggilan untuk menghargai kaum perempuan sebagai subjek, panggilan untuk melakukan perubahan untuk menghormati hak-hak perempuan. Dengan demikian tidak ada lagi laki-laki yang mengatakan bahwa rok mini adalah penyebab tindak perkosaan terhadap perempuan. Tidak ada lagi laki-laki yang melakukan kekerasan terhadap perempuan. Yang ada adalah para lelaki menaruh empati besar kepada para perempuan korban pemerkosaan.

Semoga Paska tahun ini mengajak kita untuk menyambut transformasi hidup melalui pembebasan bagi kaum perempuan yang tertindas. Paska memanggil kita untuk menyambut transformasi yang telah Yesus lakukan melalui kebangkitan-Nya. Selamat Paskah. Selamat Hari Kartini. Selamat Berjuang demi hak asasi manusia. Selamat menjadi agen perubahan hidup.

- Advertisement -

Artikel Terkini