Tim Gerakan Kemanusiaan Indonesia kunjungi Agats, Papua

0
131
Bertemu Uskup Aloysius Murwito di Keuskupan Agats

SINODEGKI.ORG – Menindak lanjuti bantuan partisipasi dana melalui PGI untuk perjalanan 2 dokter dan 1 tenaga sanitasi pada  Januari 2018. Tim Gerakan Kemanusiaan Indonesia (Tim GKI) mengunjungi 3 kampung di Distrik Pulau Tiga, yaitu: kampong As, Atat, dan Kapi. Distrik Pulau Tiga merupakan distrik terburuk pada masa bencana kesehatan di Asmat baru-baru ini (dari 70 orang yang meninggal, 37 orang berasal dari distrik Pulau Tiga). Penduduk asli distrik ini adalah orang Asmat yang rupanya belum hidup bercampur dengan suku-suku lain Papua, maupun pendatang, (kecuali pastor dan 1-2 guru), seperti di beberapa distrik atau kampung yang lebih maju, dimana beberapa suku hidup berdampingan.

Pada 15 – 23 Maret 2018, Tim GKI yang terdiri dari bapak Tony Mulia, bapak Andrew, dan bapak Hidayat berangkat dari Jakarta menuju Timika. Dari Timika, tim memilih menggunakan jenis transportasi kapal milik Pelni menuju Agats. Agats adalah ibukota Kabupaten Asmat dan perjalanan menuju Agats ditempuh dalam waktu 10 jam. Setiba di Agats, tim GKI menemui Uskup Aloysius Murwito yang adalah Uskup Agung Agats. Dalam pertemuan ini Uskup Aloysius ditemani oleh pastor Hendrik, dan pastor Beni. Tim GKI memberikan presentasi kepada Uskup mengenai hal-hal yang akan dilakukan selama kunjungan ke Agats. Tim menjelaskan secara detail tentang filter keramik kapasitas 24 liter/hari. Filter keramik yang didesign untuk menjawab kebutuhan air minum bagi penduduk miskin yang minim akses air bersih, ramah lingkungan (degradable), bahan dasar filter yang mudah didapat (biaya murah), memfiltrasi 99.8% bakteri, dan telah di pergunakan di banyak daerah seperti Guatemala, Nikaragua, Sudan, Filipina, Kamboja, dan Indonesia (NTT).

menuju distrik Pulau Tiga

Pada kunjungan kali ini, tim GKI membawa 10 unit filter air skala rumahan, untuk di contohkan dan dipraktekkan di kampung Kapi. Perjalanan menuju kampung Kapi ditempuh dengan menggunakan boats. Setibanya di kampung Kapi, tim mengadakan pertemuan dengan para pemuka adat di kampung Kapi yang difasilitasi oleh Paroki Distrik Pulau Tiga. Pada kesempatan ini tim GKI memberikan penjelasan dan praktek pemakaian filter air untuk minum.

RELATED ARTICLE  Persidangan Majelis Klasis Jakarta Utara
Partos Heri memperlihatkan hasil filter air

Pastor Heri Ola (pastor paroki distrik Pulau Tiga), menunjukkan hasil filtrasi air untuk minum dimana beliau dua jenis air yang berbeda, gelas kiri dari air sungai, gelas kanan dari air hujan.

Penyerahan bantuan filter air

Setelah itu secara simbolis tim GKI menyerahkan bantuan bantuan berupa filter kepada masyarakat setempat. HAri itu, tim GKI bermalam (kampung Kapi), tanpa listrik, dan menggunakan kelambu untuk menghindari malaria tropikana.

Penduduk sudah mencoba manfaat filter air

Keesokan pagi, beberapa penduduk sudah mulai mengambil air minum filtrasi (yang diletakan oleh tim GKI di dalam gereja). Mereka melakukannya sebelum memulai aktifitas. Tim juga mengunjungi murid-murid sekolah kampung Kapi, yang hampir sebulan tidak bersekolah. Pada kesempatan ini tim GKI memberikan 1 bola kaki untuk memicu anak-anak untuk bersekolah dan bermain (Tim GKI juga akan memberikan bantuan berupa bola voli dan netnya). Tim GKI juga mengunjungi anak-anak kampung As, dan Atat (digabung menjadi Asatat). Disini tim GKI juga memberikan 1 bola kaki. Bola voli dan net ‘nya, juga akan diserahkan kemudian.

