Beranda blog Halaman 89

WCC: Gereja-gereja Sedunia memperingati Minggu Perdamaian bagi Palestina – Israel

0

11 September 2013

World Council of Churches (WCC) mengundang gereja-gereja anggota, organisasi-organisasi keagamaan, serta segenap masyarakat untuk iktu memperingati Minggu Perdamaian Sedunia bagi Palestina-Israel pada tanggal 22 – 28 September, dengan menaikkan doa, melaksanakan kegiatan, serta menyuarakan keadilan dan perdamaian di Palestina.

Sebuah inisiatif dari Forum Ekumenis Palestina-Israel (Palestine Israel Ecumenical Forum/PIEF), Minggu Perdamaian Sedunia bagi Palestina-Israel adalah sebuah seruan untuk menghentikan okupasi ilegal Israel terhadap tanah Palestina, menekankan pentingnya keadilan dan perdamaian bagi setiap insan.

Tema untuk minggu doa tahun ini adalah “Yerusalem, kota keadilan dan perdamaian”.

Tema ini sejajar dengan visi dokumen Kairos yang diterbitkan pemimpin-pemimpin Kristen Palestina pada tahun 2009. Dokumen ini menyatakan bahwa Yerusalem adalah sebuah kota yang “dihuni oleh dua masyarakat dengan tiga agama, dan di atas visi kenabian ini serta perjanjian-perjanjian internasional terkait totalitas Yerusalem inilah setiap pemecahan politis harus didasarkan”.

Individu, kelompok maupun jemaat-jemaat yang ikut memperingati Minggu Perdamaian Sedunia 2013 akan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan khusus yang mengajak setiap orang beriman untuk berdoa bersama-sama gereja-gereja yang hidup dalam okupasi, dengan sebuah doa khusus dari Yerusalem dan juga bahan-bahan lain yang telah disiapkan untuk peringatan minggu itu.

Minggu ini juga mengajak untuk melakukan aksi pendidikan mengenai kenyataan hidup di wilayah tersebut, terutama bagi mereka yang terhubung dengan kota Yerusalem. Tindakan advokasi yang menekankan ketetapan-ketetapan ekumenis untuk menghasilkan keadilan dan perdamaian antara pemimpin-pemimpin politik juga sangat disarankan.

Sebagai bagian dari Minggu Perdamaian Sedunia bagi Palestina-Israel tahun 2012 kemarin, gereja-gereja di paling sedikit 25 negara di seluruh dunia mengirimkan pesan yang jelas kepada para pembuat keputusan, kelompok-kelompok masyarakat, dan jemaat-jemaat mereka mengenai pentingnya perjanjian damai yang menghentikan okupasi ilegal dan memastikan hak-hak dan masa depan masyarakat Palestina maupun Israel.

“Minggu Perdamaian Sedunia di Palestina-Israel menekankan pemahaman bahwa keadilan antara Palestina dan Israel merupakan keharusan yang mendesak,” kata John Calhoun, penyelenggara Minggu Perdamaian Sedunia di Palestina-Israel.

“Minggu ini akan menyatukan suara-suara yang mendesak pemimpin-pemimpin dunia untuk meminta Israel mematuhi resolusi Dewan Keamanan PBB dan menghentikan okupasi ilegalnya di wilayah Palestina. Kita ingat juga bagaimana November 2012, Sidang PBB memutuskan menerima Palestina sebagai negara pengamat non-anggota. Keputusan ini memberikan semangat kepada kami dalam persiapan untuk minggu perdamaian ini,” tambahnya.

Informasi lebih lanjut mengenai Minggu Perdamaian Sedunia di Palestina-Israel [ENG]

WCC: Surat Terbuka kepada Dewan Keamanan PBB untuk Suriah

0

4 September

Kepada yang terhormat, para anggota Dewan Keamanan PBB,

Gereja-gereja di seluruh dunia berdoa dan berharap agar tidak terjadi peningkatan serangan dalam peperangan di Suriah melalui serangan dari luar. Dalam diskusi dengan perwakilan-perwakilan gereja-gereja anggota dan, pada beberapa hari terakhir dengan pemimpin-pemimpin gereja Timur Tengah di Amman, Yordania, pada sebuah konferensi untuk menganalisa tantangan yang dihadai orang-orang Kristen Arab di Timur Tengah, kami menjadi semakin prihatin mengenai adanya bukti-bukti penggunaan senjata kimia di Suriah dan adanya kemungkinan serangan balik terhadap negara tersebut.

Meskipun kami mengutuk segala penggunaan senjata kimia, kita harus berusaha sedapat mungkin untuk memadamkan api peperangan, dan bukan memberinya amunisi dengan senjata-senjata yang semakin mematikan. Kejahatan menggunakan senjata kimia haruslah diselidiki dan ditindak sepenuhnya.

Namun, sebuah serangan dari luar Suriah hanya akan menambah penderitaan dan meningkatkan kekerasan sektarian, yang mengancam setiap komunitas dalam negara tersebut, termasuk orang-orang Kristen. Pada waktu kritis ini, orang-orang di Suriah dan Timur Tengah membutuhkan perdamaian dan bukan peperangan. Senjata-senjata dan tindakan-tindakan militer tidak dapat menghasilkan perdamaian di Suriah. Kebutuhan yang mendesak adalah agar dunia memastikan bagaimana menjamin keamanan dan melindungi penduduk Suriah. Tidak ada cara lain menuju keadilan dan perdamaian yang dapat bertahan lama selain kerja keras yang harus dilakukan oleh pihak-pihak baik di dalam maupun di luar negeri ini untuk menemukan solusi politik yang dapat disetujui bersama. Semua orang yang beritikad baik haruslah mengesampingkan perbedaan pendapat dan kepentingan kita agar dapat mengakhiri konflik bersenjata di Suriah secepat mungkin. Merupakan tanggung jawab komunitas internasional untuk bertindak saat ini juga untuk melakukan apapun yang dimungkinkan untuk menemukan pemecahan nirkekerasan yang akan mengarah pada perdamaian yang abadi. Secara khusus kami mendorong pemerintah Amerika Serikat dan Rusia untuk menggunakan waktu dalam pertemuan mereka yang akan datang untuk mencapai kesepakatan kontribusi terhadap sebuah proses politis yang damai dan adil bagi Suriah.

