PESAN PASTORAL DALAM RANGKA HUT KE-34 GKI

0
261

SINODEGKI.ORG – Saudara-saudara anggota dan simpatisan jemaat Gereja Kristen Indonesia yang dikasihi Tuhan,

Salah satu hal yang paling mendasar dalam sebuah sikap iman ketika kita memperingati hari ulang tahun atau sebuah peristiwa yang khusus adalah rasa syukur kepada Allah yang telah menyertai dan menguatkan kita sampai dengan saat ini. Selain kita melihat perjalanan Gereja Kristen Indonesia (GKI) bersinode selama 34 tahun – yang sebenarnya sudah dimulai jauh sejak masa Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee (Jemaat/Gereja Kristen Tiong Hoa) di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur pada awal abad ke-20 dengan semua tantangan dan berkatnya – rasanya kita juga tidak dapat melupakan kenyataan bahwa selama kurang lebih dua tahun ini kita semua, seperti juga gereja-gereja dan masyarakat dunia lainnya, berjuang melewati pandemi COVID-19 yang sungguh-sungguh menantang kehidupan, kemanusiaan dan keimanan kita. Semua ini berjalan beriring dengan konteks, perubahan dan berbagai dinamika lainnya secara kultural, sosial, ekonomi bahkan politis yang ada dan menjadi bagian dari keberadaan GKI. Terkait dengan konteks, kita juga memiliki tradisi yang menarik karena sebagai gereja kita memperingati HUT GKI pada waktu yang tidak berjauhan dengan perayaan Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) setiap tanggal 17 Agustus. Tahun ini GKI sebagai gereja Indonesia juga ikut merayakan dengan sukacita HUT ke-77 RI dan penyertaan Allah atas bangsa ini.

Salah satu yang selama beberapa tahun ke belakang ini amat kerap dibicarakan dan didiskusikan oleh banyak orang, gereja maupun masyarakat umum, adalah perubahan kehidupan sosial dan budaya yang amat besar akibat kemajuan teknologi digital dan internet. Hal ini bukan hanya menjadi konteks bagi masyarakat gereja tetapi juga menantang kita sebagai sebuah bangsa dan gereja untuk selalu kembali membuat evaluasi dan mengidentifikasi diri agar tetap menjadi relevan, terutama dalam konteks GKI, kita sebagai gereja yang mengemban dan memberitakan nilai-nilai Kerajaan Allah di bumi Indonesia ini. Perubahan dan dinamika memperlihatkan bahwa gereja tidak pernah dapat menempatkan dirinya secara pasif seolah tidak tersentuh oleh apapun. Hal ini sudah disadari bahkan sejak zaman bapa gereja Agustinus ketika berbicara tentang pentingnya gereja terus mereformasi dirinya. Karena itu kita saat ini perlu membiasakan diri dengan istilah ‘menggereja’ sebagai kesadaran iman bahwa gereja adalah sebuah proses mendengar dan menjadi yang terus berjalan. Sungguh sebuah perjalanan iman yang tidak sederhana.

RELATED ARTICLE  Pesan Pastoral BPMS GKI Untuk Natal 2016

Di dalam tradisi gerejawi yang sering kita lakukan dan alami, maka rasa syukur atas perjalanan iman ini diekspresikan melalui ritual sederhana seperti berdoa atau kebaktian-kebaktian syukur yang dilakukan dari skala kecil sampai dengan skala besar. Berbagai renungan, khotbah atau refleksi disampaikan dan kita semua mengamininya. Hal inilah yang pada saat ini kembali kita sedang lakukan bersama, dalam Kebaktian Minggu maupun dalam berbagai aktivitas lainnya yang disiapkan dalam rangka memeriahkan HUT ke-34 GKI di tengah konteks HUT ke-77 RI. Segala puji dan hormat hanya untuk kemuliaan Allah Bapa, Tuhan kita Yesus Kristus, Sang Kepala Gereja, dan Roh Kudus sumber iman dan hikmat gereja.

