Kita Samua Basudara

0
505
Pdt. Albertus Patty. Foto: selisip.com

SINODEGKI.ORG – Pdt. Albertus Patty, membangun bangsa yang maju dan makin beradab hanya akan berhasil bila ada penyemaian dan penguatan kultur persaudaraan. Kita bersyukur bahwa kultur persaudaraan ini tersebar dalam berbagai budaya suku bangsa kita. Maluku terkenal dengan budaya pela gandong yaitu kultur basudara yang ternyata sangat ampuh dalam penyelesaian konflik di Ambon. Minahasa memiliki kultur ‘torang samua basudara’ yang berhasil menjaga toleransi antara agama dan antar etnik di tanah Minahasa. Kultur persaudaraan ini juga yang berhasil memperkuat kohesi bangsa kita. Kesadaran bahwa kita yang majemuk ini adalah satu identitas yaitu bangsa Indonesia adalah sebuah kultur persaudaraan yang dibangun sejak 28 Oktober 1928. Peristiwa Sumpah Pemuda adalah upacara Ijab Kabul bahwa kita adalah satu. Sumpah Pemuda adalah sebuah konfesi identitas nasional. Ia adalah sebuah pengakuan iman berjemaah bahwa kita adalah satu bangsa! Kita semua bersaudara! Kita mengaku bahwa bahwa Ke-Indonesia-an kita melangkaui batas-batas etnik, agama, budaya, bahasa, ideologi dan gender. Kultur persaudaraan  ini menjadi perekat bangsa kita yang majemuk sehingga bisa tetap bersatu hingga kini.

Makin sumpeknya relasi sosial antar agama, antar budaya dan antar etnik  menyadarkan kita bahwa kini bangsa kita berada dalam krisis. Berbagai gejala sosial belakangan ini menunjukkan betapa virus rasisme  makin menguat. Isu pribumi vs. non pribumi dengan nama baru asing dan aseng diangkat kembali. Penggumpalan identitas kelompok menjadi gejala umum di berbagai belahan dunia, terrmasuk di Indonesia. Individualisme dan egoisme dengan segala ketamakan ekonomi yang mengeksploitasi sesasma manusia dan alam ini merajalela. Para koruptor makin menggila! Ethnosentrisme berjaya! Fundamentalisme dan radikalisme semakin merasuk ke segala elemen masyarakat mulai dari PAUD sampai Guru Besar, mulai dari petani biasa sampai elite politik. Gerakannya pun semakin brutal. Anarkisme merebak. Dehumanisasi menghujam! Permusuhan dan konflik makin menyebar plus membesar. Efeknya, sebagian anak bangsa, termasuk Shiah, Ahmadiyah dan Papua, pun makin termarjinalkan. Ketidakadilan dan penindasan terhadap sesama menjadi hal biasa. Kita mengalami krisis kepercayaan. Rakyat semakin saling tidak percaya. Semua dianggap musuh yang mengancam. Rakyat pun makin tidak percaya pada lembaga-lembaga pemerintah. Kebijakan hukum dan politik yang dikeluarkan elite politik dianggap hanya menciptakan politik kleptokrasi yang menguntungkan kebiadaban mereka, dan sebaliknya semakin memperlemah budaya kontrol masyarakat.  Maka demonstrasi pun terjadi hampir setiap hari. Sayangnya, di beberapa daerah, terutama Papua, demonstrasi masyarakat yang menjadi korban penindasan dan ketidakadilan dihadapi pemerintah dengan kekerasan dan senjata. Situasi kacau di atas membuat banyak orang semakin frustrasi. Sebagian menjadi eskapis lebih fokus pada dunia seberang sana. Sebagian lagi memilih siap-siap kabur ke luar negeri. Sebagian lagi mati dalam ketakutan. Bila situasi ini tidak cepat ditangani, bangsa ini akan tiba pada titik kerapuhannya. Lalu, perpecahan sosial brutal dan anarkis akan meledak sehingga menciptakan penderitaan yang tak terperikan. Situasi di atas menyadarkan kita betapa kita sangat membutuhkan ‘fresh air’ yaitu kultur persaudaraan.  Tanpa upaya serius menghembuskan udara segar  kultur persaudaraan, bangsa ini akan kolaps. Dan itu berarti kita semua harus segera, dengan cara kkta masing-masing, membangun dan menyebarkan kultur persaudaraan.

RELATED ARTICLE  Musuh Itu Bernama Kebencian dan Intoleransi

Demi Visi Bersama!

Kultur persaudaraan ini bukan sekedar menyuarakan bahwa kita semua saudara sekandung yang lahir dari rahim ke-Indonesia-an. Lebih dari itu, kultur persaudaraan berarti bahwa kita semua, segenap elemen bangsa ini, termasuk pemerintah, sepakat membangun komunikasi dan sepakat bekerjasama berdasarkan azas keadilan dan kesetaraan. Visinya satu dan menjadi milik bersama yaitu kebaikan semua (Common good). Kita bisa menjadi bangsa yang makin hebat dan makin beradab bila kultur persaudaraan ini mentransformasi hati setiap anak bangsa dan juga mentransformasi teologi dan doktrin agama yang cenderung polaristik. Kita bisa menjadi bangsa yang kuat bila kultur persaudaraan ini diimplementasikan dalam berbagai kebijakan sosial-politik dan ekonomi bangsa, serta mentransformasi sistem hukum sehingga setiap warga negara Indonesia menikmati keadilan, kebebasan, kesejahteraan, dan penghormatan terhadap hak azasinya.  Kultur persaudaraan adalah obat mujarab yang mengubah pola hidup individualistik dan primordialisme sempit menjadi kolaborasi dan sinergi semua anak bangsa. Semua orang, apa pun etnik, agama, gender dan ideologinya, bekerja sama sebagai sebuah persekutuan dalam kebangsaan dan persekutuan dalam kemanusiaan.  Kultur persaudaraan ini harus segera ditebarkan melalui lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal dan melalui berbagai institusi agama.

Dalam perspektif Kristen, kultur persaudaraan ini muncul pertama kali saat  Yesus memanggil murid-muridNya untuk membangun persekutuan yang berdasarkan rasa saling percaya dan ikatan solidaritas. Model persekutuan yang dibangun Yesus seperti mewujudkan apa yang dikatakan Aristoteles dalam teori politiknya yaitu bahwa hakekat dari sebuah persekutuan, termasuk bangsa,  adalah bertumbuhnya rasa solidaritas di antara warga bangsanya. Dalam kultur persaudaraan itu, dibangunlah relasi yang egaliter yang saling menghormati. Semua setara dan semua saling memperkaya, saling menopang, saling menyembuhkan, dan saling menumbuhkan. Yesus bahkan memberikan teladan bagaimana membangun kebaikan bagi sesama dan bagi umat manusia dan dunia melalui kesediaan mengorbankan diri. Yesus dan murid-muridNya bukan membangun kultur persaudaraan yang eksklusif dan primordialistik. Sebaliknya, mereka membangun kultur persaudaraan yang didasarkan pada visi kebaikan dan keselamatan umat manusia dan dunia. Itulah sebabnya, persekutuan yang dibangun oleh Yesus bersama murid-muridNya didasarkan pada kultur persaudaraan yang terbuka, yang secara bersama memberi pengaruh yang sangat positif dan konstruktif bagi keadilan, kebebasan, kesetaraan dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya dan bahkan bagi umat manusia dan dunia.

RELATED ARTICLE  The Responsible Self!

(Pdt. Albertus Patty adalah Ketua PGI dan Pendeta GKI Maulana Yusuf, Bandung)