Tidak ada serangan militer maupun intervensi yang akan menyelesaikan krisis di Suriah. Tindakan seperti itu justru dapat semakin meningkatkan level ketegangan dan tekanan terhadap masyarakat pada umumnya. Beberapa kelompok tertentu, termasuk orang-orang Kristen, bahkan akan menghadapi risiko yang lebih tinggi. Mengingat tidak adanya dasar hukum bagi intervensi di Suriah, seperti misalnya hak untuk membela diri berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB atau sebuah resolusi Dewan Keamanan PBB yang dapat mengesahkan serangan, menyebutkan intervensi kemanusiaan sebagai dasar hukum tidaklah cukup memadai.

Kami bergabung bersama seruan Paus Fransiskus untuk berdoa dan bertindak untuk perdamaian di Suriah, khususnya pada hari Sabtu, 7 September.

Pdt. Dr. Olav Fykse Tveit
Sekretaris Umum WCC

Semakin Berhikmat Supaya Semakin Bermakna dan Semakin Bermanfaat

0

Pesan Pastoral
Hari Ulang Tahun ke-25 Gereja Kristen Indonesia
26 Agustus 1988 – 26 Agustus 2013

“Karena oleh hikmat umurmu diperpanjang, dan tahun-tahun hidupmu ditambah”
(Amsal 9:11)

Setiap anggota jemaat dan simpatisan GKI yang kami kasihi!

Pada Agustus 2013 ini, bukan hanya negara kita, Republik Indonesia, bertambah usia menjadi 68 tahun, tetapi juga gereja kita, Gereja Kristen Indonesia, bertambah usia menjadi 25 tahun, atau seperempat abad.

Setiap kali berulang tahun, selalu ada harapan, agar jangan hanya usia kita, tetapi juga hikmat kita bertambah. Seperti kata penulis Amsal, “Karena (jangan hanya oleh kodrat, tetapi juga biarlah) oleh hikmat umurmu diperpanjang, dan tahun-tahun hidupmu ditambah” (Ams 9:11). Hikmat itu dekat dengan segala yang baik, benar dan adil, atau hal-hal yang menjadi kesukaan Allah. Ia berlawanan dengan kebodohan atau hikmat duniawi (1 Kor 3:19; 2 Kor 1:12) yang dekat dengan segala yang jahat, salah dan batil, atau hal-hal yang mengundang murka Allah. Jika hikmat bertambah seiring dengan usia yang bertambah, hidup kita pun menjadi semakin berarti, tidak sia-sia dan menyenangkan Allah. Sebab, hidup kita menjadi semakin baik, benar dan adil. Sebaliknya, jika kebodohan yang bertambah, hidup kita malah menjadi semakin kehilangan arti, sia-sia dan mengundang murka Allah. Sebab, hidup kita menjadi semakin jahat, salah dan batil.

Hidup berhikmat memang tak lain dari hidup yang mau dituntun oleh Allah. Sebab, hikmat itu sangat dekat – jika bukan identik (Yes 11:2) – dengan Allah. Ia adalah pemberian Allah (1 Raj 4:29; Ayb 12:13; Maz 51:8; Ams 2:6; Dan 2:23; Yak 1:5; dlsb). Allah menuntun kita dengan hikmat-Nya, melalui firman-Nya, yang tertulis (yaitu Kitab Suci, 2 Tim 3:15), yang tidak tertulis (yaitu perkataan orang benar, Maz 37:30; Ams 10:31), yang menjadi manusia (yaitu Yesus, Kol 2:3), dan melalui sejarah atau pengalaman hidup kita manusia (Ams 1:20), terutama yang menyesakkan hati (Pkb 1:18). Karena itu, tepatlah jika dalam usianya yang ke-25 ini, sebagai Gereja Kristen Indonesia, kita bukan hanya mengingat ulang hikmat Tuhan yang sejauh ini telah menuntun perjalanan hidup kita, tetapi kita juga terus membuka diri terhadap tuntunan hikmat-Nya dalam perjalanan hidup kita ke depan, dengan segala permasalahan dan tantangannya.

Dalam usianya yang ke-25, sebagai Gereja Kristen Indonesia, kita diingatkan oleh hikmat-Nya, bahwa kesatuan kita sebagai tubuh Kristus adalah suatu conditio sine qua non, suatu hal yang mutlak dan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Itu adalah kehendak Allah dalam Kristus (“supaya mereka semua menjadi satu”, Yoh 17:21). Itu juga adalah sumbangsih kita bagi kesatuan kita yang lebih luas dengan gereja-gereja, baik di aras nasional (PGI), maupun di aras internasional (DGI). Itu pun syarat bagi kita untuk mampu dan lebih mampu menghadapi pelbagai tantang yang semakin hari semakin besar, baik yang bersifat nasional, maupun yang bersifat global.

