Gereja Indonesia

0
266
Pdt. Albertus Patty. Foto: selisip.com

SINODEGKI.ORG – Pdt. Albertus Patty,

Kadang kita abai bertanya: Mengapa namanya Gereja Masehi Injili Timor ( GMIT) bukan Gereja Masehi Injili di Timor? Beda kedua nama itu sangat tipis. Salah satunya menggunakan sisipan kata ‘di’ yang menunjuk pada lokasi. Hal yang sama bisa kita tanyakan: Mengapa namanya Gereja Kristen Sumba (GKS), bukan Gereja Kristen di Sumba? Sekali lagi bedanya hanya pada sisipan kata ‘di.’ Saya tidak punya otoritas untuk menjawab pertanyaan di atas itu, tetapi saya percaya pasti ada pertimbangan psikologis, sosiologis dan teologis dalam penamaan itu.

Meski demikian, saya tahu benar mengapa gereja yang saya layani namanya bukan Gereja Kristen di Indonesia, tetapi Gereja Kristen Indonesia (GKI). Dengan tidak menggunakan sisipan ‘di’, para pendiri GKI ingin menegaskan bahwa Indonesia bukan sekedar lokasi, tetapi sebuah identitas. Bila Indonesia sekedar lokasi maka sampai kapan pun gereja tidak akan pernah lahir dari rahim ke-Indonesia-an. Dengan demikian dalam nama GKI terdapat penegasan bahwa “kami memiliki sekaligus dua identitas: Kristen dan Indonesia!” Mungkinkah cerita tentang GKI ini menjelaskan apa yang ada di balik nama GMIT dan GKS?

Lima tahun saya dipercaya untuk melayani sebagai Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), dan selama itu saya selalu bertanya: mengapa ada sisipan kata ‘di’ dalam PGI. Jujur saja, secara personal saya terganggu dengan kata ‘di’ dalam nama PGI karena kata itu membuat Indonesia menjadi sekedar lokasi. Sisipan itu membuat Indonesia tidak menjadi identitas kita. Mungkin ini juga yang menjadi salah satu sebab mengapa sebagian besar gereja-gereja kita terlalu segmented, dan belum sungguh2 ‘dibaptis’ dalam ke-Indonesia-an. Kita belum berpikir dan bergumul di dalam spirit ke-Indonesia-an. Ini yang membuat teologi kita belum ‘menikah’ dengan persoalan, pengharapan dan kekhawatiran Indonesia.

RELATED ARTICLE  Kepemimpinan Pelayan demi Pemerdekaan dan Pemberdayaan Jemaat yang Peduli

Salah satu kehebatan NU yang harus kita hormati adalah melakukan ijtima yang menghasilkan sebuah lompatan teologis yang hebat. NU menciptakan ‘ijab kabul’ antara Islam dan Nusantara sehingga terjadi deklarasi Islam Nusantara yaitu Islam yang berakar pada budaya Nusantara yang beragam agama, etnik, bahasa dan budaya. Islam Nusantara adalah Islam moderat yang menjunjung Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Mungkin kita belum perlu melakukan lompatan besar dengan menciptakan Kristen Nusantara, tetapi kita bisa mulai dengan melakukan lompatan-lompatan kecil. Salah satunya dengan menghapus sisipan ‘di’ dalam PGI sehingga Persekutuan Gereja-gereja Kristen di Indonesia menjadi Persekutuan Gereja-gereja Indonesia. Dalam nama baru ini, Indonesia bukan lagi lokasi tetapi identitas. Dalam nama yang baru gereja-gereja Indonesia mengakui identitas gandanya sebagai: Kristen dan Indonesia! Ini mirip dengan apa yang pernah Leimena pernah ingatkan yaitu bahwa kita memiliki dwi kewarganegaraan yaitu: warga negara Kerajaan Allah dan warga negara Indonesia.

Penulis adalah Ketua PGI dan Pendeta GKI Maulana Yusuf.