Dari hasil pengamatan dan diskusi dengan para pemuka adat di kampung As, Atat, dan Kapi; tim GKI menemukan bahwa pada prinsipnya, seharusnya tidak kekurangan gizi, karena :

  1. Banyak pohon sagu dan ikan.
  2. Kualitas tanah sedikit bergambut, tetapi dapat di tanami dengan beberapa jenis tanaman. Saat ini hanya ada tanaman Gedi & Kasbi yang tumbuh secara alami, untuk di konsumsi.

Namun tim GKI menemukan beberapa kendala, antara lain:

  1. Masyarakat masih memegang teguh prinsip leluhur untuk langsung meminum air dari sungai. Jika harus memilih antara air hujan dan air sungai, penduduk akan memilih meminum langsung air dari sungai. Ada 3 sumur dangkal, tetapi tidak di pergunakan karena prinsip tersebut.
  2. Masih merupakan masyarakat berburu, dengan prinsip ‘dapat hari ini di habiskan hari ini’ (belum terbiasa hidup berproses / menanam, memelihara, mengatur).
  3. Sepertinya sudah terbiasa menerima bantuan dari pemerintah (seperti beras dan dana desa); sehingga kini jarang mengambil sagu di hutan, dengan alasan mencacah sagu yg memakan waktu sangat lama.
RELATED ARTICLE  Konferensi PKN 2019

Oleh karena itu tim GKI merencanakan beberapa hal, antara lain:

  1. Saat ini kita sudah menyiapkan 200 filter air untuk 170 keluarga di kampung Kapi, setelah mencontohkan bahwa penduduk tetap meminum air sungai, sesuai dengan tradisi. Setelah bertemu kembali dgn Uskup Aloysius, beliau meminta agar pengiriman 200 filter air keramik dapat direalisasikan.

    Filter air yang sudah dipersiapkan untuk dikirim
  2. Mengirimkan bibit kelor (mudah di tanam) sebagai variasi makanan, selain Gedi dan Kasbi yang selama ini mereka makan. Juga sebagai persiapan pakan ikan (jika sudah masuk ke tahap perikanan).
  3. Telah menyiapkan mesin sederhana pencacah sagu, dimana penggunaannya di atur oleh gereja, dengan harapan penduduk dapat kembali rutin mencari sagu, karena akan singkatnya waktu yang diperlukan untuk mencacah di banding dengan cara tradisional.
  4. Jika hal tersebut di atas berjalan baik, rencananya tim GKI akan mengirim 1 warga Saparua dari desa Ow untuk mengajarkan membuat sagu lempeng; dan 1 warga Dobo untuk mengajarkan membuat bubu ikan yang nantinya mengarah ke penjaringan, serta keramba. Mereka akan menetap selama satu bulan di kampung Kapi. Alasan mendatangkan dari daerah tersebut, karena perjalanan yg relatif hanya 1 kali dengan menggunakan kapal Pelni menuju Agats.

Melalui berita ini tim GKI menyampaikan ajakan untuk membantu saudara-saudara di Agats:

  1. Tim GKI masih mencari (mohon di bantu) tenaga dokter untuk menetap di Asmat (penempatan oleh dinkes kabupaten Asmat). Diprioritaskan dokter pria karena kondisi lingkungan, terutama jika nantinya akan di tempatkan di daerah pedalaman.
  2. Keuskupan Agats meminta bantuan, jika memungkinkan, pengadaan total 3 rumah kayu serba guna (@ 200 juta), masing-masing untuk kampung Kapi, Au, dan Amboret; yang akan dibangun di atas tanah misi (tanah yang diberikan penduduk untuk gereja). Rumah serba guna tersebut rencananya diperuntukan bagi kegiatan kesehatan, dan aktifitas bersama.
Kunjungan ke anak-anak sekolah di Asatat

Pada kunjungan kali ini tim GKI belum dapat melihat kondisi kampung Au, karena surutnya air sungai sehingga speed boat tidak dapat lewat. Sedangkan kampung Amboret cukup jauh untuk di tempuh bolak-balik dalam satu hari dari posisi tim GKI berada. Tim GKI (pak Tony, pak Andrew, dan pak Hidayat) dengan senyum penuh kesabaran, ‘menikmati’ perjalanan pulang dari Agats ke Timika dengan kapal Pelni (pesawat perintis sudah penuh) yang seharusnya di tempuh 8 jam, menjadi 27 jam karena ombak besar dan arus kuat sepanjang perjalanan, serta 2 mesin kapal yang mati. (Tony Mulia, tim GKI)