Keterpisahan dan keterpecahan bukan hanya akan melemahkan, tetapi juga melumpuhkan kemampuan kita sebagai gereja. Hal ini sangat perlu dan penting selalu kita ingat, karena dari tahun ke tahun, kesatuan kita selalu diuji oleh roh primordialisme dan sektarianisme yang ada di dalam diri kita sendiri. Selalu ada di antara kita sendiri yang cenderung mau berjalan sendiri dan tidak mau berjalan bersama-sama atau ber-sun-hodos lagi, bahkan mau memisahkan diri. Kita harus menyadari bersama, jika sungguh terjadi, hal itu bukan hanya dapat menjadi suatu noda terhadap komitmen kesatuan kita, tetapi juga hal itu dapat menjadi suatu dosa terhadap tubuh Kristus, bahkan kepada Kristus sendiri!

Dalam usianya yang ke-25, sebagai Gereja Kristen Indonesia, kita juga diingatkan oleh hikmat-Nya, bahwa kesatuan kita bukanlah sesuatu yang mudah, apa lagi yang murah. Selalu ada harga yang sepadan dan yang harus dibayar untuk mengikut Kristus (“Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku”, Mat 16:24). Demikian juga untuk mengikuti kehendak-Nya (“menjadi satu”, Yoh 17:21). Komitmen kita kepada kesatuan GKI menuntut pengorbanan, di antaranya: identitas, kebanggaan, kebebasan, kekayaan, warisan sejarah, dlsb. Tanpa pengorbanan, kita tidak mungkin menjadi gereja yang setia kepada tugas panggilan-Nya. Kita hanya akan melanjutkan sejarah lama gereja, bahkan jemaat kita masing-masing dalam bingkai kesatuan Gereja Kristen Indonesia, tetapi sulit – jika bukan mustahil – untuk menciptakan sejarah baru kita bersama yang satu sebagai Gereja Kristen Indonesia.

Dalam usianya yang ke-25, sebagai Gereja Kristen Indonesia, kita pun diingatkan oleh hikmat-Nya, bahwa Tuhan menghendaki agar keberadaan kita biarlah semakin bermakna (signifikan) dan semakin bermanfaat (relevan), bukan hanya ke dalam, tetapi ke juga luar diri kita, kepada masyarakat, bangsa dan negara. Kita dipanggil Tuhan untuk menaruh masyarakat, bangsa dan negara kita di hati kita, supaya pada gilirannya mereka pun akan terpanggil untuk menaruh kita, gereja-Nya, di hati mereka.

Pelbagai persoalan saat ini menantang, dan memberi peluang kepada kita untuk menjadi semakin bermakna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara. Di antaranya:

  • Orang miskin yang bertambah jumlahnya (menjadi 40 juta jiwa berdasarkan perhitungan internasional yaitu pengeluaran Rp 7.800,-/hari), sementara penghasilan 40 orang terkaya setara dengan pendapatan 60 juta orang paling miskin;
  • Moralitas bangsa dan terutama pemimpin bangsa yang semakin bangkrut sehingga memberi ruang bagi pelanggaran hukum, kekerasan dan korupsi yang semakin merajalela di segala bidang kehidupan;
  • Pendidikan, khususnya pendidikan menengah dan tinggi, yang tidak terjangkau dan kurang berkualitas, sehingga memperkecil harapan bagi terciptanya kelas menengah yang berkualitas untuk pembaruan kehidupan bersama ke depan;
  • Pancasila yang tidak lagi dihayati bersama sebagai dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara;

Harapan besar yang digantungkan pada Pemilihan Umum 2014 untuk dapat melahirkan dan menghadirkan seorang pemimpin yang berintegritas, yang berorientasi kepada penyelesaian masalah dan kepada kesejahteraan rakyat.

Akhirnya, sambil menaikkan segala syukur, puji dan hormat kepada Allah dalam Kristus yang dengan hikmat-Nya telah memimpin perjalanan hidup kita sebagai Gereja Kristen Indonesia selama 25 tahun, marilah kita mantapkan komitmen kita untuk terus berjalan ke depan, dalam langkah-langkah yang semakin satu dan semakin berhikmat, supaya keberadaan Gereja Kristen Indonesia dapat menjawab pelbagai tantangan yang ada di hadapannya. Dengan demikian, ia sungguh-sungguh dapat dirasakan semakin bermakna dan bermanfaat bagi kita sendiri, masyarakat, bangsa dan negara kita Indonesia.

“Selamat berhari-ulang-tahun ke-25 kepada setiap anggota jemaat dan simpatisan di 222 jemaat, di 19 Klasis dan di 3 Sinode Wilayah Gereja Kristen Indonesia,” kami ucapkan!

Jakarta, 25 Agustus 2013
atas nama
Badan Pekerja Majelis Sinode
Gereja Kristen Indonesia,

ttd

[one_half] Pdt. Royandi Tanudjaja

Ketua Umum [/one_half] [one_half] Pdt. Arliyanus Larosa

Sekretaris Umum [/one_half]

Selamat Ulang Tahun, Sinode GKI

1

Hari ini, 26 Agustus, Sinode GKI merayakan ulang tahunnya yang ke-25, yaitu berdasarkan tanggal penyatuan ketiga Sinode Wilayah menjadi satu gereja. Di jemaat-jemaat GKI, ulang tahun ini diperingati melalui tema dan liturgi khusus pada hari Minggu, tanggal 25 Agustus. Selain tema dan liturgi khusus, juga diadakan pertukaran Pendeta.

Pesan ulang tahun dari Pdt. Royandi Tanudjaya, Ketua Umum BPMS GKI, disampaikan melalui video berikut ini:

Berbagai ucapan, doa dan harapan kami terima melalui twitter dan facebook. Berikut beberapa di antaranya:

Bagaimana dengan Anda? Apa doa dan harapan Anda bagi GKI? Silakan sampaikan melalui facebook, twitter, atau tambahkan komentar di bawah ini.