Dalam rasa syukur ini kami hendak mengajak kita sebagai anggota dan simpatisan jemaat GKI di manapun kita berada bersama-sama menyadari bahwa seluruh doa, renungan, khotbah dan aktivitas syukur kita di tengah perayaan HUT ke-34 GKI ini seharusnya bukan sekadar aktivisme tanpa makna. Dalam Lukas 10:38-42, kisah tentang Marta dan Maria memberikan pesan yang amat kuat kepada kita. Ketegangan dalam kisah Marta dan Maria ini bukanlah pada perlu atau tidaknya kita sibuk dalam pelayanan, tetapi apakah sebuah aktivitas pelayanan didasari oleh kesungguhan kita untuk mendengarkan dan memperjuangkan apa yang menjadi kehendak Allah Bapa. Karena itu Tuhan Yesus menyebut Maria yang duduk mendengarkan adalah sikap yang paling penting yang dilakukan oleh seorang murid Kristus sebelum dan di tengah seluruh aksinya.

Berdasarkan hal di atas kami memberikan penekanan bahwa merayakan HUT GKI ini adalah pertama-tama membuat evaluasi dan resolusi di dalam kita mendengarkan kehendak Allah. Ketika kita berbicara tentang mendengarkan Allah maka hal ini amat erat dengan konsep panggilan yang biasa kita bicarakan. Menerima panggilan pada dasarnya adalah bersikap terbuka untuk mendengarkan apa yang diharapkan oleh Allah. Hal itu memiliki konsekuensi pada sampai seberapa jauh kedekatan relasi dan komunikasi kita dengan Allah. Bagaimana kita menggunakan seluruh kemampuan dan sumber yang kita miliki untuk berdialog dengan nilai dan tujuan dari Kerajaan Allah, yang dalam visi – misi GKI kita sebutkan secara spesifik, yaitu perdamaian dan keadilan. Dengan kata lain, sampai sejauh mana GKI sebagai gereja Indonesia menghadirkan perdamaian dan keadilan dalam setiap aktivitasnya, termasuk di tengah pandemi COVID-19 dan perubahan besar akibat teknologi. Kesibukan wacana dan aktivitas yang kita tunjukan terkadang masih ada di ranah teknis, misalnya soal metode beribadah dan bergereja, soal mempertahankan anggota gereja dan sebagainya. Tentu hal teknis ini adalah hal penting, tetapi bagaimana kita menerjemahkan identitas gereja yang bermuara pada misi – aksi gereja yang sungguh-sungguh memperjuangkan nilai keutamaan tentang perdamaian dan keadilan secara konkret menuntut kita untuk tidak hanya berbicara tentang hal teknis.

RELATED ARTICLE  Pesan Natal Bersama PGI dan KWI 2014

Kisah dalam Lukas 12:51 yang belum lama menjadi salah satu bacaan Injil dalam Kebaktian Minggu memberikan kepada kita catatan yang amat kuat. Tuhan Yesus mengatakan bahwa Ia tidak datang membawa damai tetapi pertentangan. Kita tahu bahwa hal ini tidak berarti bahwa Tuhan Yesus mencintai kekerasan. Sejak awal kehadiran Tuhan Yesus, para malaikat sudah mengabarkan bahwa kehadiran-Nya adalah soal damai sejahtera di bumi (Lukas 2:14). Tetapi ‘pertentangan’ yang dimaksud oleh Tuhan Yesus adalah ketika orang-orang beriman yang mendengarkan ajaran-Nya sungguh-sungguh harus mendalami dan memperhadapkan soal ‘damai sejahtera’ menurut kehendak Allah dengan kehidupan yang konkret. ‘Pertentangan’ yang dibawa oleh Tuhan Yesus menunjukkan bahwa kasih, perdamaian dan keadilan yang Ia bawa bukanlah hal mudah. GKI bersama dengan gereja-gereja lain dan masyarakat Indonesia harus berjuang keras mengatasi pertentangan yang mungkin terjadi, terutama dari mereka yang tidak serius pada kehendak Allah, jika gereja hendak menerjemahkan tanggung jawabnya dalam sikap mendengar dan berkomunikasi dengan Allah. Maka tidak berlebihan jika pertama-tama kami hendak mengajak seluruh anggota dan simpatisan jemaat GKI untuk kembali memberi perhatian pada hal yang mendasar dalam kehidupan menggereja dan spiritualitas kita, yaitu membangun pengajaran iman yang dapat berkomunikasi secara kritis dan relevan di tengah konteks. Secara lebih spesifik, kita memerlukan gambaran Allah dan gambaran gereja yang berangkat dari konteks dan pengalaman Indonesia serta dunia saat ini, pandemi dan perubahan kehidupan. Hal ini akan menggerakkan kita semua di seluruh lingkup untuk mulai membangun gerakan iman dan spiritual yang dibutuhkan. Bukan gerakan tradisional yang kaku apalagi fundamentalis, tetapi gerakan spiritual yang dinamis dan terbuka.

