Asing dan Aseng

0
250
Pdt. Albertus Patty. Foto: selisip.com

SINODEGKI.ORG – Pdt. Albertus Patty, “Kita harus mencegah intervensi ekonomi asing dan aseng, yaitu intervensi negara China dan terutama intervensi orang-orang Tionghoa dalam segala hal di Indonesia,” teriak seorang pemuka agama kepada saya yang saat itu tampil sebagai pembicara. “Kaum Tionghoa mendominasi segala bidang kehidupan sementara kami yang pribumi tersingkir,” lanjutnya berapi-api. Wajahnya merah padam. Napasnya tersengal-sengal. Matanya mendelik. Marah! Lalu ia duduk menanti respon saya.

Saya jelaskan kepadanya dan kepada peserta seminar itu bahwa dominasi ekonomi orang-orang China atau di Indonesia disebut Tionghoa tidak terjadi di Indonesia saja tetapi juga di bagian dunia lain. Contoh, kota San Francisco (SF). Ekonominya dikuasai 2 komunitas yaitu kelompok China dan kelompok LGBT. Siapa pun yang berniat menjadi walikota SF harus mendapat restu dari kedua komunitas ini. Selain New York, SF menjadi kota termahal di AS. Akibatnya, orang-orang kulit putih, African-American, dan Latino menyingkir ke pinggiran kota yang biaya hidupnya lebih murah.

Contoh lain. Ada beberapa bangsa yang tinggal di Hawai. Ada Jepang, Eropa Barat, African American dan sedikit Latino serta China. Yang terakhir inilah yang mendominasi perekonomian Hawai. Kelompok China pun menguasai perekonomian di Asia Tenggara. Di Malaysia, Mahathir Muhammad pernah mengeluarkan kebijakan affirmative policy yaitu memprioritaskan kesempatan ekonomi kepada umat Islam dan Melayu demi mengatasi dominasi ekonomi kelompok China Malaysia. Ternyata kebijakan Mahathir gagal total. Kelompok China tetap mendominasi perekonomian negeri jiran itu. Singkatnya, dominasi perekonomian kelompok China atau Tionghoa bukan saja terjadi di negara kita ini tetapi juga di negara-negara lain, bahkan di Amerika Serikat. Nah, saya simpulkan, ketimbang kita marah dan merasa iri terhadap dominasi mereka, lebih baik kita bertanya mengapa mereka mampu mendominasi dimana-mana.

RELATED ARTICLE  500 Tahun Reformasi : Dari Wittenberg ke Tulang Bawang

Saya perhatikan para peserta seminar, termasuk pemuka agama itu, menyimak menunggu jawaban saya. Lalu saya lanjutkan. Kunci dominasi teman-teman Tionghoa ada pada etos kerja mereka. Mereka punya visi jauh ke depan. Visi itu diwujudkan melalui bekerja sekeras-kerasnya. Bila perlu mengorbankan waktu tidur. mereka sangat tekun dan hemat. Dana yang dimiliki digunakan untuk investasi, bukan untuk foya-foya.

Kelompok Tionghoa atau imigran China di AS atau negara-negara lain memang menerapkan budaya Kong Hu Cu yang sangat sekuler. Mereka serius dengan dunia ini. Budaya kerja keras ini mirip dengan etika Protestantisme. Dalam etika Protestan yang sangat Calvinistik itu, Max Weber menjelaskan bahwa status sebagai orang pilihan membuat orang Protestan berupaya bekerja keras untuk menunjukkan kesuksesannya di dunia. Etos kerja keras ini yang menjelaskan mengapa orang di Barat lebih cepat maju daripada orang di Timur. Mengapa orang dari negara-negara Eropa Barat yang didominasi Protestan lebih maju daripada orang dari negara-negara yang didominasi Katolik.

Jadi, saya simpulkan, bila bangsa kita mau maju, marilah belajar dan serap etos kerja keras orang Tionghoa. Ini juga kunci terpenting yang membuat negara China maju pesat.
Selesai saya menjawab, pemuka agama yang teriak-teriak setengah ngamuk tadi maju ke arah saya, lalu menjabat tangan saya. Ia tersenyum sambil berkata: ternyata persoalan itu bukan pada mereka, tetapi pada diri kita sendiri!

Terlepas dari respon positif pemuka agama itu, rasanya gereja-gereja kita pun harus mulai menumbuhkan kembali etos protestantisme yaitu semangat untuk bekerja keras, untuk berhemat, dan untuk maju dan berhasil dalam segala bidang kehidupan. Mungkin kita perlu belajar menyerap kerja saudara-saudara kita Tionghoa atau kita perlu menggali etos kerja keras dari budaya kita sendiri. Ini kunci untuk maju!

RELATED ARTICLE  Pemuda GKI Jadilah garam dan Terang Dunia Bukan Garam dan Terang Gereja

Pdt. Albertus Patty adalah Ketua PGI dan Pendeta GKI Maulana Yusuf, Bandung.