WCC mengajak gereja-gereja bertindak melawan korupsi

0

Berita WCC
20 Agustus 2013

Dewan Gereja Sedunia (World Council of Churches/WCC) mengundang gereja-gereja anggotanya untuk bergabung dalam tindakan global melawan korupsi – yang sangat besar pengaruhnya terhadap masyarakat miskin. Penelitian menunjukkan bahwa setiap tahunnya lebih dari satu triliun dolar Amerika Serikat menghilang dari tatanan ekonomi global melalui sogokan, perjanjian yang tidak jujur, dan penggelapan pajak.

Dengan penekanan pada tanggal 14-20 Oktober, panggilan global untuk bertindak dalam kampanye EXPOSED 2013 akan mengajak orang-orang di seluruh dunia untuk mengangkat suara melawan korupsi. Inisiatif ini dikoordinasikan oleh sebuah koalisi organisasi-organisasi Kristen yang disebut Micah Challenge International.

Kampanye ini menyarankan tindakan-tindakan positif dan praktis untuk mempertahankan diri dari korupsi. Diharapkan akan ada 2000 doa bersama masyarakat miskin di seluruh dunia, dan paling tidak satu juta tandatangan dikumpulkan untuk disampaikan kepada pertemuan G20 yang akan berlangsung November 2014.

“Keprihatinan dan respons WCC terhadap isu korupsi berdasarkan pada kepedulian Tuhan yang secara khusus ditunjukan kepada mereka yang miskin,” demikian Pdt. Dr. Olav Fykse Tveit, Sekretaris Umum WCC.

“Korupsi berakar dan berkembang karena struktur ekonomi, kebudayaan dan sistim nilai yang kita miliki, yang didorong oleh ketamakan, pengejaran kekuasan, kekuasaan-kekuasaan, pelaksana, maupun aktor-aktor politik,” lanjutnya.

“Maka, melawan korupsi sistemik merupakan sebuah tindakan memperjuangkan keadilan Tuhan,” tambah Tveit.

Sekretaris Umum WCC menyebut EXPOSED sebagai “usaha yang penting” terkait kerjasama WCC dengan gereja-gereja dalam pergumulan melawan ketidakadilan ekonomi.

Program kerja WCC mengenai kemiskinan, kekayaan dan ekologi membahas isu-isu keadilan perdagangan, hutang ekologis, mengatasi ketamakan, pekerjaan yang layak, dan usaha-usaha mencari alternatif globalisasi.

Tujuan dari kampanye EXPOSED sangat erat dengan tema sidang raya WCC yang akan datang: “Allah Kehidupan, pimpin kami menuju keadilan dan perdamaian”. Sidang WCC yang akan berlangsung di Busan, Korea Selatan, pada tanggal 30 Oktober hingga 8 November mendatang dijadwalkan memiliki pleno mengenai “mengatasi ketamakan”.

WCC bersama dengan World Communion of Reformed Churches, Council for World Mission dan Lutheran World Federation akan menyelengarakan pertemuan panel internasional mengenai “Pembaruan Struktur Finansial dan Ekonomi” dari tanggal 23 hingga 25 Agustus di Swiss. Pertemuan ini akan mengembangkan strategi-strategi advokasi mengenai bagaimana “mengatasi ketamakan” selagi bekerja menuju sebuah struktur finansial dan ekonomi yang baru.

Micah Challenge International” mengambil nama dari Mikha 6:8, “… Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?”

Taktik Garam, bukan Strategi Gincu!

1

Hari Kemerdekaan bangsa kita mengingatkan saya pada gagasan Yohanes Leimena. Ia berkata bahwa kita adalah warga negara Kerajaan Allah sekaligus warga negara Republik Indonesia. Kita memiliki dwi-kewarganegaraan. Kita bukan saja warga gereja, tetapi juga warga bangsa, dan bahkan warga dunia. Leimena selalu menekankan agar dua sisi kewargaan ini harus bisa kita hayati. Di dalam kedua kewargaan yang saling mengisi dan sekaligus saling mengeritisi ini, kita bergumul. Terlalu menekankan kewarganegaraan Kerajaan Allah membuat kita terjebak dalam  triumphalisme dan eksklusifisme. Merasa diri paling hebat dan paling benar, lalu merendahkan yang lain dan bahkan menganggap yang berbeda sesat. Sebaliknya, terlalu menekankan diri sebagai warga negara Republik Indonesia membuat kita hanyut tanpa tuntunan nilai spiritual.

Umat Kristen adalah bagian integral dari bangsa Indonesia. Kita bertanggungjawab terhadap bangsa kemajuan bangsa. Singkatnya, gereja harus menjadi garam dan terang dunia. Mohammad Hatta pernah bilang, lebih baik agama mengembangkan taktik garam daripada strategi gincu. Garam terasa tapi tidak kelihatan. Gincu kelihatan tetapi tidak terasa. Yang substantif, bukan sekedar yang simbolis dan ritual. Sikap sebagai garam ini sangat dibutuhkan mengingat bangsa kita menghadapi tantangan multi aspek dan multi dimensi. Tantangan sosial masyarakat inilah yang akan saya uraikan di bawah ini.

 

Tantangan dan Persoalan Indonesia

Ada banyak masalah atau tantangan yang kita hadapi di Indonesia. Kita bisa mengembangkannya ke segala arah. Kali ini, saya hanya menguraikan lima  persoalan yang bagi saya sangat penting.