Sejak awal pandemi tahun 2020 yang lalu, gereja banyak berbicara tentang konteks masyarakat dan pelayanan digital, selain tantangan kemanusiaan di tengah pandemi. Di tahun ini, kemudian tahun 2023 dan 2024 kita juga akan bersiap dengan pemilihan umum yang kembali akan mewarnai berbagai wacana dan sikap sosial – politis masyarakat. Semua ini hanya sebagian hal di antara banyak isu lainnya, seperti isu kualitas pendidikan, tanggunggjawab hidup keluarga, pengembangan ekonomi masyarakat, pemeliharaan lingkungan dan sebagainya. Kami percaya bahwa semua isu ini bukan akan menjadi semakin sedikit tetapi justru sebaliknya terus berkembang dan bertambah. Kami percaya bahwa kesanggupan GKI untuk mengolah relasi kontekstual yang dibutuhkan hanya dapat terjadi ketika kita kembali pada hal mendasar tentang kemampuan gereja itu sendiri membangun gambaran Allah dan gereja yang terbuka dan berada dalam ruang komunikasi iman anggota/simpatisan jemaat (reflective believing) seluas mungkin. Pemahaman yang dapat menjelaskan hal ini adalah bahwa gereja harus memiliki keramahan yang menarik anggota/simpatisan jemaat dan masyarakat untuk merasakan kenyamanan dalam membangun komunikasi iman secara terbuka. GKI bersama dengan banyak gereja dan komunitas lainnya memiliki tantangan khas di tengah masyarakat modern, yaitu kemampuan untuk menjadi komunitas yang kritis tetapi memberikan kemenarikan yang kuat tanpa jatuh pada pragmatisme yang tidak jelas. Pertanyaannya adalah apakah komunikasi iman, gambaran Allah dan gereja serta aksi gerejawi yang dibangun oleh GKI menjadi hal yang dapat mempertahankan anggota/simpatisan jemaat dan menjadi relevan di tengah berbagai kebutuhan masyarakat modern, khususnya masyarakat Indonesia ini.

RELATED ARTICLE  Menikmati Capaian

Kita semua menyadari bahwa dalam HUT ke-34 kita sebagai gereja ada banyak tugas dan tanggungjawab yang bukan membuat gereja sekadar melanjutkan apa yang selama ini sudah berjalan, tetapi kesungguhan kita untuk membangun klaim yang jelas tentang keberadaan kita sebagai sebuah komunitas iman yang membangun komunikasi iman yang kontekstual. Kita terus berdoa agar Allah Tritunggal senantiasa menyertai dan memberikan kepada kita semua kemampuan untuk menjalani hidup menggereja dengan bertanggungjawab.

Segala syukur hanya pada Allah Bapa, Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus.

Minggu, 28 Agustus 2022

Teriring salam dan doa

Pdt. Handi Hadiwitanto Pdt. Danny Purnama

Ketua Umum Sekretaris Umum