Pertama, masalah pusat dan daerah. Munculnya aspirasi untuk memerdekakan diri dari Negara Republik Indonesia. Aspirasi ini bisa muncul karena adanya penggumpalan identitas etnik atau agama, tetapi juga bisa muncul karena adanya ketidakadilan sosial-ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat di daerah, terutama di Papua. Penggumpalan identitas atas nama agama dan etnik bisa memunculkan konflik horisontal dan diskriminasi sosial yang terutama ditandai dengan makin maraknya perda-perda diskriminatif yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Perda dan peraturan Menteri yang diskriminatif  ini menimbulkan perilaku  intoleran sebagian umat terhadap gereja, kelompok Ahmadiyah dan Syiah. Ketidakadilan sosial dan ekonomi yang dirasakan penduduk di daerah menciptakan jurang sosial ekonomi yang memicu tuntutan untuk memerdekakan diri. Persoalan ini seharusnya disikapi dengan pendekatan keadilan, bukan dengan pendekatan keamanan. Dialog harus diutamakan daripada bedil.

Kedua, kita harus membuat demokrasi kita berjalan bukan saja secara prosedural, tetapi terutama secara subtansial dimana kesetaraan setiap warga negara dihormati. Kini, sistem dan budaya politik kita belum berjalan dengan baik. Warga gereja sebagai warga bangsa harus didorong untuk berpartisipasi secara aktif guna memperbaiki proses demokratisasi yang sedang kita bangun. Kita harus ingat bahwa demokrasi bukan sesuatu yang ‘given’. Demokrasi selalu berada dalam proses. Bisa gagal, bisa juga sukses! Kita harus menjaga proses ini dengan segala potensi yang kita miliki. Gereja bisa memainkan peranan yang signifikan terutama dengan mempersiapkan kader-kader yang demokratis dan dengan ikut aktif melibatkan diri dan memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan demokrasi kita.

Ketiga, tantangan kemiskinan: 119 juta orang miskin mesti sangat memiriskan hati kita. Kita ingat ucapan Yesus ketika Ia berkata: “Ketika aku lapar…ketika aku haus…ketika aku tidak berpakaian…”. Kamu… Ngapain? Gereja harus mulai menyatakan cintanya dengan aksi nyata, terutama kepada mereka yang miskin.

Keempat, ancaman korupsi yang menggerogoti kehidupan bangsa. Kwik Kian Gie mengatakan bahwa setiap tahun yang dikorupsi di Indonesia berjumlah 444 trilyun rupiah. Korupsi adalah penyakit spiritual yang membuat bangsa ini bagaikan membangun rumah di atas pasir. Rapuh dan mudah hancur!

Kelima, penghancuran lingkungan hidup melalui pembabatan hutan dan polusi (udara, darat dan air) yang sudah melewati ambang batas. Sesungguhnya ketamakan kitalah yang membuat kita menghancurkan bumi ini. Ketamakan kita jugalah yang akan mempercepat kiamat bagi diri kita sendiri. Gereja tidak boleh diam. Gereja harus mulai berbicara dan beraksi memberikan kontribusi yang positif terhadap kelima pesoalan bangsa yang menggerogoti kemanusiaan kita.

 

Misi Gereja

Misi gereja harus berubah di tengah situasi yang terus berubah. Kita pernah memasuki the sending century yaitu saat dimana gereja mengirim para misionarisnya ke berbagai belahan dunia untuk mengabarkan Injil keselamatan. Pada saat itu pendekatan gereja adalah subyek-obyek. Kita memberi, orang lain menerima. Kita berkata-kata orang lain mendengar. Kita juga penah memasuki the sharing century yaitu saat dimana gereja-gereja Barat mulai membagi peran dengan gereja-gereja baru di Asia, Afrika dan Amerika Latin untuk mengabarkan Injil Kristus ke seluruh penjuru bumi. Pada saat itu pendekatan kita terhadap ‘yang lain’ sudah lebih ‘soft,’ meski tentu saja kita masih mengidap spirit triumphalisme.

 

The Partnership Century

Sekarang, kita memasuki the partnership century, yaitu saat dimana kita harus menjalin partnership dengan siapa pun, apa pun latar belakang gereja, agama dan etniknya. Kita berada dalam situasi dimana kita menghadapi persoalan dan tantangan yang sama. Oleh karena itu, sudah saatnya umat berbagai agama dan etnik untuk membangun dialog kata dan dialog kerja melalui kerjasama positif dalam segala aspek kehidupan guna membangun kebaikan bagi semua. Nah, partisipasi kita sebagai orang Kristen adalah bukan untuk kepentingan kita, tetapi harus menjadi berkat bagi semua. Kita menjunjung tinggi dan mengusahakan keadilan, kebaikan, bagi semua, menjunjung tinggi martabat manusia, solidaritas, toleransi, menolong yang miskin, dan sebagainya. Tetapi itu semua akan kita kerjakan bukan dalam kesendirian, tetapi dalam kerjasama, dalam partnership. Itulah sebabnya, the partnership century menantang kita untuk keluar dari tembok-tembok gereja kita dan mulai membangun kerjasama dengan siapa pun. Saya yakin, kohesi sosial yang erat inilah yang bisa mempertahankan kesatuan sekaligus solidaritas bangsa kita, bangsa Indonesia.

Selamat datang di situs resmi Sinode GKI!

3

Setelah terbengkalai untuk waktu yang cukup lama, bahkan hingga akhirnya mengalami kejadian peretasan, akhirnya situs Sinode Gereja Kristen Indonesia (GKI) dapat hadir kembali di dunia maya dengan tampilan yang baru dan alamat yang baru pula yaitu http://sinodegki.org, disesuaikan dengan username Sinode GKI di twitter dan facebook.

Dengan integrasi ini, kami harapkan akan semakin mudah bagi Bapak/Ibu/Saudara untuk dapat menemukan berita dan informasi terkini seputar GKI dalam setiap arasnya. Proses integrasi, revitalisasi dan transformasi ini tentu bukan suatu perkara yang gampang. Masih banyak yang belum terwujudkan, beberapa masih berupa ide saja, yang lainnya tengah dalam proses pengerjaan. Kami harap Sobat GKI sekalian dapat bersabar dan terus mendukung kami dalam proses ini. Kami mohon maaf apabila saat ini masih banyak kekurangan dalam situs ini.

Beberapa hal yang masih dalam proses antara lain kelengkapan data jemaat-jemaat GKI dalam direktori situs ini. Nantinya, kami harapkan direktori tersebut dapat memiliki foto masing-masing jemaat serta data yang lebih lengkap, termasuk jadwal kebaktian serta kegiatan-kegiatan yang ada.

Fitur lain yang juga masih dalam proses pengerjaan adalah sebuah database para pendeta GKI, selain juga artikel-artikel, dokumen-dokumen, jadwal kegiatan, dan juga galeri foto. Serta mungkin, masih ada ide-ide lain yang dapat kita wujudkan bersama.

Situs Sinode GKI tidak akan terwujud jika tidak mendapatkan dukungan dari sobat-sobat GKI, karena itu, kami menanti setiap masukan dari Anda, baik berupa kritik, saran, kiriman artikel, foto, atau bahkan uluran tangan dan kesediaan untuk membantu pemeliharaan situs ini. Silakan mengontak kami melalui e-mail atau form yang terdapat pada tab “Kontak” di atas. Atau, Anda dapat juga berinteraksi dengan kami melalui twitter dan facebook.

Sekali lagi, terima kasih untuk dukungan semua pihak yang membantu terwujudnya situs Sinode GKI yang baru ini, dan marilah kita bersama-sama menjadikannya sebuah situs yang hidup, di mana interaksi antara warga GKI maupun simpatisan dan rekan-rekan GKI dapat terwujud dengan baik.

Kami tunggu peran serta Anda!

PS: Anda juga dapat mendaftarkan e-mail Anda untuk menerima update terkini secara berkala dari situs ini di kanan bawah halaman ini.

Damai Sejahteralah Indonesiaku

0

Potret Indonesia yang Buram?

Bagaimana kita memaknai judul di atas? Apakah sebagai harapan? Sebagai doa? Sebagai keprihatinan? Sebagai dorongan untuk bersikap dan berbuat sesuatu? Rasa-rasanya semuanya ada dan bercampur aduk menjadi satu. Sedih, prihatin, geram itulah yang seringkali kita rasakan saat membaca atau mendengarkan berita-berita yang ‘menyesakkan’. Misalnya: harga kebutuhan pokok melonjak, tawuran antar pelajar, penyaluran dana BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) yang menimbulkan kericuhan, konflik pilkada, jalan berlubang yang menelan korban, kurikulum 2013 yang kontroversial, teror bom. Belum lagi kasus-kasus besar yang sepertinya tidak berdampak pada masyarakat, misalnya kasus bank Century, Hambalang (Padahal sangat berdampak bagi masyarakat. Coba kalau uang rakyat tidak dikorupsi, tapi dikembalikan untuk kesejahteraan masyarakat… wow… luar biasa sekali dampaknya!).

Melihat potret Indonesia yang buram seperti itu, menimbulkan pertanyaan bagi kita: masih adakah harapan untuk membuat potret Indonesia semakin jernih? Potret Indonesia yang jernih seperti diidam-idamkan para pendiri bangsa, yaitu: Indonesia yang berkeTuhanan, Indonesia yang berkemanusiaan, Indonesia yang bersatu, Indonesia yang demokratis, Indonesia yang adil dan makmur. Dengan kata lain: Indonesia yang damai sejahtera.

Damai Sejahtera: Dambaan bagi Semua

Menurut Alkitab, damai sejahtera (Ibrani: syalom, Yunani: eirene) adalah suatu keadaan yang baik secara utuh menyeluruh yang meliputi segi jasmani, jiwani, rohani, dan sosial (Yes 65:17-25, Kol 1:20, Ef 2:14, Ibr 12:14). Hal ini bisa terwujud bila terjadi pemulihan hubungan harmonis antara: manusia dengan Tuhan, manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.

Pada awal pelayanan, Tuhan Yesus berkata: “Waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk 1:15). Berita dan realita mengenai Kerajaan Allah merupakan hal utama yang dibawa Tuhan Yesus. Kerajaan Allah merupakan pemerintahan Allah sebagai Raja yang hendak dilaksanakan di sorga maupun di bumi. Pemerintahan Allah sebagai raja ini mewujudkan damai sejahtera. Dengan kedatangan Tuhan Yesus, Kerajaan Allah dinyatakan (Mat 11:4-6, 12:28, Luk 4:17-21, 17:21).

Namun pada pihak lain Tuhan Yesus mengajarkan “Datanglah KerajaanMu”, artinya Kerajaan Allah harus tetap dinanti dan diperjuangkan. Diperhadapkan dengan Allah yang datang memerintah sebagai Raja, maka manusia mau tidak mau harus mengambil sikap, yaitu: bertobat dan percaya kepada Injil. Artinya: mengubah hidup dengan mentaati kehendak Allah sebagai Raja secara total (Mat 7:21). Apa yang sudah dilakukan Tuhan Yesus dalam rangka mewujudkan Kerajaan Allah di bumi harus kita respons secara aktif. “Datanglah KerajaanMu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga” (Mat 6:10) mesti kita pahami sebagai suatu panggilan bagi gereja/orang Kristen untuk mewujudkan damai sejahtera bagi semua orang (tidak hanya orang kristen). Tapi, bagaimana kenyataannya?

Cuek, Menikmati, atau Mentransformasi?

CUEK. Selama kepentingan kita (pribadi atau gereja) tidak terganggu, pada umumnya kita bersikap masa bodoh dengan realita yang kontra-syalom. Kita cenderung merasa puas dan nyaman bila tidak ada yang mengganggu kepentingan kita. Banyak gereja/orang Kristen yang bermental ‘bahtera Nuh’, masa bodoh dengan keadaan di masyarakat, yang penting aku/kami aman dan nyaman.

MENIKMATI. Menikmati disini berarti gereja/orang Kristen baik secara sadar maupun tidak sadar lebih berpihak pada mereka yang lebih kuat. Baik kuat dalam arti ekonomi, sosial, maupun politik. Sehingga gereja/orang Kristen merasa aman dan nyaman karena ikut menikmati fasilitas-fasilitas tertentu. Gereja/orang Kristen ikut terjerumus dalam struktur ekonomi/sosial/politik yang menekan. Bila kita memperhatikan kehidupan dan pelayanan Tuhan Yesus, Dia lebih berpihak pada masyarakat yang menderita. Karena merekalah sebenarnya yang tak berdaya.

MENTRANSFORMASI. Mentransformasi artinya mengubah keadaan yang tidak baik menjadi lebih baik. Keadaan yang tidak damai sejahtera menjadi lebih damai sejahtera. Keadaan yang tidak manusiawi menjadi lebih manusiawi. Keadaan yang menyengsarakan menjadi lebih melegakan. Keadaan yang tidak berpengharapan menjadi lebih berpengharapan. Itulah sebetulnya maksud kedatangan Tuhan Yesus. Dia datang memberitakan Kerajaan Allah melalui kehidupanNya. Di mana Allah diakui dan ditaati sebagai Raja, di sanalah damai sejahtera diwujudkan. Bagaimana dengan kita? Bila kita memperhatikan program dan anggaran gereja pada umumnya, ada berapa persen program dan anggaran yang berorientasi pada pelayanan kepada masyarakat yang belum mengalami damai sejahtera (orang Kristen maupun non Kristen)? Kalaupun ada program dan anggaran yang mengarah ke sana, cukup berdampakkah/cukup signifikankah program tersebut? Apakah gereja mempunyai unit pelayanan yang sungguh-sungguh memikirkan, menganalisis, dan membuat program yang sesuai dengan masalah dan kebutuhan masyarakat? Berjejaring dengan kelompok/lembaga lain yang bersama-sama merindukan Indonesia yang lebih damai sejahtera?

Puasa dan Derma

1

Puasa telah dikenal oleh umat Israel sejak zaman Alkitab. Kali ini kita melihat apa, bagaimana, dan kapan umat Israel berpuasa.

Orang Israel dalam Perjanjian Lama telah mengenal praktek berpuasa sejak lama. Secara umum puasa berasal dari kata tşŭm (berpuasa)  tşŏm (puasa) atau ānna nafsyô (menekan hawa nafsu). Berpuasa menurut pengertian tersebut dijalankan dengan cara berhenti atau mengurangi makan (dan kadang-kadang minum) selama beberapa saat dalam rangka perendahan diri secara khidmat kepada Allah.

Fungsi puasa dalam Alkitab tidak melulu sebagai sarana, cara, atau metode (terutama untuk mencapai kesempurnaan). Fungsi puasa juga sebagai tanda, simbol, persiapan, pengudusan diri, dan tekad di dalam memperjuangkan sesuatu. Puasa seringkali dilakukan secara komunal di dalam liturgi dan bersifat suka rela. Sekalipun cara berpuasa hanya dihubungkan dengan makanan dan minuman, tetapi seringkali berpuasa diikuti dengan berpantang.

Berpantang tidak hanya menyangkut soal makan dan minum. Berpantang dilakukan dengan mengerjakan sesuatu sebagai tanda, misalnya: penyesalan. Israel (Hak 20:26) berpantang dengan menangis dan mempersembahkan kurban. Ahab (1Raj 21:27) berpantang dengan mengenakan kain kabung dan abu. Israel berpantang dengan menangis dan mengaduh (Yl 2:12).

Berbeda Perjanjian Lama yang lebih mengulas praktek berpuasa, puasa di dalam Perjanjian Baru mulai dipersoalkan penggunaannya. Puasa dalam bahasa Yunani ialah νηστεύω (tidak makan), atau dari άσιτος atau άσιτία. Arti kedua lebih menjelaskan kepada arti berpuasa terpaksa tidak makan (Kis 27:21). Sedangkan arti pertama lebih menjelaskan pada disiplin berpuasa sebagai suatu ibadat. Yesus berpuasa (νηστεύσας) selama empat puluh hari siang dan malam (Mat 4:1-11). Ketiga jawaban Yesus melawan Iblis menggambarkan hal ketergantungan manusia hanya kepada Allah. 1) “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman Allah.” 2) “Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu.” 3) “Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu.” Hanya orang yang merasa laparlah yang bergantung pada Allah. Di dalam ketergantungan kepada Allah, manusia mengendalikan dirinya.

Di samping itu, rupanya ada kelompok manusia yang menyalahgunakan puasa (Mat 6:16). Yesus menyinggung hal berpuasa, “Apabila kamu berpuasa janganlah muram mukamu seperti orang munafik (maksudnya adalah orang-orang Farisi), supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Penulis Matius merujuk kepada praktek berpuasa yang dilakukan secara salah sebagaimana tertulis di dalam kitab Nabi-nabi.

Salah satu tujuan atau hikmat berpuasa yang dimunculkan dari zaman Alkitab, adalah praktek berpuasa yang diikuti dengan berderma. Seorang filsuf dan apologis: Aristides dari Athena (± 140) dalam Apologia-nya – ketika berbicara tentang sikap hidup orang Kristen di antara bangsa kafir – menuliskan tentang sikap yang baik bagi seorang Kristen. Antara lain dituliskannya:

“Jikalau terdapat orang miskin atau orang kekurangan di antara mereka (maksudnya: orang asing atau orang Kristen), dan jika mereka (maksudnya: orang Kristen itu) tidak mempunyai makanan lebih sama sekali, maka mereka berpuasa selama dua-tiga hari agar dapat memberikan makanannya kepada yang membutuhkannya.”

Uraian ini dapat menjadi salah satu tolok ukur tentang sikap derma dan perhatian sosial dari berpuasa. Kaum asket memberlakukannya. Antonius dan Benediktus memperhatikan persoalan ini sebagai ajaran hidup monastik. Hanya, dari Aristides kita dapat merujuk dan melihatnya secara luas kepada kitab Nabi-nabi. Para Nabi (Yes 58:3-7; Yer 14:12; Za 7:5) mengecam orang yang salah dalam berpuasa. Berpuasa bukan tujuan, melainkan sarana untuk “membuka belenggu-belenggu kelaliman, melepaskan tali-tali kuk, memerdekakan orang yang teraniaya, membagikan rotimu kepada yang lapar” (Yes 58:3-7).

Pada masa kini, beberapa Jemaat GKI telah melakukan berderma waktu berpuasa selama Prapaska. Dengan merujuk praktek tersebut, kita merasakan bahwa berpuasa dan berderma merupakan hakikat puasa Gereja.

Marilah Berpuasa!

1

Walaupun puasa bukan ibadah wajib dan komunal, melainkan suka rela dan personal, namun gereja membimbing umat berpuasa. Bimbingan tersebut didasarkan pada sifat personal itu, bahwa umat dibimbing bagaimana melakukan puasa bagi mereka yang terpanggil.

Bagaimana berpuasa? Marilah belajar dari sejarah gereja. Kitab Kristen yang digunakan oleh sebagian umat abad pertama dan kedua, yakni Didakhe pasal 8, menuliskan demikian: “Janganlah engkau melakukan puasamu seperti orang kafir (masudnya: orang Yahudi). Mereka berpuasa pada Senin dan Kamis, tetapi kamu harus berpuasa pada Rabu dan Jumat.”

Kedua hari tersebut dianggap berhubungan dengan peristiwa kematian Yesus, yakni ketika Yudas berkhianat untuk menjual Gurunya dan hari kematian-Nya. Gereja Timur dan beberapa tradisi kekristenan Barat tetap memberlakukan kedua hari tersebut sebagai waktu berpuasa sepanjang tahun di luar masa Prapaska. Pada masa Prapaska, lazimnya Gereja memberlakukan puasa lebih intensif selama dua pekan menjelang  Paska; semakin dekat kepada Paska, maka berpuasa semakin intens terutama pada Jumat Agung dan Sabtu Sunyi. Pada masa Prapaska selama empat puluh hari itu diberlakukan pula kepada para calon baptis.

“Angka 40 mengingatkan akan empat puluh tahun umat Israel menjelajah di gurun pasir sebelum memasuki Tanah Suci, empat puluh hari Musa berada di Gunung Sinai, dan terutama empat puluh hari lamanya Yesus berpuasa.”

Biasanya umat berpuasa pada Rabu Abu dan Jumat Agung dan berpantang makan daging atau jenis pantangan lain yang ditentukan sendiri oleh pribadi yang menjalankannya. Misalnya tidak merokok, pantang gula, pantang garam, pantang pesta, pantang hiburan, dsb. Dalam beberapa kesempatan pun, semisal: sebelum pembaptisan, sebelum perjamuan kudus, sebelum kebaktian, banyak orang Kristen berpuasa singkat. Oleh karena sifat puasa adalah suka rela dan personal, maka waktu dan bentuknya bisa tidak dimutlakkan. Namun tujuan puasa untuk berhemat dan menahan diri sangat bermanfaat bagi disiplin spiritualitas. Hasil penghematan itu dapat untuk derma. Uang rokok, pesta pora, hiburan, dapat diirit dan disumbangkan kepada orang miskin dan proyek-proyek kemanusiaan.

Bagi kebanyakan Gereja Protestan, praktek berpuasa sebagaimana dilakukan oleh Yesus, tidak terkalu ditekankan, apalagi diberlakukan sebagai liturgi umat. Namun Gereja tidak melarang ibadat personal puasa ini, apabila dilakukan dengan suka rela. Memang pada kenyataannya, tidak sedikit orang Kristen yang melakukan puasa. Kaum Injili, Gereja-gereja Pantekostal, kelompok Kharismatik, secara terbuka mengizinkan dan menganjurkan umat-Nya berpuasa. Gereja Katolik menyusun aturan berpuasa yakni: satu kali makan kenyang dan dua kali makan sedikit saja dalam sehari. Hal ini mengarahkan orang untuk berhemat dan menahan diri dari hawa nafsu. Bahkan tidak sedikit Gereja-gereja ekumenikal yang mempermaklumkan umat-Nya berpuasa. Jadi berpuasa adalah ibadat personal yang lazim dilakukan oleh orang Kristen secara suka rela.

Selain sebagai disiplin penyadaran akan lemahnya diri, puasa memiliki hikmah sebagai sarana pengendalian diri dari keserakahan dan ketergantungan pada jasmani. Semuanya dilakukan dalam rangka melatih hidup keagamaan yang lebih baik. Pengendalian diri bertujuan agar Gereja (atau “yang berpuasa”) tidak lepas kendali. Gereja harus mampu menahan diri dari nafsu jasmani dan keinginan daging. Itulah sebabnya puasa – baik di kalangan Kristen maupun dalam Islam – selalu diikuti dengan derma atau zakat, yang  atau puasa yang diikuti dengan pesta pora, dan puasa tanpa derma, adalah puasa yang tidak menjadi berkat.

- Advertisement -

Artikel Terkini